Jeritan Petambak Dipasena

Foto: Rudiansyah
388 dibaca
Foto: Rudiansyah

teknokra.co : Mata lelaki berusia lebih dari setengah abad itu meratapi kanal airnya yang keruh. Sesekali ia menghembuskan asap rokoknya, sambil mengingat kembali ketika dua ratus ribu udang jenis vannamei yang baru berusia satu bulan mati massal

di kedua petak tambak milik Syafe’i. Udang-udang tersebut kekurangan oksigen karena kincir air yang biasanya berputar mati.

Kejadian itu bermula setelah pemutusan listrik oleh perusahaan Aruna Wijaya Sakti (AWS) pada 7 Mei 2011. AWS adalah perusahaan inti di kawasan tambak udang Dipasena. Melihat udang-udangnya mati, Syafe’i tak dapat berbuat banyak saat itu. Udang yang biasanya dijual hingga empat puluh ribu rupiah per kilogramnya menjadi tiga ribu rupiah saja. Itu pun harus diolah dulu menjadi ebi atau udang kering. Karena jika dijual segar maka tak laku lagi. Hasil penjualan seluruh udangnya hanya dihargai uang sebesar lima juta rupiah. Syafe’i dan ribuan petambak yang senasib dengannya mengalami kerugian hingga puluhan juta rupiah.

Salah satunya , Rusdi (54) yang sejak tahun 1997 tujuan awalnya bekerja Dipasena untuk membangun usaha budidaya udang secara mandiri. Impiannya untuk mendapat uang besar ternyata berbuntut sia-sia. Bahkan ia tak sempat mencicipi sisa hasil usaha (SHU)-nya sepeser pun dari hasil budidaya udang secara kemitraan dengan perusahaan Aruna Wijaya Sakti(AWS). 

Padahal pengorbannya untuk dapat bekerja disana harus rela menjual empat ekor kambing miliknya. Dengan modal ijazah sekolah menengah pertama (SMP), Rusdi mendapat pekerjaan sebagai petambak pengganti tahun 1997. Ia pun akhirnya dapat bekerja disana. Saat itu, perusahaan inti masih dipegang oleh PT. Dipasena Citra Darmaja (DCD). Empat bulan training, Rusdi mendapatkan satu rumah dan dua petak tambak seluas dua ribu meter persegi.

Namun semua itu tak gratis. PT. DCD mengharuskan Rusdi melanjutkan pembayaran hutang pemilik rumah sebelumnya. Saat itu, Rusdi tak tahu pasti besaran hutang yang harus ia bayar. Namun, Rusdi berharap 20% hasil panen yang ia dapatkan dapat digunakan untuk mencicil hutangnya selama 10 tahun.

Baru menebar benih pertama terjadi pemutusan arus listrik oleh PT AWS. 130.065 udangnya juga mengalami mati massal. Rusdi kebingungan, ia harus membayar hutang dan membiayai hidup anak istrinya padahal ia mengalami kerugian. Beruntung salah seorang tetangganya mau memberinya modal dengan sistem bagi hasil.

Bagi petambak Dipasena, orang yang dapat memberi modal dikenal dengan istilah ‘bapak angkat’. Namun, menurut Rusdi rekan bisnisnya ini sulit diajak kerjasama. “Maunya dia hasil banyak, namun gak mau keluar modal banyak untuk jadi bapak angkat itu. Saya dikasih benur empat puluh ribu, tapi pakannya sering gak dikasih. Harusnya udah dikasih makan tiga kali sehari, tapi cuma satu kali. Ya, jelas udangnya gak bisa gede,” cerita Rusdi. Bayangan mendapat upah besar tak jadi kenyataan. Rusdi hanya mendapat upah dua ratus ribu rupiah.Rusdi kembali mencari pemberi modal-bapak angkat dengan tebaran 18.000 benur. Rusdi optimis panennya kali ini akan berhasil. Karena itu pula ia memilih bertahan di Dipasena walaupun keadaan ekonominya dapat dibilang tak stabil.

