teknokra.co: Dilantik pada 19 November 2007, Rektor Unila, Prof. Sugeng P Harianto memanggul visi besar—meraih predikat 10 Universitas Terbaik di Indonesia tahun 2025.
Menjelang empat tahun kepemimpinannya, berbagai program telah dirancang. Beberapa terlaksana, namun tak sedikit masih menjadi PR (Pekerjaan Rumah).
Cita-citanya mengangkat citra Unila di mata masyarakat Lampung, Indonesia bahkan dunia internasional “ditabrak” oleh realitas internal yang diributkan mahasiswanya. Bagaimana ia menyikapinya? Reporter Teknokra, Lutfi Yulisa mewawancarainya di ruang kerjanya, Rabu (30/3). Berikut petikan wawancaranya:
Apa kesan Anda selama memimpin Unila?
Bisa dikatakan, amanah ini adalah musibah karena tugas berat yang saya emban bukan atas nama pribadi. Kita mempunyai cita-cita setinggi langit tapi terbatas oleh dana, peraturan pemerintah, dan rambu-rambu lainnya yang harus ditaati. Terlebih lagi masalah keuangan. Universitas tentu punya sistem yang berbeda dengan rumah tangga. Kalau rumah tangga, ketika mendapat pendapatan, bisa langsung membeli apa yang kita inginkan. Berbeda dengan universitas, harus mendapatkan persetujuan dari pemerintah terlebih dulu. Padahal orang tahunya barang-barang yang dibutuhkan harus segera ada.
Bagaimana proses Anda memimpin?
Tahun pertama masa jabatan rektor, belum banyak yang bisa dilakukan karena perencanaan anggaran disusun oleh pejabat sebelumnya, jadi masih menjalankan program sebelumnya. Tahun kedua baru bisa menjalankan rencana program tahun pertama secara bertahap. Di tahun ketiga baru benar-benar bisa menjalankan program-progam yang dicanangkan. Febuari lalu, pada acara rembuk bersama di Depok yang dihadiri oleh rektor-rektor, anggaran untuk tahun 2012 pun sudah dibuat.
Tahun 2008 Anda pernah berkomitmen tidak ada dosen S1 pada 2010!
Saya menginginkan agar tidak ada dosen yang S1. Mereka seharusnya meneruskan sekolah S2.
Prestasi apa yang telah dicapai?
Cita-cita untuk meperbaiki Unila tentu sangat banyak. Akan tetapi harus mengingat persetujuan dari Senat. Yang telah tercapai saat ini yaitu, Kedokteran pada 15 Maret lalu sudah sah menjadi fakultas. Untuk potensi karya ilmiah dosen tingkat perguruan tinggi, Unila mendapat peringkat 11 terbaik di Indonesia pada April 2010.
Tahun-tahun sebelumya belum ada penilaian mengenai potensi karya ilmiah semacam ini. Sulit memang mempertahankan prestasi ini, tapi untuk kedepannya kita akan mencoba lebih baik lagi. Kalau bisa masuk sepuluh besar. Saya memiliki visi agar Unila menjadi sepuluh besar perguruan tinggi terbaik se-Indonesia. Program lainnya yang masih belum terwujud yakni menjadikan Unila sebagai pusat budaya Lampung. Ketika orang dari luar ingin belajar budaya-budaya masyarakat Lampung, Unila bisa jadi jembatannya.
Modal apa yang dimiliki Unila?
Dalam hal karya ilmiah sudah mendekati target. Selain itu saya juga senang karena buku rencana strategi (Resntra) terbentuk. Tahun sebelumnya memang sudah ada Renstra tapi belum dibukukan. Buku perencanaan jangka panjang sampai tahun 2025 pun sudah terbentuk, jadi kita sudah memiliki buku acuan untuk kedepannya sehingga arahnya menjadi jelas. Akreditasi Unila pun semakin membaik. Fakultas Hukum, Program Studi Administrasi Negara misalnya akriditasinya sudah A.
Program penting lainnya adalah menambah guru besar. Pada tahun 2007 masih 18 guru besar atau 2 persen, saat ini sudah mencapai 54, ada peningkatan 5 persen. Belum memenuhi target memang, karena target guru besar 126 orang.
Kendalanya?
Kendala yang dihadapi yaitu minimnya kemaun dosen untuk melakukan riset, terbenturnya dana penelitian, masalah lainnya publikasi jurnal di Indonesia sangat sedikit. Sedangkan hasil penelitian untuk menjadi guru besar harus dipublikasikan. Masalahnya adalah karena harus menunggu antrian, jadi ada dosen yang harus menunggu sampai satu tahun lamanya hingga jurnal hasil penelitiannya dipublikasikan.
Bagaimana seharusnya guru besar berperan?
