Teknokra.co : Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 34 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) menuai kontroversi dari kalangan masyarakat. Oleh karena itu, Aliansi Lampung Melawan (ALM) menggelar aksi demonstrasi di depan kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Lampung pada Senin, (24/3).
Tak hanya mahasiswa, banyak dosen turut menghadiri aksi demonstrasi ini. Salah satunya, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Lampung (Unila), Refi Meidiantama. Ia mengungkapkan bahwa UU TNI telah menyimpang dari konsep supremasi sipil yang seharusnya.
“Supremasi Sipil berarti masyarakat sipil memegang kekuasaan dalam kehidupan sipil dan politik, kewenangan kaum bersenjata harus dibatasi,” ungkapnya.
Refi menyoroti pasal 47 terkait empat tambahan posisi jabatan sipil yang dapat diisi oleh TNI aktif. Diantaranya TNI dapat menduduki posisi jabatan sebagai penyidik tertentu dalam Lembaga Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung.
“TNI memegang setiap tahapan peradilan pidana mulai dari tahap penyidikan, penuntutan hingga pada pengadilan pun dikhususkan untuk TNI. Bahkan dalam revisi KUHAP pun ada penyidik tertentu yang bisa diisi oleh TNI Angkatan Laut (AL), penuntutan itu sudah diakomodir di revisi UU ini, TNI bisa mengisi lembaga kejaksaan agung, bahkan mahkamah agung,” ujarnya.
Refi mengungkapkan alasannya menolak pasal 47 lantaran ingin memperkokoh supremasi sipil. Kaum militer terbiasa mengikuti arahan komando sehingga hal ini bertentangan dengan supremasi sipil, yakni mengambil keputusan berdasarkan proses musyawarah.
“TNI terbiasa mengikuti arahan komando, sedangkan dalam kehidupan demokrasi sipil dan politik dipenuhi oleh dialog. Senjata tidak bisa diajak berdialog dan berdemokrasi. Hal ini bertentangan dengan supremasi sipil karena keputusan harus disepakati bersama, dan kekuasaan dibatasi,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Refi juga menyoroti pengesahan RUU TNI yang dianggap terlalu buru-buru, mengingat bahwa RUU TNI tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
“Kita harus paham bahwa revisi UU TNI tidak masuk dalam program legislasi nasional, tetapi disahkan secara buru-buru dan tertutup. Hal ini berarti Pemerintah masih sama saja, prosesnya terburu-buru tanpa melibatkan masyarakat,” katanya.
Selaras dengan Refi, ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unila, Muhammad Ammar Fauzan (Ilmu Hukum ’20) menyoroti pasal 53 terkait usia pensiun TNI. Menurutnya, penambahan rentang usia prajurit aktif TNI berpotensi pada jumlah Jendral yang semakin meningkat.
“Jendral-jendral TNI yang sudah tua sudah seharusnya beristirahat, karena jika bekerja di lembaga sipil, akan memengaruhi kinerjanya,” ujarnya.
Selain itu, ia juga menyoroti kasus mahasiswa di luar Lampung yang mengalami kekerasan fisik oleh oknum aparat negara saat aksi demonstransi. Ammar mengecam tindakan oknum tersebut karena dinilai mengancam kebebasan berekspresi.
“Kami sangat mengecam tindakan represifitas yang dialami oleh rekan-rekan kami mahasiswa di luar Lampung,” ujarnya.
Menanggapi hal tersebut, ia berharap agar aparat negara menjalankan tugasnya untuk melindungi masyarakat dan mengontrol proses demokrasi.
“Kami berharap supaya kepolisian menjadi garda terdepan untuk melindungi masyarakat,” pungkasnya.