Gajah Sudah Masuk Desa

284 dibaca

teknokra.co: Sabtu tujuh Januari, sekitar pukul 17.00 kami ditemani Wahyudi, salah satu petugas Pasukan Pengaman Masyarakat Swakarsa atau yang dikenal Pam Swakarsa untuk menangani konflik gajah mengelilingi lahan perkebunan warga dan taman Hutan Way Kambas, bukan untuk liburan, bukan juga untuk memetik hasil panen, tapi untuk melihat gajah liar dan bekas perlintasannya.

Desa Labuhan Ratu VI merupakan desa yang berbatasan langsung dengan Taman Way Kambas, sudah tiga puluh tahun belakangan desa ini mengalami konflik dengan hewan yang dilindungi undang-undang tersebut. Tak hanya Labuhan Ratu saja desa lainnya yang merupakan desa rawan konflik (desa penyangga) itu adalah Way Bungur, Purbolinggo, Sukadana, Way Jepara, Braja Sakti, Braja Asri, Braja Kencana, Braja Silebah, Labuhan Maringgai, Kali Pasir, Tegal Lombok, Taman Fajar, Tanjung Kusuma, Tambah Dadi, Muara Jaya merupakan desa penyangga daerah rawan konflik antara gajah dan manusia.

Menurut Kepala Desa, Prayitno konflik antara gajah dan manusia di desa penyangga (wilayah konflik gajah) tak bisa dihindari. “Beberapa alasannya adalah lahan yang semakin sempit, keberadaan gajah yang semakin terusik, persediaan makanan yang kurang,” ujar Prayitno yang merangkap sebagai ketua Forum Rembuk Desa Penyangga (FRDP) Waykambas.

Konflik dengan warga biasanya terjadi ketika musim panen, saat itulah gajah akan mengantam lahan mereka, akhirnya agar tidak kecolongan warga harus turun untuk menjaga lahan mereka, karena gajah sewaktu-waktu akan datang jika tahu lahan warga tersebut tidak dijaga.

Menurut Gio, makanan menjadi faktor dominan masuknya gajah ke lahan masyarakat, namun bukan hanya karena persediaan di hutan sedikit. Gio mengibaratkan seperti manusia yang biasa makan gula ketika diberi madu ia akan lebih memilih madu karena rasanya yang lebih nikmat.

Jika gajah sudah memasuki lahan warga, tak hanya warga yang berperan, pihak lain seperti WCS (Wildlife Conservation Society) yang merupakan lembaga swadaya masyarakat (LSM) sebagai wadah untuk menangani konflik dengan gajah khususnya untuk daerah Way Kambas juga ikut terlibat. WCS berkoordinasi dengan warga sekitar mengenai cara penanganan konflik gajah tersebut, sehingga masyarakat bisa berpartisipasi dalam hal penanganan konflik yang merugikan mereka. Meski begitu, gajah merupakan hewan yang dilindungi, oleh sebab itu masyarakat pun tak boleh membunuhnya dalam masalah penanganan konflik dengan gajah.

Menurut Gio, gajah memang sering terganggu dengan aktivitas manusia contohnya ketika musim memancing, maka kerusakan yang diakibatkan gajah meningkat, hal ini karena gajah merupakan hewan nokturnal Ketika siang waktu istirahanya diganggu dengan aktivitas memancing, kemudian waktu malam ketika ia mencari makan pun diganggu dengan pengawasan yang dilakukan masyarakat.

Menurut Sugio, koordinator WCS kini gajah berani memasuki komplek rumah masyarakat, merusak dan memakan tanaman mereka dan membuat masyarakat was-was, pemicu karena faktor makanan dan perburuan, “Gajah membutuhkan asupan makanan 10% berat badannya, ketika gajah makan, dia merasa terganggu maka ia akan keluar mencari tempat yang lebih aman. Jika gajah gak merasa nyaman maka dia akan berpindah,” ujar Gio.

Konflik gajah yang terbesar pernah terjadi di desa Labuhan Ratu VI, yaitu proyek kebun kelapa tahun 85, gajah yang merusak lahan tersebut mencapai 50 ekor, kebun kelapa pun rusak total.

Akibat konflik tersebut tahun 1994 masyarakat mulai membuat sebuah kanal (pembatas) hasil swadaya masyarakat untuk mengatasi gajah, “Pembuatan kanal air sedalam 7 meter untuk mencegat gajah,” ungkap Prayitno selaku kepala desa Labuhan ratu VI.

Hingga kini Prayitno gencar menyuarakan mengenai konflik ini, bahkan ia pernah berdiskusi langsung dengan menteri kehutanan, menteri kehutanan pun akhirnya menjanjikan membangun sebuah bronjong (susunan batu) untuk mengatasi konflik gajah tersebut, “Bronjong akan di realisasikan tahun 2012.” ujar Prayitno.

Menjaga lahan bagi masyarakat Labuhan Ratu VI adalah hal yang biasa, setiap malam ketika musim tanam masyarakat selalu menjaga lahan mereka masing-masing, penjagaan dilakukan di gubuk-gubuk yang dibuat disekitar lahan. Selain penjagaan oleh masyarakat WCS biasanya mesosialisasikan cara menjegah gajah agar tidak masuk ke lahan warga lagi.

Gajah soliter (datang sendiri), maupun gajah yang datang secara masal (diatas empat ekor) menjadi pemandangan yang lazim di desa Labuhan Ratu IV. Kelompok gajah akan dipimpin oleh gajah betina dewasa. Tiap kelompok mempunyai lintasan sendiri untuk memasuki lahan warga, kecuali jika lintasan mereka diberi jebakan, maka gajah akan membuat lintasan tidak tetap.