Asal Konflik

Bumi dipasena yang terletak di Kecamatan Rawa Jitu Timur Kabupaten Tulang Bawang merupakan salah satu kawasan tambak budidaya udang terbesar di Asia Tenggara. Petambak tersebar ke enam belas blok yang setiap dua blok merupakan satu kampung. Hingga terdapatlah 8 kampung di Area pertambakan seluas 16.500 ha. Nama Bumi  

Dipasena melekat di awal setiap nama kampung seperti Bumi Dipasena Sentosa,Utama, Agung, Jaya, Mulya, Makmur, Sejahtera, dan Abadi. Nama-nama desa yang bermakna sebuah pengharapan.

Dipasena merupakan nama perusahaan pertama yang mengelola kawasan yang semula berupa kawasan rawa-rawa sepanjang aliran sungai Mesuji dan Tulang Bawang. PT. Dipasena Citra Darmaja(DCD) secara resmi mendapatkan izin operasi pada tahun 1988. Perusahaan Udang milik pengusaha Samsul Nursalin ini beroprasi di lahan seluas 16.500 ha. Konsep Pengelolaan tambak dilakukan dengan standar internasional karena udang yang dihasilkan akan di ekspor. Dalam pelaksanaannya perusahaan menerapkan sistem Tambak Inti Rakyat (TIR) yaitu perusahaan sebagai Inti dan petambak menjadi mitra plasma. Sehingga pada waktu itu Dipasena menjadi sebuah magnet bagi para penduduk yang mengharap penghidupan lebih baik untuk menjadi karyawan maupun petambak plasma.

Warga berdatangan dari berbagai daerah, tak hanya dari Lampung banyak pendatang dari daerah luar Lampung yang akhirnya menetap menjadi petambak plasma. Hingga hampir 9000 petambak menetap. Masing-masing petambak mendapatkan sebuah rumah sederhana dan 2 petak lahan tambak seluas 2 ribu meter persegi. Semua yang didapatkan oleh petambak Dipasena tertanggung sebagai hutang yang besaranya 165 Juta untuk setiap petambak. Dan sistem pelunasannya akan dilakukan dengan pemotongan hasil panen 20% setiap seusai panen. hutang tersebut diperkiraan lunas sekitar 8 tahun.

Namun gejolakpun bermula di tahun 1997. Saat itu budidaya petambak plasma behasil namun sudah 8 tahun lebih hutang yang ditanggung petambak tak kunjung lunas bahkan jumlahnya bertambah.pihak perusahaan menanggapinya sebagai dampak dari krisis moneter yang terjadi. Saat itu perusahaan tidak memberikan transparansi pembayaran hutang setiap petambak. Hak dan kebebasan para petambak plasma juga terampas dengan kebijakan-kebijakan perusahaan yang sepihak dalam penentuan harga jual udang dan kebutuhan produksi udang. para petambak plasma yang dirugikan dengan ulah perusahaan mulai menyuarakan Hak-haknya dengan berdemonstrasi.

Hingga akhirnya pada tahun 2000 Syamsul Nursalim dia ini siapa?? terbukti terlibat kasus BLBI yang membuatnya kehilangan asset yang dimiliki, termasuk Perusahaan DCD harus rela dilepaskannya. Kejadian tersebut semakin membuat PT Dipasena tak lagi memiliki kekuatan di tengah tuntutan petambak plasma. Hingga akhirnya PT.DCD resmi meninggalkan bumi dipasena buatannya.

Sepeninggalan Dipasena nasib petambak semakin tak jelas. Kondisi pertambakan mengalami kerusakan, mulai dari saluran air, hingga tempat budidaya udang. Mencegah semakin parahnya kerusakan Pertambakan yang merupakan aset negara tersebut, akhirnya pemerintah kembali menggandeng Investor sebagai Perusahaan Inti. Sempat terjadi beberapa pergantian perusahaan yang hendak merubah nasip para petambak.

