Konferensi Pers : Bahas Konflik Agraria Warga Anak Tuha dan PT BSA

Foto : Teknokra/ Andre Sumanto
139 dibaca

Teknokra.co : Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung menggelar konferensi pers bertajuk “Agenda Hearing Warga Anak Tuha” bersama Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Lampung, Selasa (16/9). Konferensi ini membahas persoalan pertanahan antara warga tiga desa, yakni Kampung Bumi Aji, Kampung Negara Aji Tua, dan Kampung Negara Aji Baru dengan PT Business Software Alliance (BSA), perusahaan yang mengklaim memiliki tanah ratusan hektare di Kecamatan Anak Tuha.

Ketua Komisi I DPRD Lampung, Garinca Reza Pahlevi, menegaskan bahwa pihaknya memberi perhatian serius pada isu ini. Ia mengungkapkan bahwa Komisi I telah dua kali memanggil PT BSA, namun perusahaan tidak pernah menghadiri undangan.

“Kami di Komisi I sudah menghubungi perusahaan tersebut pada bulan April dan Juni, tetapi mereka tidak datang dengan alasan manajemen sedang sibuk. Kehadiran masyarakat hari ini sangat penting untuk menyampaikan aspirasi dan kronologi peristiwa yang terjadi,” ungkapnya.

Garinca menambahkan, perkara tanah tersebut termasuk dalam 10 tuntutan rakyat yang disuarakan pada aksi demonstrasi besar 1 September lalu oleh mahasiswa dan elemen masyarakat.

Perwakilan warga Kampung Bumi Aji, Tarman menyampaikan, bahwa sejak 2012 hingga 2023 masyarakat telah mengelola lahan tanpa gangguan. Namun, pada 2023 mereka mengalami penggusuran paksa tanpa kompensasi.

“Kami tidak pernah merampas tanah perusahaan. Justru perusahaan yang mengambil tanah kami, tanpa ganti rugi, tanpa musyawarah. Kami dituduh merampas, padahal itu tanah warisan nenek moyang kami,” katanya.

Murni, warga Kampung Negara Aji Baru, menambahkan bahwa mereka belum pernah bertemu langsung dengan pihak perusahaan dan tidak mengetahui keabsahan legalitas Hak Guna Usaha (HGU) yang diklaim PT BSA.

“Kami meminta DPR untuk turun ke lapangan. Jika itu benar HGU, seberapa luas? Di mana buktinya? Di dalam area yang diklaim sebagai HGU masih ada tanah milik masyarakat, bahkan ada makam tua,” ucapnya.

Sementara itu, Hasan, tokoh adat marga Anak Tuha, menegaskan bahwa lahan tersebut merupakan tanah adat yang dulu diserahkan tokoh marga kepada tiga desa. Menurutnya, perusahaan pertama yang masuk wilayah itu adalah PT Candra Bumi Kota (CBK) pada 1970-an, sebelum kepemilikan beralih diam-diam ke PT BSA.

“Kami tidak pernah menjual atau melepaskan tanah itu. Namun, setiap kali memasuki lahan, aparat selalu menyatakan tanah tersebut milik perusahaan. Padahal kami tidak pernah mendapat informasi soal itu,” jelasnya.

Dari pihak pendamping hukum, Prabowo Pamungkas dari LBH Bandar Lampung menyampaikan bahwa mereka mendampingi warga sejak akhir 2024. Ia menekankan bahwa konflik ini menimbulkan dampak sosial, psikologis, dan ekonomi yang berat bagi masyarakat.

“Kami mencatat adanya intimidasi, penggusuran paksa, dan penangkapan warga. Kami mendesak DPRD untuk mengambil sikap tegas dan mendorong perusahaan memenuhi panggilan legislatif,” tegasnya.

Menanggapi hal itu, Garinca kembali menyampaikan keprihatinannya. Ia menegaskan bahwa DPRD akan mengambil langkah serius, termasuk mempertimbangkan pembentukan Panitia Khusus (Pansus).

“Kami akan mempertimbangkan untuk mendirikan Pansus agar masalah ini tidak berlarut-larut. Terlebih PT BSA sudah beberapa kali kami undang, tetapi tidak pernah hadir,” katanya.

Anggota Komisi I lainnya, Miswan Roody dari Fraksi NasDem asal Lampung Tengah, mengungkapkan bahwa pihaknya telah berupaya melacak dokumen HGU PT BSA ke kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi.

“Kami sudah mengunjungi BPN dan bertanya langsung mengenai dokumen HGU. Namun hingga kini dokumen itu belum diberikan. Jika memang HGU valid, mengapa sangat sulit diakses?” ungkapnya.

