Kematian Pratama, Ibunda Tuntut Keadilan

Foto : Daswati.id
166 dibaca

Teknokra.co : Wirna, ibu dari almarhum Pratama Wijaya Kesuma, mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Lampung (Unila), masih terus memperjuangkan keadilan atas kematian anaknya. Ia kini aktif mengurus kasus tersebut di Kepolisian Daerah (Polda) Lampung, didampingi tim dari kantor hukum Azizi Law Firm. Pada Rabu (5/6) pukul 17.04 WIB.

Tim Teknokra mewawancarai Wirna di kantor hukum tersebut, di tengah upaya hukumnya mengusut tuntas dugaan penganiayaan dalam kegiatan Pendidikan Dasar (Diksar) Mahasiswa Ekonomi Pencinta Lingkungan (Mahepel).

Kepada Teknokra, Wirna mengisahkan kembali hari ketika ia menjemput Pratama setelah mengikuti Diksar. Ia mendapati putranya dalam kondisi sangat lemah dan tampak kumal. Setibanya di depan FEB, Wirna bertemu dua perempuan yang mengaku sebagai anggota Mahepel.

“Saya jemput dia dari jam 22.30 malam di depan FEB, dia sudah lemas dan kumal. Lalu datanglah dua cewek itu,” ujarnya.

Sebelum pulang, Pratama sempat berkata bahwa kedua perempuan tersebut terlibat dalam tindak kekerasan terhadap dirinya.

“Buat apa Mama baik-baik ke cewek dua itu? Mereka itu yang jejekin muka saya ke lumpur yang ada batunya,” kata Pratama kepada ibunya saat itu.

Sesampainya di rumah, Wirna mengaku panik karena Pratama tiba-tiba pingsan. Saat mencoba membersihkan tubuh anaknya, ia mendapati luka-luka dan lebam di beberapa bagian tubuh: siku, lengan, perut, dada, dan leher.

“Dia pingsan, saya teriak, saya ambil air hangat, saya buka bajunya dan saya elapin. Melihat anak saya luka-luka, saya foto. Saya mau ngadu, tapi dia belum bangun,” ucapnya.

Pratama tidak sadarkan diri sejak pukul 23.00 WIB dan baru siuman keesokan paginya sekitar pukul 08.00 WIB. Setelah sadar, ia mengungkapkan kekerasan yang dialaminya selama Diksar, mulai dari dipukul hingga ditendang oleh senior dengan dalih pembentukan fisik. Namun, Pratama memohon agar ibunya tidak melaporkan peristiwa tersebut karena merasa terancam.

“Dia bilang, ‘Jangan bilang siapa-siapa ya, Ma. Nanti Udo dikejar. Jangan bilang-bilang, nyawaku diincar, nanti saya mati. Mereka itu sudah tahu rumah kita’,” tutur Wirna menirukan perkataan anaknya.

Pasca Diksar, kondisi psikologis Pratama memburuk. Ia trauma dan takut kembali ke kampus. Wirna bahkan pernah menyarankan agar anaknya membawa pisau untuk berjaga-jaga, namun ditolak oleh Pratama.
“‘Kamu mau bawa pisau, Nak?’ Dia bilang, ‘Gak usah, Ma’,” katanya.

Wirna mengaku sudah berusaha membujuk Pratama untuk keluar dari Mahepel, tetapi permintaan itu tidak bisa dilakukan karena adanya tekanan. Sebagai langkah proteksi, ia menelepon anaknya setiap Selasa pukul 17.00 agar bisa segera pulang dari kegiatan organisasi.

“‘Saya gak bisa keluar, Ma. Nanti saya dimarahi.’ Jadi saya telepon setiap Selasa jam 17.00. Nah, baru boleh pulang,” jelasnya.

Tak hanya kekerasan fisik dan psikologis, Wirna juga menyebut mengalami tekanan dari pihak kampus. Ia mengatakan pernah didatangi empat orang dari dekanat FEB, termasuk Wakil Dekan III, Dr. Neli Aida. Mereka meminta agar unggahannya di Facebook yang memuat kritikan terhadap Mahepel dan Unila dihapus.

“Postingan saya tiba-tiba dibaca Bu Neli. Dia bilang kita berteman di Facebook. Datanglah mereka berempat. Mereka bilang baca postingan saya tentang Mahepel dan Unila, lalu minta dihapus, katanya nanti ada wartawan-wartawan datang ke Unila,” ujar Wirna.

Ia juga telah meminta pelaku kekerasan yang pernah memukul anaknya untuk datang langsung ke rumah dan meminta maaf.

“Orang Mahepel yang pernah mukul anak saya dateng ke rumah minta maaf. Saya pingin lihat mukanya,” tegasnya.

Hingga kini, Wirna mengaku belum pernah ditemui oleh Dekan FEB Prof. Nairobi maupun perwakilan dari organisasi Mahepel.

“Belum pernah, sampai detik ini dekan dan orang Mahepel itu belum ketemu saya,” katanya.

Ia berharap kasus ini segera diusut tuntas secara transparan. Wirna juga mendesak agar pelaku dihukum seberat-beratnya dan organisasi Mahepel dibubarkan, bukan sekadar dibekukan.

“Saya berharap kasus ini diusut tuntas dan transparan. Saya juga meminta pelaku dihukum seberat-beratnya. Saya berharap Universitas Lampung, khususnya Fakultas Ekonomi dan Bisnis, membubarkan Mahepel. Saya tidak mau dibekukan saja,” pungkasnya.

Exit mobile version