PT Dipasena berganti menjadi PT AWS

Hingga pada tahun 2007 PT Aruna Wijaya Sakti (AWS) resmi menjadi Perusahaan inti di Bumi Dipasena. Anak perusahaan dari PT Centeral Protein Prima (CPP) asal negeri Gajah Putih ini berhasil membeli seluruh aset perusahaan hanya dengan Rp.688 Milyar dari total aset sebesar Rp. 2,388 trilyun. Dengan syarat dana sisa sebesar 1,7 dialokasikan untuk revitalisasi atau pembenahan lokasi pertambakan peniggalan Dipasena (eks Dipasena).

Masa-masa pahit sepeninggal Dipasena tak lagi hendak diingat. Sejak 12 Juni 2007, secara resmi nama Dipasena diganti menjadi PT AWS. AWS ibarat matahari baru yang akan mencerahkan masa depan sekitar 45.000 jiwa yang menggantungkan hidupnya dari petak-petak tambak. Sekitar 7.512 petambak menanti tambaknya direvitalisasi sehingga dapat berbudidaya udang kembali. Semangat revitalisasi menggema di seluruh penjuru kampung. Perbaikan dilakukan mulai dari penggalian aliran air masuk atau In leat, dan aliran keluar Out leat,tanggul,pembuatan tempat penampungan air atau tendon, serta mengembalikan cara budidaya yang sesuai dengan standar budidaya udang dunia. PT AWS. menjanjikan revitalisasi akan selesai dalam jangka 18 Bulan sejak perusahaan secara resmi beroperasi Juni 2007.

Janji Tak Kunjung Dipenuhi

Namun lagi-lagi harapan petambak pudar. Hingga awal 2011 perusahaan hanya mampu merevitalisasi lima blok saja yaitu blok 0,1,2,3, dan 7. Hal ini yang membuat para petambak kehilangan kepercayaan kembali kepada perusahaan yang semula menjadi harapan.

Sementara warga yang tambaknya belum direvitalisasi menggantungkan hidup dari uang yang diberikan perusahaan sebesar Rp.900 ribu perbulan sebagai Biaya Hidup Petambak Plasma (BHPP). Uang tersebut bukanlah pemberian cuma-cuma perusahaan namun uang yang menjadi tanggungan hutang petambak kepada perusahaan yang jumlahnya semakin besar.

Tak hanya petambak yang belum merasakan hasil revitalisasi saja yang merasakan penderitaan. Namun sebagian besar petambak yang tambaknya sudah direvitalisasi dan sudah berbudidaya merasakan kesewenang-wenangan perusahaan. Sisa Hasil Usaha (SHU) dari penjualan udang yang telah dipanen tak kunjung dibayarkan oleh perusahaan. Seharusnya petambak menerima SHU 14 hari setelah masa panen. Namun hingga Mei 2011 SHU petambak antara bulan Februari-April tak kunjung dibayarkan. Total SHU yang belum dibayarkan kepada petambak sebesar Rp. 36 Milyar.

Merasa hak-haknya tak dipenuhi oleh perusahaan, akhirnya 7.512 petambak yang juga tergabung dalam organisasi Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu(P3UW) menuntut pemerataan revitalisasi dan menuntut pembayaran SHU dengan melakukan aksi-aksi demonstrasi. Dalam beberapa aksi petambak menolak tawaran dari perusahaan yang merubah jadwal revitalisasi secara sepihak. Namun aksi-aksi tersebut tak di tanggapi oleh perusahaan.

Tak sampai disitu para petambak tetap menyuarakan tuntutan hingga ke pemerintah pusat. Beberapa petambak melalui P3UW melakukan unjuk rasa didepan Istana Presiden menuntut pemerintah memberikan kejelasan nasip petambak. Perlu diketahui penuntasan kasus Dipasena adalah termasuk prioritas program 100 hari SBY dalam kabinet Indonesia bersatu jilid 1.

Sementara di tempat yang berbeda Marhusin (38) selaku Humas P3UW saat ditemui menyatakan nasib petambak semakin digantung oleh perusahaan. Pasca pemutusan aliran listrik berarti perusahaan memutuskan hubungan dengan plasma.

