teknokra.co : Sampai saat ini, Bahan Bakar Minyak (BBM) masih menjadi kebutuhan tidak terpisahkan dalam aktivitas manusia. Tak heran, permintaan dan harga BBM tiap tahun terus mengalami peningkatan.
Sayangnya, peningkatan tersebut tak dibarengi dengan jumlah produksi BBM. Cadangan minyak bumi justru semakin menipis.
Permasalahan ini sebenarnya sudah menjadi kekhawatiran semua pihak. Tak hanya itu, maraknya perusahaan industri berskala besar di Indonesia ikut menyumbang meningkatnya limbah industri di tanah air. Fenomena ini diresapi oleh Dosen Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Sutikno. Kondisi meningkatnya limbah industri dan berkurangnya cadangan BBM justru membuat Sutikno ingin membuat sumber energi dari limbah.
Ia menjelaskan, limbah padat yang banyak dihasilkan adalah tandan kelapa sawit, ampas tebu, onggok, batang pisang, jerami, bonggol jagung, kulit coklat, dan kulit kopi. Sisa limbah pertanian itu hanya dibuang dan dibiarkan membusuk. Padahal, didalamnya terkandung zat yang dapat diolah menjadi etanol. Selulosa danHemiselulosa yang terdapat dalam bahan-bahan tersebut dapat dimanfaatkan sebagai bahan utama pembuatan bioetanol.
Menurut Sutikno, ada tiga jenis bioetanol berdasarkan bahan utama pembuatnya dan enzim yang dibutuhkan untuk proses fermentasi. Bioetanol yang dihasilkan dari fermentasi jagung, padi, dan singkong menggunakan enzim amilase disebut sebagai bioetanol generasi pertama. Sementara, bioetanol generasi kedua dihasilkan dari limbah industri padat yang kemudian difementasikan menggunakan enzim selulase. Bioetanol generasi ketiga merupakan bioetanol yang dihasilkan dari sampah organik yang dibusukan dengan memberikan mikroba. Namun, bioetanol jenis ini masih dalam tahap perkembangan di berbagai negara.
Penelitian Sutikno mengacu pada pengolahan limbah padat menjadi bioetanol generasi kedua. Menurutnya, ada empat tahapan utama pembentukan bioetanol ini. Langkah pertama, limbah padat perlu direaksikan dengan larutan NaOH 0,1 Molar. Reaksi ini dilakukan pada suhu 1210C selama 15 menit agar mendapatkan hasil optimal. Langkah ini dilakukan untuk menghilangkan zat Lignin yang tidak diperlukan. Zat ini dapat menghambat pemecahan unsur selulosa danhemiselulosa pada proses berikutnya jika terus ada pada limbah padat.
Setelah dihasilkan bahan yang mengandung selulosa dan hemiselulosa, kedua unsur tersebut harus melewati reaksi pemecahan zat menjadi gula sederhana. Reaksi ini dikenal dengan reaksi hidrolisis yang menghasilkan glukosa. Reaksi memerlukan bantuan enzim agar diperoleh glukosa yang berkualitas. Usai proses hidrolisis, glukosa yang dihasilkan akan difermentasikan dengan menambahkan senyawa mikroba yang disebut yeast atau dikenal sebagai ragi. Proses ini membutuhkan waktu sekitar 3-4 hari.
Tahap paling akhir proses ini adalah penyulingan untuk mendapatkan etanol murni yang akan digunakan sebagai bioetanol. Nantinya, bioetanol yang dihasilkan setelah proses penyulingan langsung dapat dimanfaatkan sebagai bensin. Namun penelitian Sutikno perlu dilanjutkan karena baru sampai pada tahap hidrolisis. Penelitian yang sudah berlangsung sejak 2009 ini menghabiskan dana 330 juta rupiah.
Ia mengakui, keterbatasan alat laboratorium dan kesulitan mendapatkan enzin untuk proses fermentasi menjadi hambatannya. Enzim selulase yang dibutuhkan dalam penelitian ini harus mengimpor langsung dari Cina. Sutikno berharap, nantinya hasil penelitian ini mampu memberikan kemudahan bagi masyarakat, terutama masyarakat pedesaan yang tidak terjangkau pendistribusian BBM. Masyarakat pedesaan diharap mampu melakukan fermentasi limbah padat dari kebunnya sendiri untuk mendapatkan BBM (bensin). Itulah salah satu impian besar Sutikno.
Laporan : Fahmi Bastiar
Editor : Vina Oktavia