Koalisi Sipil Lampung Lakukan Aksi Lakban Mulut Tolak RKUHP

Sejumlah Peserta aksi tolak RKUHP melakban mulut mereka sendiri di depan tugu adipura Bandar Lampung (5/12). Foto: Teknokra/Arif Sanjaya.
389 dibaca

Teknokra.co: Koalisi sipil Lampung yang diisi oleh sejumlah Jurnalis, aktivis hukum dan demokrasi, mahasiswa dan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) melakukan aksi lakban mulut sebagai ekspresi penolakan pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), pada Senin (5/12).

Aksi yang dilakukan di depan tugu adipura kota Bandar Lampung tersebut berlangsung selama sekitar 10 menit, yang kemudian dilanjutkan dengan orasi dari sejumlah perwakilan lembaga yang hadir.

Koordinator aksi, Derri Nugraha mengatakan, setidaknya ada 17 pasal yang perlu dikaji ulang sebelum pemerintah dan DPR-RI mengesahkan Undang-Undang (UU) tersebut. Beberapa di antaranya, Pasal 218, Pasal 219 dan Pasal 220 tentang penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden.

Pasal 240 dan Pasal 241 tentang penghinaan terhadap Pemerintah; Pasal 263 tentang penyiaran atau penyebarluasan berita atau pemberitahuan bohong; Pasal 264 yang mengatur tindak pidana kepada setiap orang yang menyiarkan berita yang tidak pasti, berlebih-lebihan, atau yang tidak lengkap; Pasal 440 tentang penghinaan ringan; dan Pasal 437 mengatur tindak pidana pencemaran; serta Pasal 594 dan Pasal 595 tentang tindak pidana penerbitan dan pencetakan.

“Setiap kritik yang ditujukan kepada presiden sebagai pemerintah sangat mungkin dipidana dengan dalih menyerang harkat dan martabat presiden atau wakil presiden yang seringkali subjektif,” ujar Derri.

Selain penolakan pengesahan RKUHP, koalisi juga menyuarakan pencabutan sejumlah undang-undang yang tidak pro rakyat seperti UU Cipta Kerja 2020, UU Minerba 2020, dan UU KPK 2020. Sebab, UU tersebut sangat merugikan masyarakat di berbagai sektor.

Contohnya, di sektor ketenagakerjaan, UU Cipta Kerja 2020 banyak memangkas hak-hak buruh seperti formula menghitung upah tidak lagi berdasarkan pencapaian kehidupan layak, namun lebih kepada variabel pertumbuhan ekonomi atau inflasi.

Kondisi tersebut membuat ketidakpastian upah karena ekonomi yang bersifat fluktuatif. Lalu, aturan tersebut tidak lagi mengatur jangka waktu maksimal PKWT- perjanjian kerja yang mengikat karyawan kontrak dan pekerja lepas. Jadi, tidak ada jaminan bagi pekerja untuk diangkat menjadi karyawan tetap.

Kemudian, di sektor lingkungan, UU Cipta Kerja banyak menghilangkan hak masyarakat dalam proses perizinan lingkungan. Padahal, masyarakat terkena dampak langsung dari suatu proyek usaha atau kegiatan.

“Kami juga mendorong pemerintah untuk transparan dengan membuka ruang partisipasi publik seluas-luasnya ketika menyusun suatu peraturan. Sebab, beberapa produk hukum terbaru yang digodok pemerintah sangat minim keterlibatan masyarakat. Paling anyar, perlu keterbukaan dalam pembuatan draft RUU Sisdiknas,” pungkas Derri.

Adapun poin tuntutan Koalisi Masyarakat Sipil Lampung sebagai berikut:

  1. Menolak pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP)
  2. Mendesak pemerintah dan DPR-RI menghapus pasal-pasal bermasalah yang mengancam kebebasan berekspresi dan berpendapat, serta kebebasan pers
  3. Pemerintah dan DPR-RI harus membuka ruang partisipasi publik seluas-luasnya dalam penyusunan suatu peraturan perundang-undangan
  4. Mendesak pemerintah mencabut Undang-Undang yang tidak pro rakyat seperti UU Cipta Kerja (2020), UU Minerba (2020), dan UU KPK (2019).
  5. Transparansi dalam pembentukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas)

*Disunting 6 Desember 09:25 WIB

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

twelve − 9 =