Menjaga Hutan Lampung Barat Lewat Kopi Agroforestri

335 dibaca

“Banyak cara untuk mewujudkan hutan agar tetap lestari. Mulai dari menjaga hutan dari perambah, melakukan peremajaan hutan, menanam pohon, atau dengan cara mengajak masyarakat ikut berperan”

teknokra.co: Bagi Ketua Hkm (Hutan Kemasyarakatan) Bina Wana, Engkos Kosasih (60), melestarikan hutan dapat dilakukan dengan cara yang amat sederhana. Menjadikan hutan sebagai sumber kehidupan masyarakat, maka dengan sendirinya masyarakat akan merawat hutan dan melestarikannya.

Riuh suara siamang bersaut-sautan terdengar dari kejauhan. Meskipun tidak terlihat, adanya suara satwa liar di kawasan hutan Lindung Bukit Ringgis menjadi bukti bahwa secara ekologi masih terjaga kelestarian alamnya. Di daerah register 45B, Pekon Tribudisyukur, Kecamatan Kebon Tebu, Lampung Barat,  lahan HKm seluas 645 hektare itu terlihat ditanami kopi dan pelbagai tanaman lain. Beberapa cempaka dan pohon aren tampak tumbuh di lahan milik kelompok tani dengan jumlah 478 anggota tersebut.

Kosasih bersama kelompoknya mengelola lahan yang ditanami tanaman bertajuk tinggi, sedang, dan juga rendah. Tanaman bertajuk tinggi di lahan itu terdiri dari pohon cempaka, mahoni, meranti, sengon semendo, tanaman MPTS seperti duren, jengkol, dan petai. Sedangkan yang bertajuk sedang ada pohon alpukat, aren, nangka, dan pinang. Bertajuk rendah terdapat pohon kopi.

Dari kopi, pendapatan masyarakat Tribudisyukur meningkat. Namun, menjaga kelestarian hutan dengan metode kebun campuran atau agroforestri mesti mereka lakukan. Sebab, lahan mereka berada di kawasan hutan milik negara.

Merintis Kopi Agroforestri

Kosasih menjelaskan menanam kopi di daerah hutan butuh perjuangan yang tak mudah. Mantan kepala Pekon tahun 1999-2005 ini menjelaskan, mayoritas masyarakat Tribudisyukur telah menggantungkan nasib di tanaman kopi sebagai pendapatan utama sejak lama. Dia mengisahkan, sebelum ada izin, pelarang menanam kopi serta pengusiran juga pernah masyarakat alami.

Engkos Kosasih di lahan HKm Bina Wana

“Tahun 1994 kami diusir. Kebun kopi di sini semua ditebang habis dengan tentara gajah. Dari pengalaman itu kami tidak bisa berbuat apa-apa karena tidak ada selembar kertas surat yang menerangkan bahwa kami sudah berizin,” ujar Kosasih mengisahkan pengusiran tersebut.

Keluarnya SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 677/Kpts- II/1998 memberikan angin segar kepada masyarakat Tribudisyukur. Masyarakat dapat kembali menanam kopi yang sebelumnya sempat dilarang. Tahun 2000 terbit izin sementara selama lima tahun. Gayung bersambut, tahun 2007 SK Permenhut No.37/Menhut-II/2007/Tentang Hutan Kemasyarakatan diterbitkan dalam bentuk izin HKm Bina Wana dengan masa izin selam 35 tahun.

Kosasih memiliki izin kelola lahan seluas 0,5 hektare. Di Hkm Bina Wana masing-masing anggota memiliki izin kelola lahan yang beragam.

“Paling maksimal masyarakat lahannya empat hektare. Paling kecil setengah hektare. Kalau dirata-rata 1,2 hektare,” jelasnya.

Dalam mengelola hutan, Kosasih menyampaikan bahwa masyarakat perlu terlibat. Dia menjelaskan jika ingin berhasil mengelola lahan, masyarakat perlu diberi pemahaman.

Ia kerap berbagi peran dengan anggota kelompoknya untuk memberi pemahaman kepada masyarakat. “Biasanya lewat yasinan, atau kalau di satu daerah biasanya ada orang yang dipercaya, kita pahamkan orang itu saja,” jelasnya.

Dia mengharapkan peran pemerintah dan masyarakat untuk mencapai tujuan hutan lestari, masyarakat sejahtera.Dia juga mengungkapkan kesadaran masyarakat terhadap kelestarian saat ini mulai terbangun.

