Teknokra.co : Diskusi komunitas Pojok Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Lampung (Unila), pada Selasa (26/11), di Taman FISIP Unila.
Dengan tema “Polemik Demokrasi di Indonesia: Paradoksi Demokrasi sebagai Bentuk Neo-Feodalisme.” Diskusi ini menghadirkan Hendry Sihaloho, jurnalis Konsentris, dan Feri Firdaus, dosen Ilmu Komunikasi FISIP Unila, sebagai pemantik.
Diskusi ini membahas paradoksi demokrasi di Indonesia menggambarkan adanya pertentangan antara sistem demokrasi yang dijalankan secara formal dan realitas politik yang terjadi.
Fenomena ini menghasilkan apa yang disebut sebagai “neo-feodalisme,” di mana kekuasaan yang sejatinya harus dimiliki oleh rakyat justru terkonsentrasi pada kelompok tertentu melalui hubungan patronase dan dinasti politik. Struktur semacam ini mengingatkan pada era feodal, di mana kuasa hanya dimiliki segelintir orang.
Menurut Hendry, banyak anak muda yang tidak tertarik dengan kondisi politik di Indonesia, meskipun kehidupan mereka dipengaruhi oleh para pemimpin yang memegang kendali pemerintahan.
Ia menyoroti minimnya perhatian mahasiswa terhadap proses politik, yang sering kali hanya memilih pemimpin tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang.
“Hal ini perlu dibenahi, mengingat Indonesia tengah menghadapi banyak penyimpangan politik yang merugikan rakyat, seperti korupsi. Penyimpangan ini sering terjadi karena adanya praktik neo-feodalisme atau dinasti politik,” ungkap Hendry.
Ia juga menegaskan pentingnya memahami bahwa situasi politik Indonesia saat ini tidak baik-baik saja.
Feri Firdaus, dosen Ilmu Komunikasi FISIP Unila, menambahkan bahwa mahasiswa perlu mengambil peran signifikan dalam politik dan pemerintahan. Ia mendorong organisasi mahasiswa di Unila untuk menjadi penyambung suara masyarakat kecil yang sering kali diabaikan penguasa.
“Mahasiswa posisinya ada di tengah, bisa berkomunikasi dengan elit sekaligus dekat dengan masyarakat kecil, terutama kaum marginal,” jelas Feri.
Ia menekankan pentingnya aksi mahasiswa, seperti demonstrasi, sebagai wujud kebebasan berpendapat dan berekspresi.
“Mahasiswa tidak boleh kehilangan akal sehat dan rasa ingin tahu supaya gerakan mahasiswa tidak menghilang,” tegasnya.
Sesi diskusi semakin menarik ketika Dzuhri (Sosiologi’24) menanyakan perbedaan rezim Orde Baru dan rezim saat ini.
Pertanyaan tersebut mendapat tanggapan dari Hendry, yang membagikan pengalamannya hidup di era Orde Baru.
“Pada masa Orde Baru, masyarakat dilarang mengungkapkan pendapat dan kritik. Berbeda dengan saat ini, masyarakat memiliki kebebasan menyampaikan aspirasi. Namun, kita juga harus sadar bahwa kekuasaan itu menimbulkan ketakutan,” kata Hendry.
Ia juga menyoroti upaya pemerintah saat ini yang menggunakan kebijakan untuk memusatkan kekuasaan dari pusat hingga daerah.
“Ada upaya para pemangku politik menggunakan instrumen kebijakan untuk menyentralisasi kekuasaan,” jelasnya.
Diskusi ini memantik antusiasme peserta, yang sepakat bahwa demokrasi di Indonesia masih memiliki tantangan besar untuk mewujudkan keadilan dan pemerataan kekuasaan bagi seluruh rakyat.