Saya Belum Bisa Ikhlas

Foto: Arian K
341 dibaca

“Ketakutan saya selama ini terjawab, narapidana yang divonis seumur hidup pasti  mati sebelum waktunya”

“Dan sekarang dialami anak saya, dia masuk sehat keluar jadi mayat !”
“Saya belum ikhlas !”
“Ini sandiwara yang mereka buat !”

teknokra.co: Teriakan kekecewaan itu berasal dari Rosmala Dewi, ibunda dari Ari Novrizal seorang narapidana seumur hidup yang menghembuskan nafas terakhirnya di tahun ketiga masa penahananya.

Perempuan paruh baya tak habis pikir, mengapa pihak Rumah Sakit Abdoel Moelouk (RSAM) dan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Kecamatan Rajabasa berbuat tidak adil pada anaknya. Dia  sadar buah hatinya memang bersalah. Namun apakah salah seorang narapidana seumur hidup tak boleh hidup? Atau karena anaknya hanya pasien jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) maka tak boleh sehat?

Teka-teki itu masih ada dipikirannya. Ia ingin menjawab teka-teki kematian Ari Novrizal atau akrab disapa Novi. Hingga kini berkas-berkas berobat hingga penahan Novi masih tersimpan rapi, bahkan beberapa obat dan foto tumor Novi  ia simpan. Bukan hanya untuk dikenang namun sebagai pemecah tanda tanya besar yang kini membebaninya.
Berawal dari benjolan sebesar bisul akibat timah panas yang masih tertancap di betis kiri Novi.  Empat timah panas yang menancap dikedua betis Novi  tiga tahun silam   ternyata tak semuanya dikeluarkan tim medis. Satu timah masih menancap.  Hingga kaki Novi membentuk benjolan seperti bisul . Yang kemudian berkembang menjadi Tumor Diregio Politea Sinistra.

Novi yang ditahan di Rutan Krui  Lampung Barat sejak tanggal 31 Maret 2009  akhirnya dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan Kelas I di Kecamatan Rajabasa pada tanggal 25 Juni 2010. Tujuan pemindahan adalah memudahkan Novi untuk berobat ke  Rumah Sakit Abdoel Moelouk (RSAM).

Namun pemindahan tersebut bukannya memuluskan Novi untuk sembuh malah berujung maut. Pihak lapas mempersulit. Menurut Rustam Efendi, ayah Novi. Perjanjian awal Novi boleh dibawa berobat sepuluh hari sekali namun ternyata tak sesuai kenyataan.

Membawa Novi berobat harus beradu mulut dulu dengan pihak lapas. “Bahkan dr Yorman, dokter lapas Rajabasa sempat meminta sertifikat tanah dan rumah baru Novi boleh berobat,” sesal Rustam.

Pernyataan itu dibenarkan oleh Rosmala, dr Yorman tak hanya meminta sertifikat. “Waktu Novi merasakan kesakitannya, dr Yorman malah sempat-sempatnya mengatakan ibu punya duit gak? kecilnya 5 juta dan besarnya 7 juta. Jamkesmas gak berlaku di rutan ini,”tutur Rosma menirukan dr Yarmon yang merupakan dokter jaga di Lapas.

Rustam merasa Ini tak adil mengapa pejabat yang korupsi dibiarkan berkeliaran. “Contohnya saja Alay, dia dibiarkan keluar masuk. Bahkan ketika Alay sakit Yarmon memperlakukannya dengan baik. Apa karena Alay banyak uang makanya ditangani. Sedangkan anak saya hanya pasien jamkesmas,”sesal Rustam.

Rustam beberapa kali marah-marah di Lapas dan hampir menonjok Yarmon karena kesal. Namun  akhirnya mereka mendapat  jalan keluar. Rosmala melobi istri  kepala lapas agar Novi bisa berobat keluar.  Dan akhirnya atas bujukan sang istri, Kepala Lapas mengizinkan Novi berobat. Namun Yorman marah-marah karena tahu Rosmala mengadu.