“Sekarang kalau ada pohon yang roboh masyarakat pada datang bantu cek juga,” jelasnya.

Kopi Agroforestri Sejahterakan Petani

Setiap bulan Juli, di Kabupaten Lampung Barat sedang musim panen tanaman kopi. Kebun campuran di Lampung Barat memiliki luas 118.116 hektare atau 55% tutupan lahan.

Lahan yang dikelola Dian Dinanta (40), Sekertaris HKm Bina Wana itu memiliki buah yang  tampak memerah. Hasil panen kopinya berbuah ranum.

Bagi Dian, mengelola lahan hutan negara seperti menjawab dua sisi kepentingan, yaitu kepentingan ekonomi dan kepentingan kelestarian. Dia mengelola lahannya dengan metode kebun campuran atau agroforestri.

Mengelola lahan kopi dengan metode agroforestri memiliki pengaruh pada pendapatan Dian. Dia menjelaskan bahwa dapat memanfaatkan sumber pendapatan lain dari metode kebun campuran. Tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber pendapatan seperti tanaman aren, alpukat, dan durian.

Di tanaman penaungnya juga dapat ditanami lada. “Kalau dari sisi produktifitas kopinya sedikit menurun. Namun, dapat ditutupi bahkan lebih, jika dilihat dari sumber pendapatan lain,” tambahnya.

Dian menjelaskan secara prinsip masyarakat sudah melakukan agroforestri. Mengajak masyarakat mengolah lahan HKm dengan sistem agroforestri perlu strategi khusus. Masyarakat perlu diberi alasan lain untuk mendirikan bangunan konservasi.

Dian mencontohkan, jika masyarakat didorong untuk membuat terasering. Dengan tujuan mengurangi panjang lereng sehingga memperkecil aliran air. Maka, sebagai langkah awal tujuan konservasi perlu disamarkan.

“Misalnya kasih kambing, terus kotorannya kalau mau dijadiin pupuk masa mau disebar gitu aja,” jelasnya lagi.

Pekon Tribudisyukur bukan satu-satunya daerah yang menggunakan metode agroforestri. Di Sumberjaya, terdapat pula lahan yang dikelola dengan metode kebun campuran.

Ahmad Erfan sedang memanen kopi agroforestri

Akses menuju lahan HKm Mitra Wana Lestari Sejahtera Desa Sumberjaya, Lampung Barat ini cukup terjal. Berada di atas Bukit Ringgis membuat Ahmad Erfan (56) memberi tutupan lahan dan membuat bangunan konservasi berupa terasering.

Lahan seluas 262 hektare itu begitu semarak.  Selain pohon bertajuk tinggi, sedang, dan rendah, terlihat juga pohon cabai di sela pohon kopi dengan jarak 2×2 meter tersebut. Di lantainya, belukar dibiarkan tumbuh. Erfan juga memanfatkan tanaman bertajuk sebagai media tanaman lada yang dibiarkan merambat di batang serta ranting tanaman tajuk tadi.

Erfan menanam pohon-pohon itu pertama kali tahun 2003 dengan jarak tanam sekitar lima meter. Satu hektare lahan jumlah pohon naungan sekitar 600 buah. 

Dia menuturkan perlu pemilihan pohon sebagai naungan lahan agroforestri. Pemilihan ini bertujuan agar tidak terjadi perebutan nutrisi antara pohon kopi dan pohon naungan.

Dia merekomendasikan pohon sengon semendo, gleresidi, dan lamtoro hantu. “Akarnya mengikat nitrogen, malah justru membantu menyuburkan tanah,”ungkapnya.

Erfan mengatakan satu pohon dengan 25 ranting, bisa menghasilkan minimal 1,7 kilogram kopi. Dengan jarak tanam pohon kopi 2×2 meter artinya satu hektare jumlah pohon kopi sekitar dua ribu pohon. Maka, satu hektare bisa menghasilkan 71 juta rupiah dengan asumsi harga kopi 20 ribu rupiah per kilogram. “Belum kalau dihitung dari pendapatan lain,” tambahnya.

Membuat Bangunan Konservasi

Terdapat kesamaan pada hutan yang dikelola di Tribudisyukur dan Sumberjaya, keduanya membagi lahan menjadi blok budidaya dan blok lindung. Di blok lindung ditanami pohon-pohon  kayu dan MPTS. Di lahan blok budidaya inilah yang ditanami kopi dengan campuran tadi.