Miswan juga menyatakan telah mengusulkan pendekatan damai dengan melibatkan masyarakat dalam pengelolaan tanah untuk meningkatkan perekonomian.

“Saya sudah menyampaikan ide ini kepada Bupati, Kapolres, dan tokoh masyarakat. Namun sampai hari ini perusahaan belum mengambil langkah lanjutan,” tambahnya.

Prabowo menegaskan, konflik ini bagian dari persoalan agraria nasional yang lebih luas. Menurutnya, penguasaan tanah oleh perusahaan besar yang tidak transparan merugikan komunitas kecil.

“Masyarakat tidak menolak investasi, tetapi investasi jangan sampai menghapus hak-hak rakyat. Mereka kehilangan bukan hanya tanah, melainkan juga identitas dan sumber penghidupan,” ujarnya.

Anggota Komisi I lainnya, Muhammad Reza Berawi, menekankan pentingnya data akurat untuk menyelesaikan konflik ini.

“Jika dokumen HGU itu memang sah, silakan tunjukkan. Jangan sampai ada ketidakjelasan data, lalu masyarakat disalahkan karena dianggap menduduki lahan ilegal. Ini tidak adil,” katanya.

Reza merekomendasikan agar penyelesaian konflik dilakukan melalui proses hukum terbuka dan diskusi yang adil.

“Kami tidak mencari siapa yang bersalah, melainkan bagaimana masalah ini bisa diselesaikan secara adil,” tambahnya.

Pertemuan ditutup dengan komitmen DPRD Lampung untuk terus mengawal penyelesaian konflik. Komisi I juga akan mendorong Pemprov Lampung dan pemerintah pusat menanggapi isu agraria ini sebagai bagian dari agenda reforma agraria nasional.

“Ini bukan hanya sekadar masalah hukum, tetapi juga kemanusiaan. Kita tidak boleh tinggal diam ketika rakyat kehilangan hak-haknya,” tegas Garinca.

Usai konferensi pers, Garinca menyebutkan akan melaporkan hasil pertemuan kepada pimpinan DPRD dan Gubernur Lampung.

“Agenda hari ini, pertama kami akan melaporkan kepada pimpinan DPRD. Selanjutnya, kami akan berbicara dengan Gubernur mengenai masalah ini,” jelasnya.

Ia menambahkan, jika PT BSA tetap tidak hadir meski telah dipanggil tiga kali, DPRD akan mendatangi lokasi langsung.

“Jika kami sudah tiga kali mengundang dan mereka tetap tidak datang, mungkin kami yang akan mendatangi lokasi,” katanya.

Terkait usulan pembentukan Pansus, Garinca menjelaskan pihaknya akan menunggu perkembangan di tingkat kabupaten agar tidak terjadi duplikasi tugas.

“Kita lihat terlebih dahulu Pansus di kabupaten, agar tidak sampai ada dua Pansus berjalan tetapi tidak terkoordinasi,” jelasnya.

Miswan menegaskan konflik ini bukan persoalan baru. Menurutnya, sejak 2010 sudah ada ketegangan antara masyarakat dan PT BSA.

“Kini giliran generasi penerus dari leluhur mereka yang memperjuangkan kembali hak atas tanah. Kami di Komisi I sejak awal meminta dokumen HGU dari BPN, tetapi hingga kini belum diterima,” katanya.

Ia menambahkan, keterbukaan menjadi kunci penyelesaian konflik.

“Jika perusahaan bersikap terbuka, masyarakat tidak akan turun ke jalan. Jangan sampai timbul tindakan anarkis karena minim informasi. Kami ingin menjaga konstitusi di Provinsi Lampung ini,” ujarnya.

Tarman kembali menyampaikan harapan warga kepada DPRD.

“Harapan kami kepada Bapak-bapak dewan, ini jangan hanya sebatas kata-kata. Kami sungguh berharap tanah kami dikembalikan. Jika memungkinkan, turunlah langsung ke lapangan, Pak, agar jangan hanya sekadar janji,” pintanya.

Berdasarkan hasil konferensi pers, Prabowo selaku pendamping hukum warga Kecamatan Anak Tuha meminta Komisi I mengambil tiga langkah nyata:

Melakukan audit dan pengawasan terhadap PT BSA yang diduga merampas tanah rakyat.

Mendorong pemerintah mengevaluasi HGU PT BSA, salah satunya seluas 807 hektare yang akan habis masa berlakunya pada 2029.

Meninjau langsung lokasi konflik untuk melihat kondisi riil dan bukti historis warga.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

20 − nine =