Jurnalisme dalam Dekap Kepentingan

273 dibaca

2.-Jurnalisme-dalam-Dekap-Kepentingan

teknokra.co : Setelah rezim orde baru runtuh, wartawan bisa bekerja lebih bebas tanpa takut sensor atau bredel. Namun semakin kekinian, wartawan bukannya bekerja lebih independen, malah seperti berebut kue iklan,

wartawan lupa bahwa berita mereka bukanlah pesanan kaum penguasa atau pemodal. Kini batas jurnalisme tumpang tindih dengan propaganda, hiburan, iklan dan seni. Padahal jelas prinsip jurnalisme berpegang teguh pada fakta melalui disiplin verifikasi.

Banyak wartawan atau organisasi media kini tak lagi independen dalam memposisikan diri sebagai penyampai informasi. Kepentingan publik justru kalah saing dengan kepentingan sekelompok orang yang punya kuasa. Alhasil banyak informasi yang tak sepenuhnya sampai ke khalayak karena adanya sensor internal—pesanan. Media massa kini berorientasi pada arus komersil secara berlebihan.

Agama Saya Adalah Jurnalisme merupakan kumpulan tulisan hasil diskusi Andreas Harsono bersama rekan-rekannya mengenai jurnalisme sejak jatuhnya rezim soeharto pada 1998. Dalam buku ini Andreas banyak mengkritik berbagai media di Indonesia, umumnya mereka yang disebut sebagai Media Palmerah (Metro TV, SCTV, KOMPAS Gramedia, Tempo dan Jawa Pos).

Andreas mengungkapkan kekesalannya pada media palmerah yang gerak bisnisnya lebih cepat dibandingkan gerak redaksional. Media palmerah saat ini telah dikuasai oleh konglomerat media, sehingga banyak wartawan yang mengetahui kebusukan petinggi negara namun tak berani menuliskan kebenaran. Wartawan yang berani menulis kebenaran malah menuai pidana.

Media palmerah juga belum berani menggunakan atau malah belum mau memakai standar jurnalisme internasional misalnya penggunaan byline (nama penulis). Padahal esensi dari penggunanaan byline amat besar, pembaca menjadi tahu mana wartawan yang mampu menulis dengan baik dan mana yang tidak. Dan bagi wartawan, ia menjadi bertanggung jawab terhadap tulisannya.

Dalam bukunya juga diulas mengenai kurang objektifnya media dan melupakan verifikasi saat memberitakan kisruh politik di Indonesia yang berujung pada turunnya Abdurahman Wahid dari kursi kepresidenan.

Media saat itu terjebak pada jurnalisme pro kekerasan, pro sensasional dan memicu konflik. Yang mereka kejar bukan lagi keakuratan melainkan uang, karena semakin konflik berkembang semakin banyak uang yang datang. Pemberitaan media kala itu tak cover both side, bahkan berpihak dan banyak kesalahan dalam mengutip narasumber.

Tak hanya kritik berbagai media yang diulas dalam buku ini, Andreas juga mengulas berbagai pembelajaran bagi wartawan. Misalnya bagaimana cara mendapatkan beasiswa untuk wartawan, apakah wartawan perlu dipidanakan, bagaimana menyiapkan suatu naskah, bagaimana cara merekrut wartawan, bagaimana seharusnya model pelatihan wartawan di Indonesia, belajar menulis liputan dalam bahasa Inggris, dan tak ketinggalan ulasan sembilan elemen jurnalisme yang semestinya menjadi pedoman bagi jurnalis dalam menjalankan tugas jurnalistik.

Andreas menyentil mutu jurnalisme semakin bertambah buruk dengan keikutsertaan seorang wartawan pada ranah politik. Sebut saja Goenawan Moehamad—wartawan yang punya reputasi internasional ternyata bergabung dengan tim sukses Amin Rais saat pemilihan umum tahun 2009 silam. Alwi Hamu salah satu pemimpin Jawa Post juga bergabung dengan Jusuf Kala. Ditambah lagi Cyprianus Aoer, wartawan asal Manggarai, Pulau Flores, dan pemimpin redaksi harian Suara Pembaharuan menjadi kandidat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan untuk anggota parlemen yang sekarang telah duduk di parlemen komisi X.

