teknokra.co: Seloroh itu masih saja terngiang di benak Rita, Ibu dari Vivi, seorang gadis belia yang menderita keterbelakangan mental. Selama membesarkan Vivi, Rita kenyang dengan olok-olokan para tetangga pun orang baru yang risih dengan kondisi anak sulungnya itu. Tapi, ia coba tegar. “Saya gak peduli mereka mau bilang apa. Saya tahu anak saya gak mungkin jadi anak normal,” ujar Rita.
Novia Eka Tarina, akrab disapa Vivi, awalnya seperti anak kebanyakan. Lima belas tahun yang lalu, ia punya tubuh normal, hingga penyakit yang tak biasa itu menderanya. Rita mengira Vivi hanya kena diare. Namun aneh, kotoran Vivi rupanya hitam pekat dan bercampur darah. Belakangan diketahui, Vivi terserang penyakit kuning atau dalam istilah medisnya hepatitis B.
Dokter Rumah Sakit Umum Abdoel Moelok Bandarlampung menganjurkan Vivi dioperasi. Biayanya mencapai Rp15 juta. Bila tak segera dioperasi, umur Vivi takkan bertahan lama. Dokter memvonis Vivi hanya mampu hidup dua tahun lagi. Namun, ayah Vivi yang hanya berupah Rp120 ribu tak berdaya. Operasi pun urung. “Saya semakin stres saat pasien penderita hepatitis sekamar Vivi meninggal dunia,” ujar Rita.
Vonis Dokter meleset, Vivi tetap hidup hingga sekarang di usianya yang mencapai delapan belas tahun. Kini ia mengenyam pendidikan di Sekolah Luar Biasa kelas C di daerah Kemiling. Meskipun sangat kesusahan dalam membaca, tapi kemauannya untuk belajar tinggi. Meski hujan, ia tetap berangkat ke sekolah.
SECARA FISIK, penderita cacat fisik dan mental atau lumrahnya disebut tunagrahita, dapat dicirikan dari ukuran kepala yang besar—berisi cairan, raut muka kecil, bibir tebal, lidah suka menjulur, jari kaki melebar,ukuran kaki dan tangan pendek, hingga susunan gigi kurang baik. Penyebabnya beragam, bawaan lahir atau keturunan orang tua, proses persalinan yang memakan waktu lama hingga kehabisan cairan, karena sakit, kecelakaan atau efek samping obat.
American Asociation on Mental Deficienci melansir, penderita retardasi mental atau keterbelakangan mental umumnya memiliki fungsi intelektual dibawah rata-rata. Tingkat Intelligence quotient (IQ)nya dibawah 84. Sementara Japan League For Mentally Retarded, merilis fungsi intelektual lamban yaitu IQnya 70 kebawah berdasarkan tes intelegensi baku—kekurangan dalam perilaku adaptif.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengasumsikan 10 persen dari penduduk suatu negara adalah penyandang cacat. Dengan jumlah penduduk sebanyak 200 juta lebih, Indonesia paling tidak memiliki 20 juta penyandang cacat. Diperkirakan sekitar 50 persen dari penyandang cacat itu adalah tunagrahita.
Para penderita cacat fisik dan mental ini umumnya tersisih dari pergaulan masyarakat. Mereka dijauhi oleh teman sebaya. Selain karena takut tertular penyakit, secara fisik mereka juga dianggap tak sepadan bergaul dengan kaum normal.
Nasib serupa diampu Tasman. Ia sulit diajak bicara, cenderung hiperaktif. Duduknya tidak tenang, gerakan tangannya sering tidak terkontrol. Ia sering bertepuk tangan, tertawa dan menangis tanpa sebab.
Tasman tinggal di Dusun Tiga, Desa Sidomakmur. Ia tak seberuntung Vivi karena sama sekali tak mengecap pendidikan. Kalau makan, ia menempelkan piring makanan ke mulut, menghirup dan menelannya tanpa dikunyah. “Kalau lapar belum dikasih makan, dia pasti nangis dan bahkan ngamuk,” tutur Tursinang, ibunya.
Teman-teman sebaya Tasman pasti berlari ketakutan saat ia mendekat. Teriakan “Awas ada Tasman!” selalu mengiringi kisah pergaulannya.
Tasman tentu tak sedang bermaksud jahat, ia hanya ingin bermain. Bercanda dan menikmati masa kecilnya. Namun semua itu terhalang oleh nasibnya. Terlebih ia sering berperilaku aneh. “Kalau sedang sakit panas, ia merusak perabotan tetangga,” tutur Tursinang.
