Teknokra.co: Pernahkah kalian bertemu dengan mahluk astral atau goib? Bagaimana rasanya? Pasti takut, kan? Atau bahkan bisa gemetar? Aku pun demikian, takut akan hantu, bahkan di usia 22 tahun ini, Aku masih banyak ketakutan—takut hantu, takut ketinggian, dan bahkan takut naik bianglala. Aneh, bukan?
Pada suatu Minggu, Aku dan tiga temanku Gendis, Rahmah, dan Wahyu berencana mengunjungi sebuah pantai di Lampung. Pukul 13.30 siang, kami berangkat menuju pantai menggunakan dua sepeda motor. Kami sangat bersemangat, berbicara penuh canda tawa selama perjalanan. Sesampainya di pantai, kami bercengkrama sambil menikmati keindahan pantai yang tenang. Beberapa jam kemudian, rasa bosan mulai menyelimuti kami, dan salah satu teman saya, Tanish, mengajak untuk mendaki sebuah bukit yang ada di dekat pantai.
“Ayo, kita ke bukit itu!” ajak Gendis dengan penuh semangat.
“Ah, bukitnya jauh banget, nggak deh,” jawab salah satu teman kami, Wahyu, yang tampaknya agak malas.
Aku pun ikut menolak. “Males deh, aku nggak pakai sepatu yang cocok. Flat shoes dan dress kayak gini buat naik bukit nggak enak, nanti aku bisa jatuh.”
Namun, Gendis dan Rahmah, teman kami yang lain, tetap membujuk. Bukannya memberi alasan lebih lanjut, saya malah merasa terpaksa. “Ayo, kamu nggak bisa terus takut seperti itu. Kalau cuma bukit kecil sih, nggak masalah,” kata Rahmah.
Setelah beberapa kali dibujuk, akhirnya Aku sepakat untuk ikut. Dengan pakaian yang tidak sesuai dan rasa waswas yang meningkat, kami mulai mendaki. Tanah berbatu dan kerikil di jalur pendakian membuatku merasa kesulitan. Beberapa kali Aku hampir terjatuh karena sepatu flat yang saya kenakan terlalu licin.
“Astaga, aku nggak kuat! Kenapa aku setuju sih?” keluhku, sambil terus berjuang menapaki jalan yang terjal.
Gendis dan Rahmah yang sudah jauh di depan hanya bisa tertawa melihatku yang terus mengomel. “Udah deh, kamu pasti bisa,” kata Gendis sambil menungguku.
“Duh, ini pakaian nggak banget buat naik bukit,” Aku terus mengeluh.
Meski sudah berusaha untuk semangat, perjalanan terasa semakin berat. Setiap langkah terasa lebih panjang, apalagi ketika rumput liar yang menghalangi jalur mendaki semakin menambah kesulitan. Sekitar satu jam kemudian, akhirnya kami sampai di puncak bukit. Namun, bukannya merasa senang, Akujustru merasa ketakutan. Puncak bukit yang tinggi membuat tubuhku gemetar.
“Jangan deh, aku takut jatuh!” ucapku sambil duduk diam di atas batu besar.
Rahmah yang sudah tampak menikmati pemandangan hanya tersenyum melihat Aku yang tampak terkejut. “Tenang aja, nggak bakal jatuh kok,” kata Rahmah dengan santai.
Namun, Aku tetap merasa cemas. Pemandangan yang indah pun seakan tidak mampu menghilangkan rasa takutku terhadap ketinggian. Beberapa menit kemudian, Gendis yang semula sangat antusias melihat pemandangan, tiba-tiba melihat sesuatu yang membuatnya terkejut.
“Ada apa?” tanya saya, melihat ekspresi Gendis yang berubah.
“Ada asap! Asap tebal banget dari bawah!” ujar Gendis dengan panik.
Kami semua menoleh ke arah dari mana asap itu berasal. Tanpa pikir panjang, kami memutuskan untuk segera turun. “Ayo, cepat turun! Itu asapnya makin tebal!” kata Gendis.
Dengan perasaan takut dan gemetar, Aku mulai turun dari bukit, sambil menenteng sandal karena tidak memakai sepatu. Dua rekanku, Gendis dan Rahmah, sudah lebih dulu menuruni bukit. Aku berusaha mengikuti mereka dengan cepat, meskipun jalanan yang menurun membuat kakiku sangat sakit tanpa alas.
Namun, saat Aku turun, perasaan panik semakin membuncah. Api mulai melahap rumput di sekitar jalur pendakian. Asap semakin pekat, dan Aku merasa terjebak. “Apa ini? Kenapa ada api di sini?!” teriakku dalam hati.
Aku mempercepat langkah, bahkan berlari, meskipun jalanan penuh kerikil dan batu yang membuat kakiku kesakitan. Api semakin dekat, hanya berjarak lima meter dariku. Hatikusemakin cemas.
“Cepat, cepat! Jangan sampai terbakar!” teriakku sambil berlari menuruni bukit.
Akhirnya, setelah berlari sekencang-kencangnya, Aku berhasil menjauh dari kobaran api yang semakin cepat melahap rumput. Beberapa detik kemudian, Aku sampai di tempat yang lebih landai, di mana Gendis dan Rahmah sudah menunggu. Mereka melihatku dengan tatapan khawatir.
“Kamu oke?” tanya Gendis, memegang bahuku dengan cemas.
Aku hanya bisa mengangguk, meskipun napasku terengah-engah dan kakiku sangat sakit. Kami berhenti sejenak untuk menenangkan diri, lalu melanjutkan perjalanan turun dengan langkah lebih hati-hati.
Di bawah, di tepi pantai, kami akhirnya bisa beristirahat sejenak. Namun, ketenangan yang kami rasakan hanya bertahan sebentar. Tiba-tiba, dari kejauhan, kami melihat seorang pria yang sedang memanjat pohon kelapa dengan gesit.
“Wah, kayak monyet aja dia!” seru Rahmah, terkejut.
Aku yang melihatnya langsung terkejut. “Hah, itu orang atau monyet?”
Gendis tertawa. “Itu orang, tapi dia lagi ngambil air kelapa. Nggak perlu takut.”
Namun, ketakutanku belum berhenti. Apa yang kami alami di bukit tadi benar-benar menguras energi. Kami pun melanjutkan perjalanan pulang dengan diam, masing-masing merenung tentang kejadian yang baru saja terjadi