Jatuh Hati Pada Anak Autis

Ajeng
408 dibaca
Ditambahkan sumber Repro.
Ditambahkan sumber Repro.

teknokra.co : Tak pernah terbesit dalam benak Ajeng menjadi seorang terapis anak Autis. Minat dan kesukaannya pada anak-anak autis membuatnya setia pada rutinitas mengajar.

Yayasan Cinta Harapan Indonesia (YCHI) Lampung pertama kali ia kenal dari Susi Novianti. Susi yang yang juga kakak tingkatnya itu merupakan koordinator klinik terapi bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Ajakan Susi untuk bergabung dengan YCHI coba Ajeng terima. Perlahan, ia mulai jatuh cinta pada aktivitas mengajarnya. Ketertarikannya itu ia perlihatkan dengan rajin mengikuti pelatihan keterapisan.

Rutinitas mengajar itu Ajeng lakoni sejak semester tiga hingga sekarang. Setiap usai kuliah, ia mengunjungi kantor YCHI yang berada di jalan Pelita Ujung no.3 Labuan Ratu, Bandarlampung. Meski kerap dibenturkan dengan rutinitas kuliah, Ajeng tak merasa kesulitan membagi waktu. Disana, ia dibantu sembilanvolunteer lainnya. Ajeng mendapat jadwal setiap hari Senin sampai Jum’at mulai pukul 14.00-16.00 WIB.

Anak-anak autis yang belajar bersama Adjeng tergolong dari kalangan kurang mampu di Lampung. Sebagian anak-anak itu ia kumpulkan bersama teman-teman lainnya di YHCI dari lingkungan sekitar. Sisanya merupakan anak yang sengaja didaftarkan oleh orang tuanya. Selama ini, yayasan tempat Adjeng bernaung telah melakukan sosialisasi ke sekolah dan masyarakat. Berbeda dengan klinik terapi provit, di YCHI para pasien tidak dipungut biaya apapun. Namun, adakalanya orang tua pasien secara membawakan makanan untuk para terapis sebagai tanda terima kasih.

Usia anak-anak yang Adjeng tangani bermacam-macam, mulai dari lima hingga sembilan belas tahun. Saat ini, terdapat dua belas anak yang masih belajar. Beberapa anak telah lulus dan dapat bersekolah di sekolah biasa, namun ada juga yang memilih bersekolah di SLB.

Selama ini, Adjeng menargetkan 6 bulan agar anak didiknya dapat lulus tahap terapi. Mereka dikatakan lulus jika sudah mampu duduk tenang, berdiri tegak, menulis, mewarnai, dan aktivitas belajar lainnya. Meski demikian, tak jarang ada anak didik yang butuh waktu tebih lama. Daya tahan tubuh anak yang seringdrop membuat tahapan terapi menjadi terhambat. “ Pernah ada pasien yang berumur 14 tahun kami off karena dia terlalu aktif dan kami pun tidak sanggup menangganinya,” jelas Adjeng.

Menurutnya, mengajak anak-anak autis untuk belajar butuh kesabaran dan kerja keras. Kondisi mental mereka yang tak stabil menjadi penyebabnya.Tak jarang, ketika belajar anak-anak didikan Ajeng mengalami tantrum (red: ngamuk). Kalau sudah begitu, anak-anak biasanya akan menangis atau memukul-mukul meja. Bahkan, ada juga yang memukul terapisnya. “Saya pernah didorong,” ujar Adjeng menceritakan pengalamannya. Namun, ia menganggap hal tersebut sebagai respon yang wajar. Menurutnya, penyebab tantrum karena anak ingin mencari perhatian. “Namun, ada juga yang mengamuk karena merasa tak nyaman dengan suasana belajar, udara, atau makanan,” tambahnya.

Untuk menanganinya, Adjeng akan mencoba memegang lengan anak, mengelus, atau memeluknya agar merasa nyaman. Namun, saat tak dapat dikendalikan, ia terpaksa harus mengikat mereka dengan bantuan teman pengajar lain. Dalam proses belajar, metode yang diterapkan bermacam-macam, seperti gross mottors,font mottor, sensor integrasi dan latihan berbicara. Semua metode tersebut dirancang untuk mengembangkan cara berpikir dan berinteraksi anak-anak.

