Kampus  

Taaruf, Menanti Sebuah Jawaban

Ilustrasi: Aprohan Saputra
510 dibaca
Ilustrasi: Aprohan Saputra
Ilustrasi: Aprohan Saputra

teknokra.co : Ruangan administrasi Pondok Pesantren Darul Fattah siang itu kedatangan tamu. Ia diterima Abu Azzam, staf administrasi pondok yang terletak di Jalan Kopi, Gedong Meneng Rajabasa.

Pada Kamis 28 April itu, keduanya nampak asyik berbincang. Mereka akrab, pembicaraan kerap kali diselingi canda. Setelah hampir setengah jam, tamu pria itu pamit. Ia menitipkan seberkas map coklat pada Abu.

Abu lalu membuka dan membaca map yang berisi biodata pria yang ia rahasiakan namanya itu. Sesekali, keningnya yang bergurat hitam—bekas sujud, mengerut. Belakangan diketahui, map itu rupanya semacam proposal usulan menikah.

Abu Azzam, pria berjenggot tipis itu, tak sekadar ustad. Ia dikenal sebagai mak comblang melalui prosesi taaruf—perkenalan. “Sejak bujangan, saya sudah berhasil menjodohkan tiga teman saya,” akunya. Karena perannya itu, Abu kerap dimintai tolong mencarikan jodoh orang yang umumnya sudah kebelet menikah.

Taaruf berasal dari kata ta’arafan—saling berkenalan, bertamu ke rumah seseorang dengan tujuan berkenalan dengan penghuninya. Kini istilah itu kerap dimaknai sebagai ajang perkenalan antara seorang pria dan wanita yang akan menikah. Taaruf bisa juga dilakukan jika kedua belah pihak keluarga setuju dan tinggal menunggu keputusan anak, bersedia atau tidaknya menikah.

Belakangan, muncul istilah proposal nikah sebagai ajuan mencari pasangan hidup. Isinya seputar latar belakang keinginan menikah, tujuan menikah, biodata diri, ciri-ciri fisik, kondisi keluarga, dan kriteria calon pasangan yang diinginkan.

Isi proposal biasanya hanya dua sampai tiga lembar. Selain proposal, foto juga dicantumkan. Proposal ini tergolong informal. Tak ada peraturan khusus untuk menyusunnya. Jenis dan ukuran huruf tak jadi masalah. Asal bisa dibaca dan mudah dipahami, proposal boleh dikirim.

Abdul Kohar (25) adalah salah satu contohnya. Tiga bulan yang lalu, ia coba-coba menulis proposal nikah. Ia lalu menemui Abu Azzam dan menitipkan profil dirinya. Dua bulan berselang, Abu Azzam menghubunginya.

Bergegas Abdul menemui Abu. Berkas biodata lengkap dengan foto calon wanita disodorkan. Dengan sumringah, Abdul membacanya, memandangi foto akhwat berjilbab itu. Perlahan, ia rupanya mengagumi wanita yang kini jadi istrinya itu. “Ya ustad, saya merasa cocok dengan calon yang ini,” ujar Abdul kala itu.

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Calon yang diinginkan juga setuju. Proses taaruf pun berlanjut. Abdul yang masih berstatus mahasiswa semester 12 di Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Darul Fattah itu lalu berunding dengan keluarganya. Tak berselang lama, ia didampingi kakak dan kedua orang tuanya berkunjung ke rumah sang calon. Dalam pertemuan itu, Abdul mengaku tak banyak ngobrol dengan calon pendampingnya.

Maklum, dalam taaruf memang pihak keluargalah yang getol melakukan pendekatan. Calon wanita biasanya berbincang dengan ibu atau saudara wanita dari pihak pria. Calon pria mengorek kepribadian calonnya itu dari ayah atau keluarga laki-laki si perempuan.

Abdul kala itu berprofesi sebagai guru di Sekolah Dasar Islam Terpadu Permata Bunda. Pendapatannya dari mengajar dirasa cukup sebagai bekal berumah tangga. Abdul memang tak seperti orang kebanyakan, ia ogah pacaran sebelum menikah. “Saya ingin ikut aturan syariah karena di zaman Rasulullah tidak ada pacaran,” ujarnya.

Menurut Abdul, taaruf adalah media untuk menjaga interaksi antara laki-laki dan perempuan sebelum menikah. Bila menilik sejarahnya, taaruf memang sudah ada sejak zaman nabi Muhammad. Namun, saat itu tidak perlu ada proposal menikah. Waktu yang ditempuh pun tak lama, asal ada kesepakatan antara kedua calon, pernikahan bisa dilangsungkan. Cara ini ditempuh untuk menghindarkan kedua pasangan dari perbuatan zina.

