Teknokra.co : Elvina Harahap, Koordinator Jaringan ODHA Berdaya (JOB), duduk bersila di lantai dengan senyum hangat. Terlihat ia masih setengah sibuk merapikan kertas-kertas di atas meja lipat. Raut wajah perempuan yang akrab dipanggil Vina itu nampak berseri. Meski ia sudah menginjak usia 39 Tahun, binar ayunya masih tetap memesona. Rupanya karena ia telah berdamai, menerima dirinya secara penuh dan lapang sebagai pasien Human Immunodeficiency Virus (HIV).
Saat pertama kali Vina tahu tubuhnya terinfeksi virus itu di tahun 2004, ia sempat syok. Kini waktu telah bergulir hampir 19 tahun. Selama itu juga dirinya berproses menelan pahit fase penyangkalan hingga akhirnya berhasil bertahan sampai di tahap penerimaan diri seutuhnya. Pergulatan batin, fisik, mental dan perjuangannya terbayar. Vina mencapai puncak damai dengan tubuh dan hatinya.
“Di tahap penerimaan diri, saya nggak mikirin lagi besok mau gimana, tapi lebih kepada saya harus sehat,” tegas Vina.
Semangat sehat miliknya tak disembunyikan begitu saja. Ia bersama rekan ODHA membentuk lembaga swadaya bernamakan Jaringan ODHA Berdaya yang akrab dengan sapaan JOB. Wadah ini ditujukan untuk membantu orang-orang yang terindikasi HIV dan AIDS di Lampung. Vina bersama rekan ODHA yang tergabung dalam JOB rutin melakukan pendampingan. Hampir setiap hari ia dan rekan JOB bergiliran wara-wiri membantu pasien untuk mendapatkan pengobatan di rumah sakit rujukan, tepatnya di Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek.
Kini sekitar 600 ODHA sudah terfasilitasi oleh lembaga yang berdiri sejak 2015 itu. Sepetak kontrakan di Jl. Perintis Kemerdekaan, Kota Bandarlampung yang berplangkan ‘Rumah Sahabat JOB’ difungsikan sebagai tempat singgah bagi sahabat yang tinggalnya jauh dari ibu kota provinsi. Walau tak ada upah untuk pekerjaan mulia ini, dan hanya mengandalkan penggalangan dana untuk sekedar membayar biaya listrik bulanan dan sewa kontrakan. Ia dan tim JOB tak pernah berhenti mengulurkan tangan, mengupayakan yang terbaik untuk rekan ODHA.
Kiprah Vina bersama JOB tak selalu berjalan mulus. Rasanya selalu ada tantangan tiap kali hadir pasien baru yang didiagnosis HIV/AIDS. Sama seperti sifat orang pada umumnya, beberapa kali sikap denial muncul, baik dari dalam diri pasien maupun pihak keluarganya. Namun, Vina memakluminya, lantaran ia sudah pernah berada di titik itu. Dengan telaten ia bersama tim memberikan edukasi dasar soal HIV/AIDS. Tak cukup hanya memberikan pengetahuan, dampingan psiko sosial juga terus dipraktikkan.
Kegiatan JOB tak terbatas untuk ODHA, Lembaga swadaya ini sering melakukan sosialisasi terkait HIV/AIDS kepada masyarakat. Tak sebatas menyoal pencegahan penularan, tapi juga untuk memangkas stigma negatif soal ODHA. HIV/AIDS bukan hanya tentang permasalahan kesehatan, tapi lebih kompleks mencakup berbagai aspek dalam kehidupan bermasyarakat.
“Betul, secara garis besarnya kalau orang melihat itu soal masalah kesehatan karena kan berkaitan dengan penyakit, virus. Tapi irisannya banyak. Irisannya ya masalah sosial, budaya, agama juga kadang dibawa-bawa, hak asasi manusia, ekonomi. Serta berkaitan juga dengan stigma dan diskriminasi,” tutur Vina.
Ia menilai masih banyak masyarakat yang belum memiliki pemahaman tuntas soal HIV/AIDS. Pasien yang terinfeksi virus ini kerap dikaitkan dengan hal-hal buruk dan dianggap menyimpang di masyarakat. Kesimpulan ini diambil lantaran HIV dapat menular melalui cairan darah dan cairan seksual, sehingga selalu dikonotasikan negatif. Padahal penyebarannya dapat juga berasal dari transfusi darah.
Walau HIV dapat menular, tetapi ia menekankan penularannya tidaklah mudah.
“Memang benar menular, tapi nggak gampang,” ucapnya.
Menurutnya tidaklah benar apabila masyarakat menjauhi dan enggan berkontak sosial dengan pasien HIV. Tanpa adanya kontak cairan darah dan kontak cairan seksual, maka melakukan kontak sosial tidaklah bermasalah. Vina sebagai contoh, ia hidup bersama kedua putrinya dan menjalankan kehidupan sosial seperti pada umumnya. Meskipun begitu, kedua putrinya itu tetap berstatus negatif HIV.
Namun, Vina mengimbau agar setiap orang tetap punya kesadaran tinggi akan kesehatannya masing-masing. Karena setiap orang punya potensi untuk menjadi pasien, terutama orang yang rentan tertular atau yang memiliki perilaku berisiko. Misalnya orang yang sering melakukan hubungan seksual tanpa alat pengaman (kondom) dan bertukar jarum suntik. Sayangnya, banyak orang memiliki ketakutan yang begitu besar untuk melakukan tes HIV.
“Masalahnya orang yang punya kesadaran sendiri, apalagi dia tau dia sadar berisiko biasanya takut untuk melakukan tes,” ujar Vina.
Padahal jika dideteksi lebih dini dan kekebalan tubuh belum terlalu menurun, maka peluang membuat kondisi imun tubuh menjadi stabil akan lebih besar.
Bukanlah hal mudah untuk Vina bisa bertahan di tengah masyarakat sekarang. Meskipun sampai saat ini belum ada orang yang mendiskriminasi dirinya secara terang-terangan. Tapi stigma terhadap pasien HIV itu akan tetap melekat karena belum adanya kepahaman dan keinginan untuk belajar serta memahami soal HIV secara utuh. Itulah yang membuat dirinya beserta tim terus menjaga eksistensi JOB, supaya keinginan besar lembaga swadaya ini terwujud, yakni menebarkan kekuatan dan bantuan bagi sesama ODHA.
“Ngediriin sesuatu itu gampang. Tetapi kesinambungan, keberlangsungannya itu yang kita harus benar-benar ekstra (usahakan).” Pungkasnya.