Menurut Marhusin sejak awal gelagat tak baik memang sudah terlihat. Mulai dari jadwal revitalisasi yang tak jelas, hingga akhirnya berhenti total. Perusahaan selalu mencari alasan–alasan yang tidak masuk akal. Dengan alasan dampak dari krisis global menyebabkan diberhentikannya revirtalisasi. Tak hanya itu keputusan perusahaan menaikan harga pakan dengan harga yang tinggi namun menetapkan harga beli udang dengan harga rendah adalah kejahatan perusahaan.

Juga masalah internal perusahaan seperti pertambakan yang terkena penyakit udang serta ditolaknya ekspor udang AWS dibeberapa negara yang diduga mengandung antibiotik menandakan manajemen perusahaan yang tidak sehat.

Terakhir perusahaan menghentikan oprasi dengan alasan situasi di Dipasena tidak kondusif. Beberapa anggota P3UW dituduh sebagai provokator. Hingga ketua P3UW dipenjarakan dengan tuduhan menjadi dalang kerusuhan pada 2 September 2010. Marhusin menjelaskan aksi yang terjadi saat itu dan mengakibatkan rusaknya pos jaga dan beberapa kantor pengolahan udang adalah aksi spontanitas petambak plasma.

“Aksi tersebut adalah buntut kekesalan petambak plasma kepada AWS,” ujar Marhusin yang juga petambak di blok 7. Sedangkan isu premanisme yang dilakukan oknum P3UW, Marhusin mengungkapkan bahwa sebenarnya perusahaan lah yang melakukan premanisme. Beberapa petambak plasma dijadikan kaki tangan perusahaan untuk mempengaruhi petambak lain.

Kini P3UW akan tetap memperjuangkan nasib par petambak plasma. Marhusin menyatakan tuntutan P3UW saat ini adalah kejelasan status hukum perusahaan, pembayaran SHU petambak yang sampai saat ini belum dibayar perusahaan, dan kejahatan-kejahatan korporasi yang dilakukan perusahaan yang menurut marhusin juga menyangkut pelanggaran HAM. “Dengan alasan tersebut seharusnya pemerintah sudah mencabut HGU PT AWS dari Bumi Dipasena, tegas Marhusin.

Aliran Listrik Diputus

Meskipun pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) merespon aksi para petambak. Sejak 29 Maret 2011 pemerintah dengan membentuk tim terpadu yang akan memediasi antara perusahaan dan petambak plasma. Nsmun perusaahaan tak menggurbris, mereka menjawab tuntutan petambak plasma dengan pemutusan listrik 7 Mei 2011 secara sepihak di delapan desa.

Petambak bersama P3UW terus menuntut kejelasan nasib mereka. Dan berharap aliran listrik dapat kembali menerangi Bumi Dipasena. Hingga pada 3 Agustus 2011 Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad serta Direktur utama PLN Dahlan Iskan meninjau langsung Bumi Dipasena yang terletak di pesisir utara Lampung.  

Fadel Muhammad saat itu menjanjikan akan segera menindak perusahaan dan Fadel juga menjanjikan akan mejadikan Bumi Dipasena sebagai Minapolitan Udang. Konsep pengelolaan pertambakan udang secara mandiri oleh pemerintah dan petambak.

Sedangkan Dirut PLN, Dahlan Iskan akan berusahan mengembalikan operasional listrik di Bumi Dipasena dalam jangka waktu 3 bulan. Namun niat baik PLN pun kandas ketika jaringan PLN yang saat itu sudah sampai gerbang Bumi Dipasena. Pihak perusahaan dengan alasan kawasan berikat yang didalamnya terdapat aset perusahaan tak begitu saja mengizinkan Perusahaan Listrik milik Negara tersebut masuk. Perusahaan meminta PLN terlebih dahulu membeli aset listrik milik perusahaan yang akan digunakan.

Dan hingga kini Dipasena masih gelap gulita menunggu kepastian itu. Ribuan udang petambak mati mendadak karena kekurangan oksigen akibat kincir air tak dapat beroperasi. Petambak merugi dan menjual udang-udang yang masih bisa dijual dengan harga yang di bawah standar.