Ia sering diolok bahkan ada yang tega menyakitinya. Ia dihardik. Ada juga yang pernah melemparinya batu. Yang tragis, itu tak hanya kerap dilakukan teman sebaya, melainkan penduduk sekitar tempatnya tinggal.
Adegan itu yang buat Tursinang meradang saban hari. Bila sudah begitu, ia buru-buru mengajak anak sulungnya itu pulang. Ia hanya bisa pasrah, memendam amarahnya dalam-dalam. “Namanya juga Tasman gak normal, jadi wajar jika diolok-olok,” tuturnya sambil tersenyum ringis menatap Tasman.
Tursinang juga kerap mendapat pengaduan dari warga soal perilaku Tasman yang kerap mengganggu kenyamanan. “Pernah ada yang nyaranin supaya Tasman dipasung. Tapi saya gak tega.” Tapi Tasman tetaplah anak baik, dengan segala keterbatasannya, ia kerap membantu Tursinang mengambilkan arit atau membawakan kayu bakar dari ladang jagungnya untuk keperluan memasak.
Rumah tempat tinggal Tasman hanya punya dua kamar. Dindingnya dari bambu yang kini lusuh. Hanya ada satu jendela bertameng kayu. Cat dindingnya sudah kusam. Lantainya hanya beralaskan tanah. Kalau malam, sekitar rumah gelap gulita, karena tak tersalur listrik. Pemuda berusia 18 tahun ini biasa tidur di luar kamar sendirian, tanpa kasur sekadar beralas tikar.
Tak seperti yang dibayangkan, Tasman tak mengganggu saat saya ngobrol dengan ibunya. Ia hanya bermain di sekitar kami. Sesekali ia tersenyum sambil melemparkan topinya pada saya. Mungkin dengan maksud bercanda.
Di rumah, Tasman biasanya bercanda dengan kedua adiknya, Asep dan Bibit. Mereka sering kejar-kejaran di dalam rumah bahkan saling timpuk sandal. Namun, rupanya Tasman kerap berlebihan. “Waktu saya pergi, dia pernah mukul Bibit dengan kayu sampe pelipis dan mulut adik perempuannya harus dijahit,” ujar Tursinang mengenang perilaku Tasman.
Tursinang sadar anaknya itu punya kelainan saat masih berusia empat tahun. Tak seperti anak sebayanya, Tasman belum bisa berjalan. Tursinang tambah khawatir saat ia hamil anak keduanya. Ia bingung karena tak ada yang mau merawat Tasman.
Tursinang pernah membawa Tasman berobat ke dokter juga dukun. Namun Tasman urung sembuh. Persepsi dokter dan dukun berbeda tentang musabab sakit Tasman. Dokter mendiagnosanya cacat karena pernah disuntik saat suhu badannya panas. Sementara dukun bilang Tasman terkena sawan ular.
Meski pernyataan keduanya bertolak belakang, Tursinang membenarkan keduanya. Waktu Tasman berusia dua bulan, suaminya pernah membunuh ular. Suara ular itu menyeramkan seperti meraung-raung. Tapi Tasman juga pernah disuntik sewaktu sakit panas. “Saya pasrah sama Gusti Allah. Ini sudah digariskan. Saya berharap Tasman bisa jadi normal seperti anak-anak lainnya.”
NASIB MURUNG memang lekat pada penderita tunagrahita. Persepsi masyarakat umumnya bulat, menganggap mereka tak layak diperhitungkan dalam pergaulan. Apalagi bicara soal prestasi.
Tapi toh persepsi itu tak melulu benar. Sebut saja Sumartinah. Wanita berusia 34 tahun ini ternyata penderita tunagrahita yang berprestasi. Tinah, sapaan akrabnya, pernah mewakili Indonesia pada ajang olahraga bulu tangkis di Amerika Serikat pada tahun 1995.
Tinah merupakan atlet Special Olympic Indonesia (SOIna) yang mengikuti kompetisi tertinggi bagi atlet-atlet tunagrahita pada Special Olympics World Summer Games (SOWSG). Jebolan SLB Kemiling ini membawa pulang emas untuk kriteria keahlian individu dan keahlian permainan. SOWSG adalah kompetisi olahraga empat tahunan yang merupakan puncak prestasi bagi atlet-atlet Special Olympics di tingkat internasional.
