teknokra.co: “Where books are burnerd, in the end people will be burned” – Heinrich Heine, 1821.
Ungkapan seorang wartawan dan penyair Jerman era abad ke-19. Karyanya yang bersifat mengkritik keadaan sosial dan politik saat itu. Ia dianggap bagian kelompok radikal Jerman Muda. Memiliki pandangan politik yang berbeda itulah yang menyebabkan karyanya dilarang oleh pemerintah Jerman.
Pelarangan terhadap karya literatur untuk bebas dibaca masyarakat Jerman kembali terulang pada pemerintahan Adolf Hitler di masa perang dunia ke-2. Pada tanggal 10 Mei 1933, Nazi memaksa warga untuk melakukan upacara pembakaran buku. Membakar media cetak dan buku karya penulis dari negara sekutu yang dianggap bertentangan dengan idealisme Jerman.
Tujuan dari upacara tersebut adalah untuk menghapus pengaruh budaya asing masuk ke Jerman. Salah satu literatur yang mereka blacklist adalah buku dari Ernest Hemingway, novelis dan wartawan Amerika Serikat.
Jika, diawal kita melihat jauh ke belakang sejarah pembungkaman di Jerman, lalu bagaimana dengan di Indonesia? Apakah hal ini masih terjadi? Di Indonesia sendiri tidak perlu kita harus menengok sejarah jauh kebelakang untuk melihat pembungkaman. Pada 21 Agustus 2020 yang lalu situs berita daring tempo.co diretas oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Peretasan tersebut merupakan aksi upaya pembungkaman terhadap kebebasan berpendapat.
Dikutip dari tempo.co, Direktur SAFEnet, Damar Juniarto mencatat selama Agustus 2020 terjadi 6 peretasan terhadap kelompok berisiko seperti jurnalis, akademikus, dan aktivis. Empat serangan itu terdiri dari satu serangan website deface, empat akses ilegal, dan satu pengambilan akun.
Dari peristiwa di atas, salah satu bentuk pembungkaman yang dilakukan para penguasa adalah dengan membatasi akses bahan bacaan di masyarakat. Penguasa hanya memberi izin masyarakatnya membaca hanya dari sumber pemerintah saja.
Padahal untuk mengembangkan pengetahuan adalah dengan membaca dari berbagai sumber agar terus timbul rasa skeptis. Membaca adalah pondasi utama pengetahuan, tidak ada orang berilmu yang tidak menyukai membaca.
Meskipun, saat ini perkembangan dunia sudah masif terjadi, aktivitas membaca tidak boleh tergerus oleh zaman. Berkembangnya media digital yang membuat banyaknya informasi hoaks harus bisa memposisikan aktivitas membaca dibagian teratas. Jika tidak, maka kita akan mudah terprovokasi dan tidak memiliki pendirian.
Membaca secara menyeluruh dari berbagai sumber, bersikap skeptis, mencari informasi yang benar dan terpercaya adalah salah satu cara untuk membentengi diri. Kebiasaan membaca sendiri ini bisa mempengaruhi prilaku sosial di masyarakat.
Memahami peristiwa yang telah terjadi selama ini dari makna membaca. Membuat saya berpikir kenapa wahyu pertama yang diterima Muhammad SAW adalah diperintahkan untuk membaca bukan ibadah religi lainnya.
Dilansir dari tirto.id dalam “Sejarah Nabi Muhammad (2): Wahyu Pertama yang Menggetarkan”, disebutkan pada suatu malam bulan Ramadan tahun 610 Masehi bertempat di Gua Hira, beliau didatangi malaikat dan berkata, “Bacalah!”.
Beliau kemudian menjawab, “Aku tidak bisa membaca”. Lalu, malaikat tersebut menariknya dan memeluk erat-erat hingga membuatnya merasa kepayahan. Kejadian ini terulang sebanyak tiga kali dan setelah melepaskan badannya, kemudian sang malaikat yang diketahui sebagai Jibril tersebut mengucapkan surah al-Alaq ayat 1 hingga 5 sebagai surat pertama yang Allah turunkan dalam Al-Qur’an. Bahwa segala sesuatu yang akan kita lakukan hendaklah harus didasari atas ilmu yang dimiliki. Dan datangnya ilmu adalah saat kita memulai membaca.
Tetap Berpikir Merdeka!
Penulis Fahimah Andini