Anak-anak petambak belajar dibawah penerangan lampu minyak atau lilin. Hingga banyak petambak yang putus asa dan meninggalkan Bumi dipasena yang selama ini jadi pengharapan mereka.

Semangat di Tengah Keterbatasan

Ferly Chandra Dinata kini sudah dapat tertawa lagi dengan teman-temannya. Siswa kelas enam yang bersekolah di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 01 Dipasena Jaya ini sempat merasa sedih saat teman baiknya, Arya Putra Hernanda tak lagi satu sekolah dengannya. Arya yang dulu juga bersekolah di SDN 01 Dipasena Jaya harus pindah ke Natar karena mengikuti kedua orang tuanya. Orang tua Arya dulunya adalah petambak seperti warga Dipasena yang lain. Namun, karena tak mampu lagi berbudidaya udang, keluarga Arya terpaksa keluar dari Dipasena untuk mencari pekerjaan lain.

Hal ini berawal saat pemutusan arus listrik oleh PT. AWS sebagai tanda pemutusan hubungan kerja yang mengakibatkan kerugian besar bagi petambak. Tak terkecuali orang tua Arya. Ditambah lagi, tambak yang belum sempat tersentuh revitalisasi menambah sulitnya budidaya udang secara optimal.

Arya hanya satu diantara ratusan anak-anak lain yang terpaksa pindah sekolah. Setelah PT. AWS tak lagi menjadi perusahaan inti dan belum sempat menyelesaikan kewajibannya melakukan revitalisasi, banyak warga Dipasena yang keluar karena tak mampu bertahan hidup di Dipasena. Kebanyakan mereka pulang ke kampung halamannya atau pindah ke tambak udang yang ada di Bratasena.

Meningkatnya jumlah siswa yang pindah ini terjadi di beberapa sekolah dari tingkat Taman kanak-kanak (TK) sampai tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). Taman kanak-kanak Islam atau Raudathul Atfal yayasan Bahrul Ulum Al Taqwa salah satu contoh. Taman kanak-kanak yang merupakan hasil swadaya masyarakat kampung Dipasena Jaya tersebut kini seperti kehilangan keceriaan. Hampir 50% siswa memilih untuk pindah sekolah Dan kini yang tersisa hanya 28 siswa.

Sunarni (37) seorang guru RA Bahrul Ulum At Taqwa mengaku hampir putus asa dengan kondisi sekolahnya. Sekolah yang dibangun dengan Infak masyarkat ini memang sangat bergantung dengan jumlah murid bersekolah. Karena dana yang digunakan untuk operasional dan gaji tenaga pengajarnya adalah dana sumbangan dari wali murid.

Banyak kebutuhan yang sampai sekarang belum bisa dipenuhi seperti alat peraga. Untuk membeli alat peraga saja pihak sekolah harus mengalihkan dana yang biasanya dipakai untuk mengikuti lomba antar TK se Kabupaten Tulang Bawang. Padahal RA Raudatl Atfal merupakan juara umum perlombaan antar TK se Kabupaten Tulang Bawang pada tahun sebelumnya.

Sunarni mengungkapkan meski TK dipedalaman namun murid-murid disini tidak kalah dengan murid TK di luar. Sudah banyak perlombaan yang kami juarai mulai dari tingkat kecamatan hingga provinsi sambil menunjukan deretan piala yang terpajang di ruang guru yang hanya berukuran 6×4 meter.

Walau kini harus berjuang di tengah keterbatasan Sunarni masih ingin tetap bertahan mengabdi sebagai pendidik. Beberapa guru memang banyak yang mengeluh dan menyatakan ingin pindah namun sunarni kembali menguatkan mereka. Hingga kini masih ada 6 guru yang bertahan meski dengan gajih 200 ribu/ bulan.

Sunarni juga mengungkapkan harapannya agar kondisi di dipasena kembali normal. Jika saja listrik kembali normal Sunarni yakin banyak petambak yang kembali. Dan secara otomatis siswanya akan bertambah kembali.

