Kampus  

Ingin Mengulang Sekali Lagi

253 dibaca

Mahasiswa KKN

Tek-Online: Tak ada listrik, tak ada sinyal, mandi di kali, jalanan becek, masih hutan, dan jauh dari keramaian. Hal tersebutlah yang menjadi momok para peserta KKN. Natasya Zakia Ghibran (Ilmu pemerintahan’09) salah satunya, ia sempat ketakutan ketika Dewan Pengawas Lapangan (DPL) menetapkan Ia KKN di Kecamatan Banjit. Isu banyaknya binatang babi membuat ia ketakutan. Bagaimana tidak binatang itu masuk kategori binatang yang tidak disukainya.

Namun ketika sampai di lokasi, di Kelurahan Pasar Banjit Kabupaten Way Kanan justru sangat modern. Tak ada babi berkeliaran, rumah-rumah tak lagi geribik, bahkan berkeramik. Fasilitas parabola menghiasi hampir seluruh rumah. Pola pikir masyarakatnya pun sudah sangat maju sehingga Tata panggilan akrab gadis ini merasa kesulitan melakukan pengabdian. Bagaimana tidak maju jika sejak SD daerah ini telah dikenalkan komputer bahkan internet.

Namun untuk mandi dan mencuci ia harus melakukannya di sungai. Ia pun harus berbecek-becek ria disaat matahari belum meninggi untuk menanam padi di sawah. Ia merasakan pengalaman hidup yang sangat bermakna ketika menjalani KKN. “KKN itu menyenangkan, dikenang boleh, diulang jangan karena jika dua kali KKN banyak sekali biayanya,” kata Tata.

Perasaan serupa juga dirasakan Tri Lestari (Teknik Sipil’08), awalnya ia pikir dusun Margosari Kabupaten Pesawaran sebuah dusun yang benar-benar terpencil,dan kalau mandi harus memakai kemben. Ternyata dugaan Tuwi (sapaan akrabnya) meleset, tak seburuk yang dibayangkan. Meski ada beberapa rumah yang memang terlihat tidak layak, namun rata-rata rumah penduduk sudah berdinding bata dan beralaskan semen kasar.

Sebelum kelompok KKN nya datang, Dusun Margosari Kabupaten Pesawaran belum ada listrik. Hanya beberapa rumah yang memiliki genset, itupun hanya lampu ruang tamu yang menyala. Sedangkan lampu lainnya mati sehingga dusun jika malam seperti suram. Dalam program kerja Tuwi maka dirumuskan membuat pembangkit listrik microhidro.

Tidak sia-sia program yang mereka jalankan selama 40 hari tersebut menuai hasil yang cukup membanggakan, listrik pun masuk desa. Masyakat sangat berterima kasih, sehingga mereka tinggal dan makan gratis disana. Selain membuat pembangkit listrik, Tuwi dan kelompoknya membantu petani menjemur kakao dan mensurvei potensi Dusun Margosari.

Sebenarnya banyak pengalaman yang bisa diambil dari KKN, Tuwi mengaku senang meski sedih karena jauh dari keluarga apalagi saat itu bulan puasa. Mereka saling membantu kalau ada kesulitan bahkan ketika ada yang sakit semuanya ikut andil mengurus teman yang sakit tersebut. Mereka juga sering membantu warga dalam menjemur kakao dan pengajian bersama.

Karena jumlah mahasiswa yang KKN di Desa Margosari berjumlah 21 orang, kelompok besar ini pun diberi nama Twenty One Margosari. Menurut Tuwi hal yang paling berkesan ketika kenal dekat dengan jurusan lain dan hingga saat ini masih menjalin komunikasi dengan baik. Kebersamaan mereka selama 40 hari tak hanya membuat mereka seperti saudara, mereka pun menciptakan silsilah keluarga sendiri. Mereka punya panggilan masing-masing bukan nama melainkan panggilan ayah, mamah, nenek, uncle,dan lainnya. Tak hanya persaudaraan kisah kasih nyata pun tercipta disana hingga kini hubungan itu masih tetap terjalin.

Sebelum pulang Tuwi beserta mahasiswa KKN yang lain mengadakan acara nonton bareng bersama warga Margosari. Karena tak mau berpisah akhirnya film diputar berulang hingga pukul empat subuh dan mereka tidak tidur sampai jemputan datang. Saat mereka berpamitan tangisan pecah karena mereka tak ingin berpisah. Hingga sekarang Tuwi ingin mengulang masa-masa KKN dengan orang dan tempat yang sama.

