Gelar Diskusi Publik, Taman Diskusi Kritisi Ancaman Neoliberalisme

Foto : Teknokra/Bintang Rahmajani
185 dibaca

Teknokra.co : Forum Taman Diskusi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Lampung (Unila) mengadakan diskusi dengan tema “Kapitalisme Pendidikan di Indonesia: Antara Harapan dan Ancaman Neoliberalisme” di pelataran Gedung Serba Guna (GSG) Unila pada Jum’at (09/05) pukul 16.30 WIB.

Diskusi ini membahas banyaknya universitas yang seharusnya menjadi wadah untuk menghasilkan mahasiswa yang kritis, namun beralih fungsi menjadi tempat untuk menghasilkan tenaga kerja dengan upah murah dan terdidik. Hal ini disampaikan langsung oleh Derry Nugraha selaku pemantik pertama dari Konsentris.id

“Kampus yang seharusnya menjadi institusi pendidikan yang mencetak nalar kritis mahasiswa tapi malah dibentuk dengan logika perusahaan,” ujarnya.

Ia juga mengatakan bahwa Unila menjadi salah satu contoh universitas yang sudah dipengaruhi oleh kapitalisme pendidikan, dimana menurutnya dengan Unila yang menyewakan GSG- nya dan membangun Rumah Sakit Perguruan Tinggi Negri (RSPTN) di khawatirkan akan melunturkan esensi dari pendidikan.

“Contohnya di unila menyewakan gedung GSG atau Unila lagi membangun rumah sakit yang nanti akan di sewakan yang akhirnya esensi pendidikan akan luntur,” jelasnya.

Selain itu ia juga mengatakan salah satu dampak dari adanya kapitalisme di pendidikan adalah naiknya biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) mahasiswa setiap tahunnya.

“Siapa yang akan dihisab untuk memenuhi biaya operasional, tentunya yang paling banyak terhisap adalah mahasiswanya sendiri, itu terlihat tentang bagaimana biaya ukt yang naik setiap tahunnya,” ungkapnya.

Wahyu Eka Saputra selaku pemantik ketiga dari Komunitas Berpikir Sosial juga mengungkapkan adanya kapitalisme pendidikan akan membuat kampus-kampus lebih berfokus untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya di bandingkan menciptakan generasi yang mampu berpikir kritis.

“Kita di fokuskan untuk mencari laba sebesar-besarnya, bukan bagaimana pendidika bisa mencetak kader-kader yang mampu berpikir secara kritis,” ungkapnya.

Ia juga mengatakan pendidikan yang seharusnya gratis, ilmiah, dan demokratis pada kenyataannya cenderung berpusat pada kekuasaan, terlihat dari mahasiswa miskin yang sulit untuk mengakses pendidikan tinggi dan sulit mendapatkan kebebasan berpendapat.

“Kita sebagai mahasiswa tidak mampu mengakses yang seharusnya bisa kita akses contoh kebebasan berpendapat, yang kedua orang-orang miskin akhirnya tak mampu lagi untuk menempuh pendidikan tinggi,” tambahnya.

Wahyu berharap agar output qpendidikan tidak di gabungkan dengan urusan bisnis yang nantinya akan merusak esensi dari pendidikan itu sendiri.

“Harapannya jangan sampai ada dan jangan sampai ranah pendidikan di campuri dengan urusan modal, urusan bisnis, pendidikan sudahlah ke pendidikan saja,” pungkasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

10 − four =