Walaupun seorang wartawan mempunyai hak yang sama dengan warga lainnya, tetapi ini akan menganggu independensi wartawan tersebut. Wartawan bisa melayani warga dengan sebaik-baiknya apabila mereka bersikap independen terhadap orang yang mereka liput. Tetapi jika ia telah ikut berpartisipasi dalam dunia politik, tentu diragukan sekali independensinya.

Seorang wartawan harus mendahulukan jurnalisme dari segala kepentingan. Agamanya, kewarganegaraannya, kebangsaannya, ideologinya, latar belakang sosial, etnik, suku dan sebagainya, harus ditinggalkan begitu ia memakai “baju” jurnalisme.

Makin bermutu jurnalisme di dalam suatu masyarakat, maka makin bermutu pula informasi yang didapat masyarakat. Terusannya, makin bermutu pula keputusan yang akan dibuat, tulis Andreas mengutip pendapat Bill Kovach, kurator Nieman Foundation, sekaligus salah satu penulis buku “Sembilan Elemen Jurnalisme” yang pernah mengajarnya jurnalisme di Universitas Harvard.

Buku setebal 268 halaman ini juga berisi kritikan terhadap liputan media di Indonesia yang ia tulis sebagai media indopahit tentang ketidakbecusannya dalam meliput konflik sosial maupun politik yang terjadi di Aceh maupun Papua. Para wartawan dipaksa untuk bersikap nasionalis sehingga tak mewawancarai sekaligus mengecek kembal pihak-pihak yang menginginkan sebuah kemerdekaan di Indonesia, seperti Gerakan Acheh Merdeka (GAM) dan Organisasai Papua Merdeka (OPM) di Papua.

Tak lupa Andreas menuliskan hasil perjalanannya ke berbagai daerah di Indonesia. Lampung salah satunya. Dalam tulisannya ia menyarankan agar surat kabar di Lampung bisa menjadi pelopor perubahan jurnalisme kuno ala majapahit Jakarta.

Buku ini berbeda dengan buku-buku jurnalistik lainnya di Indonesia, yang umumnya hanya spesifik membahas satu persoalan. Sedangkan dalam buku ini hampir semua yang menjadi pertanyaan seorang jurnalis bisa terjawab.

Buku ini punya sisi sensitifitas yang tertuang pada judulnya “Agama Saya Adalah Jurnalisme”, yang sekaligus menjadi kekurangan cum kelebihan. Kekurangan karena bisa memunculkan persepsi negatif calon pembaca tentang makna harfiahnya hingga enggan untuk membaca. Kelebihan, karena toh punya daya tarik yang mengundang minat orang untuk baca karena mungkin merasa penasaran dengan isinya.

Andreas boleh saja alergi dengan diksi bahasa Indonesia yang baku sesuai ejaan. Bahasa yang ia pakai sifatnya lugas, ringan karena dekat dengan kebiasaan berucap sehari-sehari. Ia pun tak segan memakai bahasa daerah yang penulisannya punya nilai sama dengan kata-kata baku. Namun, buku ini toh bukan dikoleksi pribadi atau sekadar dibaca oleh komunitasnya, melainkan khalayak ramai yang tak semuanya sepakat dengan pengaburan tata bahasa sebenarnya. Sebagian besar tulisan dalam buku ini dicatut dari blognya, sehingga tulisan bukan hal baru bagi sebagian pembaca dunia maya

Data Buku : Agama Saya Adalah Jurnalisme

Penulis : Andreas Harsono

Penerbit : Kanisius

Harga : Rp 50.000

Tebal : 268 Halaman

Laporan : Nely Merina

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

3 + twenty =