teknokra.co : Masih jelas dalam ingatan saya ketika tiba pertama kali di Aceh, tepatnya di Bandara Sultan Iskandar Muda, Aceh Besar kala itu sekitar pukul 16.00 WIB. Saya dijemput perwakilan dari Office of International Affairs (OIA) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah). Sambutan yang hangat langsung saya rasakan pada saat penjemputan.
Selepas itu saya diajak untuk mengitari Kota Banda Aceh, saya cukup terkejut karena saya pikir Banda Aceh adalah sebuah kota yang sangat besar dan terdapat banyak bangunan megah mengingat kota ini dibangun ulang selepas tsunami 2004. Ternyata hampir tidak ada bangunan pencakar langit yang saya temui (selain menara Masjid Raya Baiturrahman), saya dijelaskan bahwa hal ini terkait dengan mitigasi bencana, dan alasan ini cukup masuk akal bagi saya mengingat bencana yang pernah menghancurkan kota ini pada 2004.
Pada malam harinya saya dihubungi teman satu jurusan yang sebelumnya telah saya hubungi sebelum saya berangkat ke Aceh, saya sendiri dikenalkan oleh mahasiswa dari Unsyiah yang pertukaran ke Universitas Lampung karena mereka telah tiba lebih dulu di Lampung. Dalam pesan yang saya terima itu berisi ajakan untuk ngopi bersama teman sejurusan lainnya.
Saat di kedai kopi itulah saya merasa sedikit terkejut akan apa yang saya lihat, di mana sekelompok pemuda yang asik sedang bermain PUBG. Kita tentu pernah mendengar bahwa game PUBG dan sejenisnya diharamkan di Aceh, dan juga isu bahwa hukuman bagi pemain PUBG adalah cambuk. Kata terakhir itu mungkin adalah apa yang terbayang di kepala kita saat mendengar Aceh.
Bagi saya sendiri kata-kata seperti syariat, ekstrem, dan cambuk merupakan isi kepala saya ketika membayangkan Aceh. Bisa dikatakan pandangan saya tentang Aceh tidak terlalu bagus dan sempat membuat saya sedikit khawatir saat tahu saya akan menghabiskan satu semester di sini.
Awal perkuliahan di sini pemandangan cukup berbeda saya temui di mana tidak ada mahasiswi yang menggunakan pakaian ketat. Pemandangan yang cukup berbeda biasanya saya melihat banyak mahasiswi yang berjilbab namun bercelana jeans ketat (guna menunjang penampilan katanya). Namun terkait pergaulan dengan teman laki-laki dan perempuan tidak ada perbedaan mencolok yang saya temukan. Saya sedikit lega karena Aceh tidak sekonservatif yang saya bayangkan.
Sejak itu waktu terus berjalan dan hingga kurang lebih 3 bulan di sini bisa dikatakan saya sangat menikmati kehidupan di sini. Stigma buruk saya tentang Aceh perlahan-lahan terkikis oleh keramah tamahan masyarakatnya.
Memang benar Islam mengalir dalam nadi masyarakatnya, melebur dalam adat serta kebiasaan. Aceh ternyata tidak semenyeramkan yang saya duga sebelum saya tiba. Satu hal yang saya kagumi dari Aceh adalah kebanggaan yang dimiliki para pemudanya terhadap adat dan tanah kelahirannya, suatu hal yang sulit saya temui belakangan ini di mana biasanya pemuda seumuran seperti saya menyusun ‘identitas baru’ demi disegani di lingkaran pertemanannya.
Satu hal yang harus kita semua pahami adalah syariat Islam mengalir dan hadir dalam masyarakat Aceh sejak dahulu kala dan membentuk watak, struktur sosial, dan pola masyarakatnya. Hal yang sulit dipahami bagi kita yang selama ini hanya menerima Islam sebagai dogma.
Islam dan adat kebudayaan bersatu padu di sini, kita selama ini menghakimi Aceh sebagai tempat dengan Islam yang ekstrem karena ketidakmampuan kita memahami perbedaan. Jadi kita menilai rendah Aceh dan menjadikan kita enggan berkunjung.
Poinnya adalah bagi saya Aceh merupakan tempat yang menarik karena ia tidak mengobral harga dirinya demi kunjungan wisatawan, pemuda dan masyarakatnya tetap mempertahankan prinsip dan kebanggaannya akan adat serta kebudayaannya. Tak terasa sudah 30 November ’19 menandai sudah tiga bulan saya menetap di Banda Aceh. Saya sendiri bukan orang yang berasal dari ‘Serambi Mekah’ dan tak memiliki darah Aceh .
Jadi bisa dikatakan saya benar-benar baru mengenal Aceh secara utuh setelah tiba dan tinggal di sini. Saya mahasiswa program Pertukaran Mahasiswa Tanah Air (Permata) 2019 yang ditempatkan di Banda Aceh.
Penulis Opini Fajar Nasution
Pertukaran pelajar Mahasiswa Fakultas pertanian universitas Lampung ke Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.