Memang Tinah tak dikucilkan masyarakat sekitar, namun dipandang sebelah mata oleh pemerinah. Ia hanya dihargai uang lima ratus ribu rupiah dan sepasang raket oleh pemerintah daerah. Tak ada penghargaan lain. Prestasi Olimpiade Bulu Tangkis di Amerika itu kini tinggal kenangan yang terbingkai pada sebuah foto di dinding rumahnya.
Tinah hanyalah cerminan dari selusin prestasi penderita tunagrahita di tingkat dunia. Awal Juli 2011 ini, atlet tunagrahita nasional mampu menorehkan pretasi di ajang Special Olympics World Summer Games XIII di Athena Yunani dengan merebut 15 medali emas, 13 perak dan 11 perunggu. Prestasi itu diukir pada perlombaan bulu tangkis, tenis meja, bocce dan renang.
Sumartinah kini pengangguran, tak ada tempatnya untuk bekerja karena perusahaan dan instansi pemerintah tak ada yang mau menerima anak berkebutuhan khusus. Tinah memang pernah bekerja di Hotel Sheraton sebagai tukang laundry, namun itu hanya setahun karena sistem kontrak. “Hotel Sheraton satu-satunya perusahaan lokal bekerjasama dengan SLB untuk menampung murid lulusan SLB,” ujar Tatang, guru SLB Kelas C Kemiling.
Kini sehari-hari Tinah hanya di rumah, membantu kakaknya Sundarsih mengurus rumah. Untuk makan sehari-hari, ia menggantungkan nasibnya pada Sundarsih. Sundarsih menyayangkan keahlian Tinah tak dapat tersalurkan, padahal Tinah anak yang mahir dalam bidang ketrampilan semisal melukis, menjahit dan olahraga. Kekurangan Tinah hanya pada fisiknya yang mengalami cacat ganda, tunagrahita plus tunarungu.
Retnowati, Psikolog menganggap perilaku masyarakat yang cenderung mengucilkan anak tunagrahita merupakan hal yang wajar. Penyandang tunagrahita dianggap berbeda dan aneh dari anak kebanyakan sehingga anak yang normal merasa tak nyaman di dekatnya. Tunagrahita tak hanya bawaan sejak lahir namun juga bisa terjadi karena sakit parah yang diderita ketika masih kecil.
Penderita biasanya tak hanya mengalami kecacatan fisik namun juga kemunduran pada daya pikirnya. “Itulah yang menyebabkan mereka bertingkah seperti anak kecil padahal sudah dewasa,” tambah Dosen Psikologi Universitas Muhamadiyah Lampung ini.
“Mereka tak mungkin bisa normal meski telah menjalani berbagai pengobatan atau terapi,” tutur Retno. Terapi-terapi yang diberikan hanya sebagai perangsang agar mereka dapat berkomunikasi dengan orang lain dan dapat mengurangi pribadi buruknya yang cenderung menyendiri ataupun hiperaktif. Daya tangkap mereka pun jauh berbeda dari anak normal meski mereka sekolah di tempat yang sama, oleh sebab itu mereka harus disekolahkan di tempat khusus.
“Sepandai-pandainya tunagrahita masih lebih pandai anak normal. Jangan pernah membandingkan keduanya,” ujar psikolog yang aktif menangani penderita tunagrahita di SLB Kemiling ini. Sangat wajar jika orang tua menginginkan anaknya menjadi normal. Dan tugas pemerintahlah yang harusnya memberikan informasi yang tepat sehingga orang tua dari anak tunagrahita dapat menerimanya.
Rahmat Hidayat, Ketua Forum Komunikasi Keluarga Dengan Anak Cacat (FKKDAK), mengatakan, pemerintah berperan dalam menangani anak cacat dengan mendata dan memberi bantuan baik dalam hal pendidikan maupun kebutuhan sehari-hari. Sejak 2008 memang telah ada Surat Keputusan Bersama (SKB) No 38 yang dikeluarkan oleh Menteri Sosial, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tentang bantuan terhadap anak yang kurang mampu dan anak cacat yang wajib belajar terutama di daerah-daerah terpencil.
Surat keputusan bersama tentang pemberian bantuan pada anak cacat di Indonesia berupa kebutuhan sehari-hari maupun kebutuhan sekolahnya. Untuk wilayah Lampung, baru terbentuk empat FKKDAK, yaitu FKKDAK Provinsi , FKKDAK Kota Bandar Lampung, Kabupaten Lampung Timur dan Kabupaten Pesawaran.
Laporan : Nely Merina