Tergantung bidang keilmuannya masing-masing. Lebih berbentuk aplikasi untuk masyarakat banyak, jadi tidak melulu penyuluhan saja. Contohnya peningkatan produksi jagung, dari hasil riset yang diteliti, sehingga masyarakat mengetahui bentuk nyata bagaimana cara meningkatkan produksi jagung. Tetap diawasi oleh ketua lembaga pengabdian, kemudian ke PR I lalu ada koordinasi ke rektor.
Bagaimana Anda menyikapi berbagai aksi demonstrasi mahasiswa?
Harus diingat kembali tujuan mahasiswa ketika masuk menjadi mahasiswa. Tugas mahasiswa adalah belajar. Ya, tuntutlah ilmu sebaik-baiknya. Jadi tugas mahasiswa bukan untuk mengawasi dan mengawal. Mahasiswa itu ibaratnya bagian dari bahan yang akan kita bentuk menjadi suatu produk. Yang bertugas mengawal sudah ada Dirjen (Direktorat Jendral), Senat, dan BPK (Badan Pengawas Keuangan).
Soal keluhan mahalnya biaya pendidikan di Unila?
Biaya pendidikan di Unila ini paling murah. Kita bisa berkaca dengan universitas lain sebagai perbandingan, contohnya di Universitas Airlangga, biaya SPP mahasiswanya Rp1.2500.000, belum biaya SPI (Sumbangan Pengembangan Institusi) yang mencapai Rp15 juta.
Bagaimana dengan UML?
UML (Ujian Masuk Langsung) memang tidak harus diadakan, tetapi UML dilakukan sebagai suatu cara subsidi silang. Bagimana pun studi itu membutuhkan biaya.
Banyak keluhan mengenai buruknya pelayanan karyawan!
Rektor tidak bisa mengontrol semua kinerja karyawan. Jadi itulah fungsi dari sistem, ada Pembantu Rektor, Kepala Biro, Kepala Sub Bagian. Tentu saja masih saling berkoordinasi. Masalah ketidakdisiplinan atau pelayanan yang kurang baik sebenarnya merupakan hal yang manusiawi. Jangankan mahasiswa yang mengeluhkan pelayanan karyawan yang kurang baik, saya pun merasakan hal sama.
Ada keluhan praktek jual beli nilai antara dosen dan mahasiswa.
Ini masalah yang sulit untuk dibuktikan. Ada pembeli dan ada penjual. Mahasiswa seharusnya jangan mau membeli, pasti tidak akan ada yang jualan. Mahasiswa juga harus berani melaporkan secara jelas, siapa dosennya, jangan malah takut. Kita jadi sulit mengungkapnya.
Tindakan Anda?
Kalau ada dosen yang ketangkap basah jual beli nilai, akan saya pecat. Saya akan tegur jika karyawan memberikan pelayanan buruk. Mahasiswa seperti anak kita sendiri, harus dilayani dengan baik. Saya pernah mengontrol ke fakultas-fakultas, ternyata jam sembilan pagi masih ada karyawan yang belum tiba di Unila. Saya beri tahu saja, jika bekerjanya seperti itu mending tidak usah masuk.
Contoh lainnya pembakaran sampah di pagi hari, saya telpon dekannya. Saya adukan kesalahan karyawan yang dilakukan pagi hari itu untuk kuliah, sudah dicemari asap. Kalu mau membakar sampah malam hari saja.
Apa yang harus diperbaiki?
Yang salah adalah karakter manusiannya. Pendidikan karakternya perlu diperbaiki. Meskipun kesalahan seperti ini sebenarnya hal yang manusiawi.
Bagaimana dengan minimnya sarana dan prasarana perkuliahan?
Mengadakan sarana dan prasarana bukanlah hal yang mudah dan cepat. Butuh waktu paling tidak tiga sampai empat bulan, kadangkala skala prioritas yang kita ajukan malah belum disetujui. Maka harus ada pengggantian alokasi tersebut ke skala prioritas kembali. Untuk saat ini yang menjadi prioritas saya adalah perbaikan laboratorium. Laboratorium di fakultas-fakultas kurang memadai, banyak peralatan yang sudah tua, bahan praktikum yang tidak tersedia.
Untuk masalah kuliah harus mengangkat kursi terlebih dulu jangan dijadikan alasan menjadi malas kuliah. Mahasiswa menuntut boleh saja, kita berusaha untuk memperbaikinya, mengingat terbentur dana.
Unila semakin rawan aksi pencurian!
Mengatur keamanan Unila memang tidak gampang, mengingat banyaknya kendaraan mahasiswa. Tetapi ketika diberi portal mahasiswa protes, ya gimana, mau diatur diprotes. Itu karena perbedaan persepsi antara mahasiswa dan pihak Unila.
Empat tahun memimpin, banyak pekerjaan rumah yang belum selesai.
Saya ingin meneruskan pekerjaan yang belum terselesaikan. Temasuk guru besar dan akses pendidikan masyarakat miskin, kalau tidak terpilih ya kembali mengabdi menjadi dosen dan saya akan mendukung sepenuhnya kepada calon yang terpilih.