Chirstine Wulandari, Ketua Yayasan Kehutanan Masyarakat Indonesia menjelaskan secara sederhana agroforestri bisa berarti optimalisasi lahan dengan stratafikasi tajuk. Dia juga menuturkan agroforestri juga dibagi lagi menjadi agroforestri sederhana dan agroforestri kompleks.

“Bisa dibilang kompleks kalau jenis pohonnya banyak dan tinggi tajuknya beragam,” jelasnya.

Ketua Program Studi Magister Kehutanan Universitas Lampung ini, menjelaskan perlu ada hak dan kewajiban yang dipenuhi masarakat ketika mengelola hutan negara. Dia menjelaskan, salah satunya adalah dengan memperhatikan konservasi tanah dan air.

“Ada terasering, tidak boleh gulma dibersihkan, biar tidak terjadi erosi,” jelasnya lagi.

Dia juga mengimbau masyarakat yang mengola hutan negara agar tetap patuh terhadap kebijakan pemerintah. Menurutnya, meski tidak dirasakan secara langsung, manfaat dari lestarinya hutan dilakukan demi masyarakat juga.

Warsito, tokoh perhutanan sosial yang juga mantan Kadishut Lampung  Barat mengatakan  perlu melibatkan masyarakat dalam menjaga hutan. Hal tersebut dapat membantu meminimalkan bentuk-bentuk gangguan hutan.

“Kebakaran, pencurian kayu, pemburuan satwa, setelah kelembagaanya dibentuk yang nanggulangi  bukan pemerintah. Justru petani yang ada di situ karena mereka selain menjaga, juga berkepentingan  mengelola hasil,” ujarnya.

Menurut pengamatan Warsito, hutan yang melibatkan masyarakat dalam penjagaannya lebih bagus dari pada yang dikelola pemerintah. “TNBBS memiliki tingkat perambahan yang semakin meluas,” ujarnya.

Lampung Barat Sebagai Kabupaten Konservasi

Lampung Barat memiliki luas wilayah 206.440 hektare, dengan luas kawasan TNBBS ± 52.786,1 hektare sedangkan hutan lindung seluas ± 49.919,5 hektare. Kabupaten ini selain hutannya yang luas, merupakan catchment area sebagai daya dukung tiga Daerah Aliran Sungai (DAS) yaitu DAS Way Semaka, DAS Mesuji—Tulang Bawang, dan DAS Musi (Danau Ranau).

Selain itu, memiliki daya dukung terhadap 3 Cekungan Air Tanah (CAT) yaitu CAT Danau Ranau, CAT Kotabumi—Metro, dan CAT Kota Agung. Penelitian Watala tahun 2010 menunjukan hutan lindung register 45 B, Bukit Rigis, Lampung Barat, dimana kebanyakan masyarakatnya petani kopi dengan agroforestri, serapan karbonnya mencapai ± 8 juta ton/hektare/tahun.

Okmal, Kepala Bappeda Lampung Barat mengungkapkan Lambar merupakan kabupaten yang dalam pembangun daerahnya menempatkan konservasi sebagai visi pembangunan daerah. Hal ini telah dituangkan dalam RPJPD Lampung Barat tahun 2005-2025.

“Salah satu upaya nyatanya adalah kesepakatan Kemitraan Konservasi dalam rangka pemulihan ekosistem dan pemberdayaan ekonomi masyarakat,” ujarnya.

Kemitraan Konservasi dilaksanakan dengan dibentuknya gugus tugas multipihak di TNBBS Wilayah Lampung Barat melalui Kep. Dirjen KSDAE No. SK.3/KSDAE/KK/KSA.1/1/2020, pada 10 Januari 2020. Kemitraan konservasi ini didorong karena terdapat areal perkebunan kopi seluas 21.912 hektare di TNBBS.

Okmal menjelaskan seluruh peserta kemitraan dibentuk Kelompok Tani Kemitraan Konservasi (KTKK) dengan kewajiban menanam tanaman pohon-pohon hutan di area terbuka, area kurang produktif, pengawasan Kawasan TNBBS, melaporkan terjadinya konflik satwa, dan tidak menambah luas garapan.

Okmal menjelaskan upaya yang lain adalah dengan alokasi dana desa untuk pembelian bibit. “Harapannya dari upaya tersebut pemerintah menjadikan Kabupaten Lambar sebagai kabupaten tangguh bencan  a,” ujarnya.

Penulis Chairul Rahman Arif

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

nine + 9 =