Kepeduliannya pada anak-anak autis coba ia tularkan untuk orang lain, Adjeng sering kali mengajak orang-orang untuk ikut menjadi volunteer melalui media sosial. Mahasiswa yang berusia 21 tahun ini aktif berkampanye melalui twitter, facebook, dan blog. Dari situ, ia sering mendapatkan volounter yang tertarik membantunya mengajar beberapa pertemuan. “Sering, kalo saya nge-tweet banyak volunteer-volunteer bayangan yang ikut,” jelasnya.

Kegitan mengajar yang ia lakoni pernah membuatnya kelelahan. Beban pikiran yang tidak stabil membuat penyakit tipusnya kambuh. Meskipun begitu, ia enggan mengurangi aktivitas mengajarnya. Orangtua Adjeng juga sempat khawatir aktivitas mengajarnya akan menganggu perkulihan. Namun, ia dapat menepis kekhawatiran itu dengan memperoleh nilai IPK 3,79. Hal ini membuat orangtua Adjeng mendukung pekerjaan sosial yang ia geluti.

Adjeng mengaku anak-anak membuatnya nyaman untuk terus mengajar. Meskipun hanya diberikan uang transport sebesar dua puluh lima ribu rupiah setiap hari, ia mengaku tetap semangat. Adjeng mengaku tak pernah merasa jenuh. “Disini saya anggep sebagai main-main biasa bukan sebagai pekerjaan, karena banyak anak-anak yang mengasikkan,” terangnya.

Sebenarnya, ia pernah bekerja di klinik terapi yang profit. Namun, ia merasa tak sepakat degan manajemen ditempatnya bekerja. Baru satu hari bekerja, ia memutuskan untuk resign. Menurutnya, pihak perusahaan menganggap anak-anak sebagai aset untuk memperoleh keuntungan.

Selain menjadi terapis, anak ke tiga dari empat bersaudara ini bergabung dalam komunitas Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (Gerkatin). Disana, ia menjadi interpreter atau penerjemah yang membantu penderita tunarungu berkomunisasi dengan orang normal. “Organisasi ini sudah lama ada, tapi sempetvacum karena tidak adanya interpeter,” jelasnya.

Mahasiswi yang memiliki hobi baca novel ini belajar bahasa isyarat secara langsung dengan seorang tunarungu. Ia mulai belajar sejak Mei tahun lalu. “Saya seminggu berkomunikasi dengan tunarungu. Saya ajak ke kampus, ajak makan,” akunya. Panggilan jiwa membuatnya tetap bertahan belajar bahasa isyarat dan menjadi interpreter.

Sebagai hasil kerja keras dan keikhlasannya, beberapa pekan lalu Adjeng menghadiri penganugerahan sebagai Young Change Makers Asoka Indonesia di Jakarta. Penghargaan ini ia peroleh setelah lolos seleksi sebagai pemuda yang memiliki dedikasi di bidang sosial. Program kerja Toys Charity for Autism yang ia jalankan sejak april 2013 membawanya mendapatkan penghargaan itu. Program itu ia gulirkan dengan cara menggalang dana untuk anak-anak autis. Dana tersebut digunakan untuk menjalankan program terapi dan pembelajaran bagi mereka.

Tak hanya itu, ia juga pernah menghadiri acara International Youth Conference For Peace Union. Acara yang digelar di Taman Mini Indonesia Indah ini dihadiri oleh 50 orang dari 30 negara. Saat itu, Ajeng menjadi satu dari lima perwakilan untuk Indonesia.

Ia mengaku akan terus bekerja dibidang sosial ini. “Saya nggak tahu sampai kapan, mungkin setelah lulus saya masih menggeluti profesi ini. Hanya saja mungkin di kantor pusatnya yang di Jakarta,” ucapnya. Gadis ini juga berharap lebih banyak orang-orang yang memperhatikan anak-anak berkebutuhan khusus ini. Menurutnya, mereka memiliki hak mendapat kebahagiaan seperti anak normal lainnya. Baginya, minat dan kesukaannya pada anak-anak autis membuatnya bertahan. “You don’t choose your pasion, but your pasion choose you,” ujarnya.

Laporan : Rika Andriani

Editor : Vina Oktavia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

eleven − ten =