Akhirnya pada tanggal 19 November 2010, Rosma  disuruh menjadi jaminan dan bersedia mati ditempat jika Novi kabur. Rasa takut menyelimutinya, namun demi anak apapun ia lakukan.  Bahkan sempat terucap pada bibir Rosma, bahwa ia bersedia menjadi jongos Yorman dan orang-orang lapas jika anaknya sembuh.
Novi kehilangan banyak darah, ia pun menghembuskan terakhir  tanggal 8 Mei 2012 pukul 17.00. Baru saja Novi pergi, telepon berdering.  Pihak lapas meminta Rosma mengurus biaya administrasi rumah sakit kemudian meminta  jenazah Novi diantarkan ke lapas. Rosmala pun naik pitam, “kemana aja kemarin-kemarin. kenapa sekarang baru nelpon.  Rosma tak terima Novi dibawa ke Lapas, ia langsung membawa jenazah Novi pulang. Novi dikebumikan tak jauh dari rumah barunya, di Jalan Haji Mena.

Meski Novi telah meninggal, Rosma kerap memikirkan anak keduanya itu. Dimatanya Novi anak yang baik dan tak pernah melawan.  Pemuda kelahiran Sidomulyo 26 April 1986 itu memang sangat pendiam dan penurut. Sejak kecil  anak kedua dari enam bersaudara ini  memang berbeda. Ia tak menghabiskan waktu untuk bermain melainkan sibuk  membantu ayahnya yang berprofesi sebagai penjahit.  Bahkan ketika sang ayah meninggalkan mereka, Novi bersama ibunya menjadi tulang punggung keluarga.

Kini Novi tiada, namun Rosmala belum bisa menerimanya.  “Saya belum ikhlas Novi meninggal. Lisa, Yarmon, Ali dan Yusmaidi penyebabaaabnyaaa !” Rosmala berteriak sambil mengelus dadanya. Kemudian ia mengambil telepon genggamnya, ia mencari nomor Lyza Zastavary, seorang petugas lapas.

“Saya mau tanya sama perempuan itu gimana kabar anak saya sekarang. Bisa gila kalo gini. Masih sakit hati saya, waktu perempuan itu gak ngizinin Novi berobat. Cuma karena anak saya tahanan seumur hidup. Dia  takut Novi kabur. Liat sekarang, umur anak saya ga nyampe untuk kabur,” jerit Rosmala sambil mengacungkan tangannya.

Ketika ditemui di ruangannya di Rutan Kelas I Rajabasa, dokter Yarmon tak mau bicara ia hanya akan bicara jika ada izin dari pihak lapas. Begitu juga dengan bagian lapas lainnya, mereka hanya mau bicara jika dr Yarmon mengizinkan karena mereka adalah bawahan dr Yarmon. Dan Novi merupakan pasien tanggung jawab Yarmon.

Jalan lain  untuk mewawancarai pihak lapas adalah  izin peliputan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kantor Wilayah Lampung.  Namun berdasarkan surat edaran Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Tanggal 10 Mei 2011 bahwa setiap narapadana atau tahanan tidak diperkenankan untuk melakukan wawancara baik langsung maupun tidak langsung, melalu media cetak maupun elektronik antara lain berupa wawancara, talkshow, telekonfence dan rekaman.

Peraturan kedua menyebutkan bahwa lapas atau rutan tidak diperbolehkan sebagai tempat peliputan dan pembuatan film, karena selain menganggu kegiatan pembinaan dan mengusik ketentraman penghuni juga akan berdampak pada gangguan sistem keamanan lapas atau rutan.

Sedangkan peraturan terakhir tertulis bahwa peliputan untuk kepentingan pembinaan dan dokumentasi negara dapat dilakukan secara selektif setelah mendapat izin dari Direktur Jenderal Pemasyarakatan atau bila perlu dari Menteri Hukum dan HAM RI. Sehingga pihak lapas pun tak mau buka suara untuk memberi konfirmasi.

Oleh : Nely Merina

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

two + six =