Memutus Budaya “THR” Pimpinan Kampus Unila

Universitas Lamoung, Foto: Teknokra/Arif Sanjaya.
806 dibaca

Teknokra.co: Budaya pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) kepada pegawai merupakan hal yang umum di kalangan perusahaan maupun instansi negara, tak terkecuali Universitas Lampung. Terdapat tunjangan khusus resmi yang diberikan oleh negara untuk pegawai selama hari raya idul fitri.

Namun, budaya THR di Unila menjadi sorotan khusus setelah bergulirnya kasus suap Karomani dan beberapa mantan pimpinan Unila lainnya. Dalam persidangan Karomani, terungkap fakta bahwa pada era kepemimpinan Karomani, pimpinan fakultas di Unila kerap memberikan THR kepada pimpinan Rektorat. Hal ini tentunya menjadi permasalahan khusus yang berpotensi mendorong tindakan koruptif.

Hal tersebut diungkapkan oleh beberapa pimpinan fakultas di Unila yang hadir sebagai saksi dalam sidang kasus suap Unila. Salah satunya adalah Suripto Dwi Yuwono, mantan dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan (FMIPA) Unila yang kini menjabat sebagai wakil rektor I bidang akademik Unila.

Dalam sidang kasus suap Unila pada (31/1) januari lalu, Suripto mengakui bahwa saat menjabat sebagai dekan, ia memberikan uang THR sebesar 30 juta rupiah kepada Karomani dan jajarannya saat itu. Tak Cuma itu, ia juga memberikan uang sebesar 30 juta rupiah saat tahun baru dan tambahan uang sebesar 50 juta rupiah untuk pembangunan Lampung Nahdliyin Centre (LNC).

Jika ditotal, Suripto telah memberikan 110 juta rupiah kepada pimpinan rektorat dan LNC yang ternyata dibiayai menggunakan anggaran dari fakultas. Hal ini sempat membuatnya dicecar oleh hakim Lingga Setiawan yang menegaskan bahwa efisensi anggaran harusnya dikembalikan ke negara, bukan malah diberikan kepada Rektor.

Para terdakwa seperti eks rektor Unila, Karomani dan eks wakil rektor I Unila, Heryandi membantah menerima uang THR dari pimpinan dekanat. Namun, meskipun dibantah oleh para terdakwa, pimpinan fakultas lain juga membeberkan pengakuan yang serupa.

Ialah Arif Sugiono, wakil dekan II bidang umum dan keuangan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip) yang dalam persidangan juga turut memberikan kesaksian bahwa selama dua tahun berturut-turut, ia bersama jajaran pimpinan dekanat Fisip sepakat untuk memberikan uang THR kepada Karomani dan para wakil rektor saat itu.

Berdasarkan kesaksian Arif, hal tersebut diinisiasi oleh dekan Fisip, Ida Nurhaida yang ingin “balas budi” sebab jajaran pimpinan rektorat kerap memberikan THR kepada bawahan dan staf. Arif mengatakan jika uang THR tersebut berasal dari kantong pribadi para pimpinan dekanat fisip.

“Dananya kami patungan individu berempat dari sisa kerja tim dan uang-uang harian,” tuturnya.

Nisa Zonzoa, seorang pengamat dari Indonesian Corruption Watch (ICW), mencurigai jika perilaku janggal para bawahan yang memberikan THR kepada atasan di Unila memiliki motif tertentu, misalnya memiliki motif untuk mengincar jabatan.

“Karena tidak ada bawahan memberikan kepada pimpinan, ini perlu dipertanyakan, seharusnya pimpinan juga menolak itu, jangan-jangan si dekan ini mau naik ke Senat, pengen jadi Warek  misalnya,” kata Nisa.

Ia menegaskan jika THR merupakan sesuatu alokasi anggaran yang memiliki dasar aturan yang jelas, yakni THR yang berasal dari lembaga, dan bukan dari uang pribadi pimpinan kampus. Nisa berharap agar dosen dan pimpinan kampus dapat transparan dan akuntabel dalam mengelola keuangan. Ia juga berpesan agar mahasiswa dapat ikut turut serta mengawasi aktivitas dosen yang melenceng.

“Mental kita yang harus diubah di kampus, bahwa melawan korupsi harus dimulai dari diri kita sendiri, baru kita ngajak orang di sekitar. Dengan gimana caranya di kampus itu sendiri harus melakukan Reformasi, birokrasi, reformasi mental. Itu bukan hanya dilakukan di kementrian saja, reformasi birokrasi di kampus juga perlu dilakukan,” tegasnya.

Rektor baru Unila, Prof. Lusmeillia Afriani tak mau mengomentari soal kasus pejabat rektor pendahulunya, ia hanya menekankan bahwa THR bagi pegawai Unila dibiyai menggunakan anggaran negara.

“Rektor nggak memberikan THR, yang memberikan dari pemerintah yaitu APBN,” ujarnya.

Isu ini juga ikut mendapatkan perhatian dari mahasiswa, Hassan (Teknik Pertanian ’20), mengecam tindakan amoral yang terjadi di era Karomani. Menurutnya, hal tersebut menciderai kampus sebagai miniatur pendidikan.

“Kita sebagai penerus generasi bangsa, terdegradasi akan teladan pemimpin yang sudah mengakar dan membudaya hal-hal seperti ini, perlu tindakan berani dan konsisten untuk membenahi ini semua,” pungkas Hasan.

Exit mobile version