Ajaran Islam melarang adanya proses pacaran sebelum menikah. Islam hanya membolehkan hubungan—pacaran setelah pernikahan. Jangankan pacaran, bersentuhan tangan sebelum menikah pun dilarang. Semua itu ditasbihkan agar laki-laki dan perempuan yang ingin menikah terhindar dari perbuatan dosa.

 Taaruf kini menjadi tren di kalangan umat Islam meski tak pada semua golongan. Itu karena muncul anggapan, yang bertaaruf adalah mereka yang benar-benar mendalami agama Islam. “Semua orang bisa menikah dengan cara taaruf, tidak harus orang yang mendalami agama saja,” ujar Abdul.

MESKI BERSTATUS mak comblang, Abu Azzam rupanya juga menikah atas dasar taaruf. Sembilan tahun yang lalu, ia bertaaruf dengan wanita yang kini menjadi istrinya. Saat ini, ia telah dikaruniai dua orang putra dan seorang putri.

Abu mengaku, meski diawali dengan perkenalan yang singkat, rumah tangganya toh tetap langgeng. Proses pendalaman kepribadian pasangan, dilakukan setelah keduanya menikah. “Hanya sesekali tejadi perbedaan pendapat,” ujarnya.

Usia Abu kala itu terpaut tujuh tahun lebih tua dari istrinya. Perbedaan usia ini diakuinya sebagai tantangan dalam memahami karakter sang istri. “Di awal pernikahan, kami memang agak sulit menyatukan dua kepribadian. Terkadang istri saya masih ingin dimanja, saya jadi harus lebih dewasa dan mengerti kemauannya.”

Taaruf punya aturan, tak boleh sembarangan dilakukan. Laki-laki dan perempuan selama dalam proses taaruf dilarang berduaan. Taaruf berbeda dengan pacaran. Ia memakai jasa seseorang yang dipercaya—mak comblang, untuk mempertemukan calon sejoli.

Prosesnya diawali dengan pengajuan profil diri melalui proposal nikah. Mak comblang, akan menyocokkan data diri kedua calon sejoli sesuai keinginan dan kriteria pasangan yang diidamkan. Setelah itu, mak comblang menghubungi pihak pria untuk melihat dan mempelajari proposal, lengkap dengan foto si calon perempuan.

Jika si pria setuju dengan calon yang diajukan, proses taaruf berlanjut. Barulah giliran perempuan yang menerima proposal dan foto dari si pria. Si wanita berhak menerima ataupun menolaknya. “Jika diterima, artinya mereka siap untuk dipertemukan,” ujar Abu.

Bila calon sejoli sudah klik, pihak pria boleh berkunjung ke rumah si wanita dengan ditemani rekan, dan orang yang berjasa mengenalkan. Namun, mereka tak langsung ngobrol. “Pertemuan ini sekadar untuk melihat calon pasangan secara langsung.”

Setelah keduanya bertemu, giliran mak comblang yang bermain peran. Ia harus memastikan apakah keduanya bersedia melanjutkan taaruf. Jika bersedia, tahap perkenalan lebih dalam boleh dilakukan, selanjutnya menikah.

Menurut Abu, proses pertemuan adalah masa yang paling menentukan kelanjutan taaruf. Karena tak jarang usai pertemuan, taaruf gagal dilanjutkan. Biasanya salah satu calon ada yang merasa kurang cocok setelah melihat langsung. “Ya, biasanya setelah bertemu dan saya tanyakan, ada yang bilang kurang sreg tad—ustad. Ada juga yang bilang kurang tinggi atau kurang gemuk. Bahkan ada yang bilang kurang cantik atau kurang ganteng. Ya, itu sah-sah saja, namanya juga manusia.”

Bila sudah merasa cocok, perkenalan dua keluarga dilakukan. Biasanya, keluarga laki-laki berkunjung ke rumah perempuan. Namun, tidak langsung untuk melamar. Pertemuan ini hanya untuk saling mengenal. Dalam pertemuan, kedua calon atau orang tua boleh menanyakan hal-hal yang dianggap penting. “Bahkan, masalah penghasilan, status, jumlah keluarga, penyakit pun boleh ditanyakan,” tutur Abu.

Setelah pendekatan keluarga, barulah proses lamaran dilakukan. Laki-laki langsung melamar dengan ditemani keluarganya. Dalam istilah lain, disebut dengan meng-khitbah. Dalam lamaran ini, tanggal pernikahan juga ditentukan. Tak perlu terlalu lama. Paling lama satu bulan setelah lamaran. Setelah itu, pesta pernikahan pun digelar.

Laporan :  Vina Oktavia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

5 × three =