Kondisi pendidikan di Bumi Dipasena memang sangat berbeda dengan kondisi pendidikan di daerah lain. Pendidikan dikawasan yang juga sering disebut sebagai kawasan berikat. karena terdapat perusahaan yang seluruh penduduknya menggantungkan hidup sebagi petambak plasma maupun karyawan. Sehingga pendidikan sangat bergantung dengan kondisi perusahaan.

Sudah beberapa kali Bumi Dipasena mengalami kondisi terpuruk. Perusahaan sebagai pihak Inti beberapa kali bermasalah dan akhirnya di ganti dengan perusahaan baru. Dalam masa transisi tersebut, dunia pendidikan secara tidak langsung terkena dampaknya.

Anak-anak yang seharusnya belajar dengan tenang harus mengikuti keputusan orang tuanya. Mereka memutuskan pindah sementara karena tuntutn kebutuhan. Namun tak sedikit juga yang memutuskan pindah dan menetap karena Bumi Dipasena dianggap sudah tak lagi memberikan pengharapan. Sehingga anak-anak lah yang pada akhirnya menjadi korban. Mereka harus berpindah-pindah sekolah. Tak mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan yang juga sangat berpengaruh terhadap prestasi anak.

Hermintono (45) kepala kampung Bumi Dipasena Jaya menyatakan keprihatinan dengan kondisi pendidikan di Bumi Dipasena. Masih banyak infrastruktur sekolah yang belum tersedia. Untuk mendapatkan alat peraga saja sebuah sekolah harus merelakan prestasi sekolahnya.

Hermintono menyadari kondisi ekonomi penduduk yang hampir seluruhnya Petambak sangat berpengaruh. Apalagi saat seperti sekarang, nasib para petambak menjadi tak tentu sejak PT.AWS berhenti total dan menarik segala aset termasuk aliran listrik.

Seharusnya setiap perusahaan yang menjadi mitra petambak berkewajiban mendukung keberlangsungan pendidikan di Bumi Dipasena. Namun PT.AWS belum berbuat banyak untuk hal itu. “Revitalisasi yang menjadi tanggungan utama saja gagal bagaimana mau memperhatikan pendidikan” ujar Hermintono

Hutan Mangrove Rusak

Laut timur pulau Jawa kini terlihat jelas dari Kampung Dipasena Utama setelah green belt atau kawasan sabuk hijau mangrove sepanjang dua ratus meter rusak total. Hutan mangrove yang dulunya rimbun tak lagi ada setelah kegagalan revitalisasi yang dilakukan PT. AWS. Padahal, kampung Dipasena Utama adalah kampung pertama yang tersentuh revitalisasi yang harusnya menjadi contoh hasil revitalisasi.

Jaelani warga Dipasena Utama mengatakan kerusakan mengrove ini akibat kesalahan manajemen PT. AWS. Kerusakan ini berawal ketika tahun 2008 PT. AWS melakukan revitalisasi pertama di Bumi Dipasena Utama. Jaelani mengungkapkan, PT. AWS melakukan pengerukan main inlet untuk memperdalam aliran air yang akan masuk ke areal tambak. PT. AWS menganggap setelah pengerukan itu, aliran air akan lebih lancar.

Sayangnya, limbah lumpur hasil pengerukan dibuang begitu saja ke hutan mangrove. Akibatnya, pohon mangrove yang dijadikan sebagai Green Belt tak dapat bertahan hidup hingga akhirnya mati. Parahnya lagi, setelah hutan mangrove habis, lumpur yang dibuang kembali lagi ke main inlet terbawa gelombang air laut. Yang terjadi justru pendangkalan inlet.

Petambak warga Dipasena Utama di blok dua dan tiga dari jalur satu ini harus merasakan dampak abrasi air laut. Tak ada lagi barisan rimbun pohon bakau yang menahan gelombang pantai. Mereka terpaksa direlokasi ke daerah yang lebih aman karena air laut ikut masuk ke areal tambak saat pasang tinggi. Jaelani menambahkan PT. AWS memang sempat membuat tanggul pemecah ombak dengan menimbun batu kali dibibir pantai. Namun, Jaelani menganggap usaha yang dilakukan PT. AWS tak maksimal. “Ya, namanya laut dihadang dengan batu seberapa besar ketahanannya? Apalagi pengerjaannya juga belum selesai, pengerjaannya juga lamban,”ujar Jaelani sambil menunjukkan daerah hutan mangrove yang rusak.