Andreas mahasiswa Agroekoteknologi 2008 pun merasakan yang sama. Setiap bertemu teman-teman KKN nya, rasa ingin kembali KKN selalu menjangkitnnya. Padahal dulu ia enggan berangkat, karena seringnya mendengar cerita tak enak mengenai KKN. Harus hidup susah di desa terpencil. Ia bersama kelompok KKN nya sebelum berangkat pun telah menyiapkan amunisi, dari piring, tikar, payung hingga kain jarik. Namun sampai disana keadaan jauh dari bayangan.

Ia mendapatkan tempat tinggal yang amat luas, dengan fasilitas lengkap. Lima kamar tidur dan kamar mandi khusus disetiap kamar, Garasi yang mampu menampung lima mobil, beranda yang luas, ruang tamu, ruang keluarga dengan fasilitas tiga unit sofa, dua unit TV berukuran 40 inci, ruang makan luas, dapur dan dua kamar mandi tambahan serta listrik yang menyala terang benderang. Belum lagi ruang belakang yang membentang sebagai sarana gudang.

Andreas dan kelompoknya bisa dibilang beruntung menjalani hari-hari awal selama KKN. Kepala Kampung tidak memungut sedikitpun biaya untuk tempat tinggal dan makan mereka selama disana. Induk semang (ibu kepala Kampung) begitu baik bahkan menyiapkan seorang juru masak untuk menyiapkan makanan mereka selama tinggal disana. “Bahkan Kepala Kampung menyiapkan satu unit mobil Taft dan satu unit motor besar untuk kami mondar-mandir menuju Kecamatan,” tuturnya.

Namun Andreas sempat khawatir karena ternyata ia ditempatkan didaerah denga tingkat kriminal tinggi. Anak SD saja sudah mengenal Narkoba dan Miras. Hal itu menjadi pekerjaan rumah kami untuk melakukan pembinaan kesadaran Hukum,” ujar Andreas.

Pengalaman menarik yang Andreas dan kelompoknya rasakan adalah ketika mereka mengajar siswa Sekolah Dasar 1 Gunung Sangkaran dan Taman Pendidikan Al-quran. Masyarakat kampung memang mengira mahasiswa adalah orang serba bisa. Padahal ia dan teman-temannya semua tidak ada yang berasal dari fakultas Keguruan.

Alhasil mereka menyanggupi dengan syarat di dampingi Guru kelas. Namun, mereka justru jatuh cinta dengan mengajar. Sekolah begitu mempercayai mereka sehingga di progja terakhir mereka mengadakan kegiatan perkemahan sabtu minggu (persami). “Ramai sekali saat api unggun, warga berkumpul seperti pasar malam,” cerita Andreas.

Andreas juga mengatakan dana memang habis banyak namun ia senang. Setiap progja mereka menggunakan dana pribadi yang sudah dkumpulkan kepada bendahara sekitar 800 ribu perorang. Itupun hanya untuk hidup disana. Meskipun tidak dipungut biaya, Andreas dan teman-temannya tetap memberikan uang sayur kepada induk semangnya. Menyuplai beras, mie instan, sayur mayur dan sembako. Belum lagi dana yang harus dikeluarkan untuk membeli kenang-kenangan untuk kampung. “Masalah dana saja yang memberatkan kami selama disana. Andai saja pihak rektorat mau membantu kami pasti lebih mudah,” kenang Andreas.

Cerita lain datang dari Diky Arif Efendi (Pend Kimia’08) ia ditempatkan di Muara Jaya 2, sebuah desa terpencil yang terletak di Lampung Barat. Listrik disana lebih sering padam dibandingkan nyala, sehingga jika listrik mati maka desa seperti desa mati.

Setiap harinya Diky harus mengajar di sebuah gedung baru, SMA Negeri 1 Kebun Tebu. Sekolah tersebut bagus namun setiap ia mengajar pasti ada babi yang berkeliaran sehingga anjing-anjing penjaga harus dilepaskan untuk mencegah maraknya babi. Terkadang anjing bisa ikut belajar di kelas sangking banyaknya anjing penjaga. Meski berada di daerah perkebunan kopi dan jauh dari keramaian siswa-siswa disana memiliki antusias yang tinggi dalam belajar. Ada rasa ingin mengulang masa-masa itu, ujar Diky. Namun itu tak mungkin karena kesibukan kuliah. Jika ada waktu luang maka Diky pasti kesana mengunjunginya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

5 × 2 =