Teknokra.co : Pada tanggal 15 Agustus lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan amar putusan Nomor 65/PPU-XXI/2023 yang memperbolehkan peserta pemilu melakukan kampanye di fasilitas pemerintah dan lembaga pendidikan, dengan syarat tidak menggunakan atribut kampanye dan mendapat persetujuan dari lembaga tersebut.
Putusan tersebut merupakan revisi materi pasal 280 ayat (1) huruf h UU tentang Pemilu. Adapun amar putusan MK tersebut memunculkan dukungan sekaligus kekhawatiran di saat yang bersamaan. Aturan ini dinilai akan membuka wadah diskusi politik yang lebih ilmiah dengan politik gagasan, namun juga berpotensi membuka celah bagi Rektor atau pimpinan sekolah untuk berpolitik praktis.
Dalam diskusi yang digelar oleh BEM Universitas Lampung (5/9), Akademisi Fakultas Hukum Unila, Muhtadi melihat adanya ketergantungan politik para Rektor terhadap pemegang kekuasaan. Hal ini dipengaruhi oleh aturan Kemendikbudristek yang membuat Menteri memiliki hak suara 35% dalam pemilihan Rektor, sehingga Rektor yang berutang politik pada pemerintah pusat menjadi rentan terhadap intervensi dari partai atau kandidat tertentu selama masa kampanye.
Tak cuma itu, Muhtadi juga mengemukakan realitas lainnya yang membuat kampus menjadi tak independen, yakni proses lobi di parlemen yang menurutnya selama ini mendorong kampus untuk berkongsi dengan partai-partai tertentu demi mendapatkan “kue anggaran”.
Oleh sebab itulah, ia menilai perlu ada rambu-rambu yang jelas dalam proses kampanye politik di kampus, sehingga bisa menciptakan diskusi politik yang berimbang tanpa adanya ‘politisasi’ perguruan tinggi.
“Jadi kampanye silahkan, tapi jangan harap kampus menjadi orang atau organ yang mempromosikan peserta pemilu, dan disinilah pentingnya PKPU (Peraturan Komisi Pemilihan Umum) yang harus dibahas agar jelas bahwa kampus tidak boleh ikut dalam politik praktis dan PNS tidak boleh dilibatkan dalam kampanye,” jelasnya.
Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Lampung, Iskardo P Panggar juga mengutarakan kekhawatiran serupa, ia mengatakan jika pimpinan kampus tak boleh bersikap partisan dan diskriminatif dalam memberi ruang kampanye Paslon.
“Setelah putusan MK terakhir tentang kampanye di area pendidikan dan pemerintahan, ada hal yang menjadi konsen Bawaslu yaitu jangan sampai Owner atau pejabat itu (partisan), misalnya calon presiden A dikasih izin dan calon B tidak” katanya.
Dalam diskusi tersebut, ia juga menampilkan rancangan PKPU yang mengatur perihal pelaksanaan kampanye di lingkungan pendidikan dan pemerintah, draft tersebut mengatur mulai dari lokasi kampanye, metode kampanye dan larangan sejumlah atribut seperti baju, kalender, gelas dan sejumlah atribut lainnya.
“Menjadi PR kita bersama untuk menjadikan (kampanye di kampus) ajang adu gagasan, proses dialektika dan seleksi para peserta pemilu,” lanjutnya.
Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Topan Indra Karsa, mengatakan jika ia mendukung kampanye di kampus jika dilakukan tanpa campur tangan Rektor. Dalam hal ini, ia mengatakan jika mahasiswa yang harus mengambil peran sebagai penyelenggara debat Paslon.
“BEM kalau membuat uji publik terhadap calon itu saya setuju, panggilah tiga calon presiden tanpa atribut, dan saya berharap BEM sangat berperan dalam hal ini,” ujarnya.
Selain meminta mahasiswa untuk menguji program-program kandidat, Topan juga meminta mahasiswa untuk terus mengawal proses kampanye di lingkup kampus untuk menghindari penyelewengan.
“Kalau Bawaslu nggak bisa tegas, nanti kita yang tegaskan,” tegasnya.