Peletakan sirine, merupakan salah satu cara yang direkomendasikan oleh WCS, ini sebagai cara penjagaan dini, peletakan sirine dilakukan tepat di jalur perlintasan aktif, atau jalan yang selalu dilewati gajah, serine ini akan memberikan kode kepada penjaga jika ada gajah yang masuk, sehingga kerusakan bisa diantisipasi.

Selain serine, banyak cara yang bisa dilakukan oleh warga diantaranya membuat menara di sekitar lahan perkebunan. Menara dibuat dari kayu dan papan, dibangun setinggi 3-5 meter untuk mengintai gajah. Cara lainnya yaitu menggunakan kawat duri dan cabai, yang diletakkan di tempat perlintasan gajah penjagaan atau dengan patroli gajah kerjasama dengan taman Nasional Way Kambas.

Gajah merupakan binatang yang peka dan cerdik, dengan pemasangan kawat duri dan cabai maka gajah akan merasa jera untuk datang, dua sampai tiga kali cara ini cukup ampuh, namun untuk selanjutnya cara ini tak dapat dilakukan lagi karena gajah akan membuat perlintasan baru di lain hari.

Jika gajah sudah masuk ke lahan warga, maka mereka bersama-sama melakukan pengejaran, pengejaran dilakukan masyarakat, polisi hutan, WCS, Pam Swakarsa yang melakukan, pengejaran mengunakan senter dan meriam, dengan cahaya senter dan suara maka gajah akan takut kemudian pergi.

WCS juga merekomendasikan beberapa hal kepada masyarakat untuk mengatasi kedatangan gajah, diantaranya hutan perbatasan antara perkebunan warga dan taman Way Kambas dibuka dan dijadikan lahan, karena hutan perbatasan dijadikan oleh gajah sebagai tempat pesembunyian, selain hutan perbatasan yang membuat gajah mudah memasuki lahan warga yaitu daerah rawa-rawa. “Untuk menghindari kedatangan gajah daerah rawa-rawa harus dibuat tanggul ikan, karena warga akan berusaha menjaga tanggul ikan tersebut,” jelas Gio.

Menurut Catur Marsyudi (43), karyawan di Pusat Pelatihan Gajah (PLG) Way Kambas Gajah yang menyerang lahan warga bukan gajah konservasi di Way Kambas melainkan gajah liar yang memang ada di hutan Way Kambas,“ jelas petugas Way Kambas. Kendala jika gajah liar akan di masukkan ke konservasi yaitu dana perawatan dan juga pernah di larang oleh LSM untuk penangkapan tersebut,” tambahnya.

Ahmad Rohani (39), karyawan lainnya menerangkan bahwa saat ini gajah yang berada di PLG adalah 65 ekor, sedangkan yang liar sekitar 200-300 ekor. Seja tahun 1998 penagkapan gajah liar untuk dikarantina dihentikan. “Pernah dapet protes dari LSM, kebebasan gajah di ambil, nggak manusiawi alasannya,” ungkap Rohani.

Pertambahan gajah liar pertahun menurut Rohani 7-12 ekor.

Dalam membantu masyarakat untuk menangani konflik dengan gajah pihak PLG menyiapkan gajah untuk melakukan patroli di siang hari di sekitar hutan. Bukan sembarang gajah yang bisa berpatroli. Ada syarat-syarat tertentu yang harus dimiliki yaitu janta, dewasa (min 15 tahun), memiliki beberapa keterampilan antara lain mampu mendorong gajah lain, bisa mengambil barang yang jatuh, menyingkirkan ranting, dapat duduk dan mengangkat kaki. Cara ini dilakukan untuk pendeteksian dini.

Bagi pihak PLG konflik gajah ini merupakan maslah bersama yang harus ditangani bersama pula, dengan masyarakat dan pemerintah.

Sedangkan menurut Wahyu, anggota Pam Swakarsa, ia bersama rekan-rekannya selain bertugas untuk ikut menghalau gajah juga harus menyemangati desa-desa yang rawan terhadap konflik.

Menunggu gajah datang menjadi hal yang biasa bagi Paino (49). Tahun 1985 mejadi sejarah pertama ia menunggu kedatangan gajah di kebun kelapa. Bersenjatakan belor bertenaga sepuluh ampere yang dapat menyorotkan cahaya hingga ia bersama puluhan orang menunggu kedatangan gajah. Ketika rombongan gajah datang, Paino pun gemetaran, tak sanggup menghadapi rasa takut, ia pun berlari bersama warga. Malam itu, rencana mengusir gajah pun gagal. Ia dan puluhan orang digiring oleh rombongan gajah.

Sejak tahun 1990, Paino berusaha mengusir rasa takutnya pada kawanan gajah. Melihat puluhan gajah, biasa bagi Paino. “kadang sampai 25 gajah,” ungkapnya.

Berjaga bersama warga, WCS, polisi hutan dan Pam Swakarsa sering ia lakoni apalagi di musim tanam. Ia dan warga lainnya sadar betul bahwa gajah merupakan heawan yang dilindungi, yang perlu ia lakukan hanya memberikan efek jera kepada gajah agar tidak menghabiskan tanaman di kebunnya.

Kali ini Paino mengaku tidak menanam padi, itu pun akibat gagal panen yang diakibatkan oleh gajah. 3 rante lahan padinya rusak, ia pun merugi. Menurut Paino gajah menyukai padi yang muda, berumur sekitar satu setengah bulan, kalau sudah dimakan maka padi pun gagal panen karena gajah memakan tangkai padi hingga hampir ke akar. Sekarang ia mencoba peruntungan melalui kebun karetnya.

Oleh: Lutfi Yulisa, Arian Korizal

Exit mobile version