Teknokra.co: Rencana Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) untuk Revisi Undang-undang (RUU) Pilkada di tengah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai ambang batas pencalonan pilkada, menimbulkan kekecewaan masyarakat terhadap lembaga legislatif tersebut. Berbondong-bondong masyarakat menolak dan menentang perencanaan DPR RI dengan berunjuk rasa, untuk mengawal putusan MK yang final dan mengikat.
Sebagai bentuk pengawalan putusan MK, serta perlawanan terhadap segala bentuk pembangkangan terhadap aturan hukum dan konstitusi, Unit Kegiatan Penerbitan Mahasiswa (UKPM) Teknokra menggelar diskusi publik dengan mengusung tema “Indonesia di Bawah Kendali Oligarki” di Balai Rektorat Universitas Lampung (Unila) pada Sabtu malam, (24/8).
Teknokra mengajak seluruh elemen masyarakat berdiskusi, dengan menghadirkan pemantik dari akademisi sekaligus pengamat, jurnalis, dan NGO lainnya. Para pemantik mengamati dan mengkaji fenomena oligarki di Indonesia. Mereka memaparkan, bagaimana sekelompok individu dan keluarga tertentu telah mendominasi berbagai sektor kekuasaan, ekonomi, dan politik.
Diskusi tersebut juga membahas upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah oligarki di Indonesia, seperti reformasi regulasi, pemantauan yang ketat terhadap aliran dana politik, serta penguatan peran masyarakat sipil dan media dalam mengawasi jalannya pemerintahan.
Pengamat sekaligus akademisi Hukum Tata Negara Unila, Muhtadi menekankan bahwa saat ini demokrasi negeri ini diujung tanduk, karena telah melewati proses demokrasi yang tidak baik.
“Demokrasi itu runtuh karna proses demokrasi itu sendiri. Ketika masyarakat sipil cenderung pemaaf, pelupa dan baik jangan harap produk yg dihasilkan institusi akan cenderung berpihak pada rakyat, banyak karna proses demokrasi yang nggak bener,” tuturnya.
Perwakilan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung, Bowo mengatakan bahwa rakyat memiliki tanggung jawab moral untuk mengawal segala dinamika bangsa, salah satunya dengan unjuk rasa setiap aturan yang bertentangan dengan kehendak rakyat.
“Nggak ada alasan sebenarnya kawan-kawan untuk tidak turun ke jalan itu karena selain karena identitas sebagai mahasiswa juga ada tanggung jawab moral yang melekat pada kawan-kawan untuk mengawal bersama apa dinamika bangsa ini gitu,” katanya.
Menurut Bowo, saat ini masyarakat tak boleh lengah, harus mengawal jalannya demokrasi yang hendak dirampas kelompok elit.
“Mengawal demokrasi mengawal bagaimana jalannya negara hukum ini tidak dibaca oleh kelompok kepentingan orang menyebutnya oligarki di sebagian kelompok apa diskusi gitu ya ada lagi istilah legalistik auto perang orang-orang yang kemudian menggunakan hukum untuk menggunakan fasilitas,” ujarnya.
Putusan MK yang sejatinya memberikan angin segar diantara warga sipil yang mengeluhkan hukum memang produk politik, namun ketika diproduksi dari lembaga hukum maka akan menjadi produk hukum dan berlaku final mengikat.
“Institusi kita harus tunduk pada hukum yang berlaku tapi sayangnyanya MK sendiri tidak lepas dari produk politik, hal ini menjadikan kelompok sipil menjadi pesimis terhadap peradilan contoh yaitu putusan MK,“ kata Bowo.
Dari segi jurnalis dan media, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung, Dian Wahyu Kusuma menerangkan, bahwa sebagai media, harus independen di tengah isu negara yang sedang dalam kondisi darurat.
“Mereka punya kebijakan redaksi yang memang bekerja di cari aman gitu. Ketika ada masalah lagi negara dan demokrasi,” terangnya.
Menurut Dian, media mempunya tanggung jawab kontrol sosial bagi masyarakat dan penikmat berita, maka harus memproduksi berita yang tak hanya sekadar seremoni belaka.
“Jadi bukan hanya buat berita yang sifatnya ceremony berita,” jelasnya.
Pada akhir diskusi, peserta diskusi menyepakati perlunya langkah-langkah konkrit dan berkelanjutan untuk memutus rantai dominasi oligarki di Indonesia demi mewujudkan demokrasi yang lebih sehat dan pemerataan ekonomi yang lebih adil bagi seluruh rakyat Indonesia.