Gelagat PT. AWS yang tidak serius melakukan revitalisasi sudah tercium sejak awal. Arie Suharso yang juga menjabat sebagai Humas Perhimpunanan Petambak Plasma Udang Windu (P3UW) menuturkan diawal memegang peranan sebagai perusahaan inti, PT. AWS justru membubarkan lembaga riset and development (RND). Padahal, lembaga riset ini sangat dibutuhkan untuk penelitian budidaya udang.

Udang Berbahan Kimia

PT. DCD menjadi perusahaan inti. Dulunya, lembaga ini melakukan penelitian mengenai budidaya udang dan kajian lingkungan menjadi perhatian. Namun, semenjak PT. AWS berkuasa, tak ada lagi riset yang melakukan penelitian untuk mengetahui perkembangan udang hasil budidaya. Akibatnya, PT. AWS banyak tersangkut kasus reject ekspor atau penolakan di sejumlah negara. Penolakan terhadap udang hasil budidaya tersebut dikarenakan udang yang diproduksi mengandung bahan klimia. “Di Amerika saja PT. AWS terkena kasus sebanyak 136 kasus,”, tegas Arie.

Selain membubarkan lembaga riset, PT. AWS juga menggunakan bahan kimia untuk pembersihan tambak sebelum digunakan untuk budidaya. PT. AWS mengganti sistem budidaya yang awalnya merupakan sistem terbuka, menjadi sistem tertutup. Pada sistem terbuka, air laut langsung dialirkan ke tambak udang milik petambak. Namun, setelah menjadi sistem tertutup, air ditampung ke sebuah areal yang dinamakan tandon.

Dalam tandon ini, air disterilisasi dari hewan-hewan pembawa penyakit seperti ikan-ikan kecil. Sterilisasi ini yang menggunakan bahan kimia, yaitu diklorpos sebagai bahan pembersih. Padahal, saat PT. DCD menjadi perusahaan inti, bahan-bahan kimia tidak pernah digunakan. “Dulu untuk membunuh ikan-ikan yang dianggap sebagai hewan carier saja menggunakan bahan organik berupa hewan keong”, cerita Ari.

AWS juga sempat menganjurkan masyarakat untuk menerapkan sistem budidaya polikultur. Setelah tak mampu menjalankan revitalisasi secara intensif karena kehabisan modal, PT. AWS hanya menjalankan program semi revitalisasi. Dalam program ini, satu tambak difungsikan sebagai tandon dan diisi dengan ikan nila. Lendir ikan nila dianggap dapat menunjang pertumbuhan udang vannamei. Dengan sistem ini, dua tambak yang seharusnya dapat digunakan untuk budidaya menjadi tak optimal. Penghasilan petambak pun menjadi berkurang dua kali lipat.

Ari menilai langkah-langkah PT. AWS ini dilakukan dalam rangka monopoli perdagangan. Diklorpos yang digunakan untuk mensterilisasi air dijual sendiri oleh PT. AWS. Petambak udang Dipasena tak punya pilihan lain selain membeli diklorpos dari perusahaan. Selain itu, warga juga dikenakan biaya tambahan untuk proses sterilisasi. Biaya sebesar enam ratus ribu rupiah setiap pengisian air ditanggungkan ke petambak.

Pola budidaya polikultur yang diajukan PT. AWS juga dianggap sebagai alih-alih politik keuangan perusahaan. ”Kalau esensi sebetulnya pola nebar nila tidak seperti itu. Harusnya nila di taro di tandon yang besar atau main inlet. Baru air hasil metabolisme dari nila itu yang dialirkan ke tambak-tambak untuk budidaya udang,” cerita Ari.

Laporan : Rudiyansyah, Vina Oktavia

Exit mobile version