teknokra.co: Aliansi Pers Mahasiswa Lampung (APML) menggelar diskusi virtual tentang kekerasan seksual, Kamis (31/12). Diskusi ini sebagai respon terhadap pelecehan yang dilakukan Sekjen PPMI DK Malang dan DK Kediri, serta kekerasan seksual yang dilakukan Sekjen PPMI DK Semarang. Selain itu, diskusi dari APML ini turut mempertanyakan sikap PPMI yang tidak memberhentikan Sekjen PPMI DK Malang dan Sekjen PPMI DK Kediri.
Annisa Diah Pertiwi, Koordinator APML, menjelaskan kegiatan ini bertujuan untuk melihat duduk permasalahan yang terjadi. Selain itu agar sama-sama melihat penyelesaian kasus pelecehan seksual di pers mahasiswa dengan berbagai prespektif.
“Diskusi sebagai lanjutan dari peryataan sikap yang telah dibuat. Persma tidak boleh menormalisasi kekerasan seksual,” katanya.
Ia menambahkan dalam menyikapi kasus pelecehan seksual, pers mahasiswa harus berpihak pada korban.
“Kita harus berikan korban ruang untuk menyuarakan kekerasan seksual yang didapatkan. Sehingga dengan begitu kita bisa sama-sama menciptakan ruang aman bagi korban,” lanjut Annisa.
Wahyu Agung Prasetyo, BP-Advokasi PPMI Nasional, menjelaskan dalam menangani kasus kekerasan seksual pihaknya memperhatikan mental dan psiokologi penyintas. Langkah awal yang dilakukan adalah membentuk tim advokasi. Setelah itu memberikan forum pembelaan bagi pelaku untuk memperjelas sekaligus menghimpun bukti-bukti.
“Walaupun namanya forum pembelaan, bukan berarti membela pelaku. Namun, untuk memperjelas ke pelaku karena akan sulit membuktikannya. Apalagi yang dilakukan catcalling secara langsung. Bukti yang bisa dilakukan adalah pengakuan dari pelaku,” kata Wahyu.
Ia menambahkan, tidak diberhentikannya Sekjen DK Malang dan DK Kediri merupakan permintaan penyintas.
“Komunikasi kepada penyintas itu tidak mudah. Kalau teman-teman pernah mengadvokasi kasus kekerasan seksual menurut saya temen-temen akan lebih tahu.”
Chandra Muliawan, Direktur LBH Bandar Lampung, menuturkan dalam menangani kasus pelecehan seksual tidak boleh terjebak di wilayah proses pembuktian. Ia menilai terlalu naif jika mengharapkan bukti selain dari korban itu sendiri.
“Misal kaya pendapat ahli, yang disebut keterangan ahli merupakan salah satu alat bukti,” kata Chandra.
Chandra juga melakukan riset kecil tentang pelecehan seksual verbal yang dilakukan secara langsung di Bandar Lampung yang kebanyakan tidak ada yang naik sampai proses hukum.
“Kalau yang dilakukan sarana-saran teknologi banyak,” jelasnya
Hendry Sihaloho, Ketua AJI Bandar Lampung, menjelaskan pada prinsipnya tujuan advokasi adalah melakukan perubahan sesuai tujuan advokasi itu sendiri.
“Saya kurang bisa menangkap advokasi yang dilakukan PPMI ini lebih mengarah ke mana. Karena tujuan advokasi ini harus jelas, realistis, dapat diukur, dan siapa sasaran yang ingin diadvokasi. Dalam proses advoaksi itu kan ada prinsip-prinsip yang mesti dijalani misal non kekerasan, transparan, akuntabel, partisipatif, dan gender balance.”
Lely Samsul, Psikolog sekaligus anggota Women Martch Lampung, mengungkapkan ketika mendapatkan kekerasan seksual langkah awal yang harus penyintas lakukan adalah speak up. Selain itu harus memahami bahwa kekerasan itu disebabkan oleh pelaku.
“Karena ada beberapa penyintas yang merasa kesalahan ada pada dirinya. kemudian membuat dokumentasi saat kejadian, apakah ada bekas luka, penganiyayaan dan lain sebagainya.”
Langkah selanjutnya adalah mencari lembaga yang bisa melakukan konseling dan melaporkan kepada pihak yang berwenang.
“Untuk konseling bisa dilakukan misalnya ke psikolog atau psikiater,” kata Lely.
Penulis: Syendi Arjuna
BACA JUGA:
Andy Corry: Teknokra Sebagai Persma Kontrol Publik
Intervensi Terhadap Persma: Pengurangan Dana, Tindakan Represif, Hingga Pembredelan