Teknokra.co : Beberapa pekan terakhir, banyak tagar dengan kritik sosial dan politik muncul. Tagar #KaburAjaDulu menyampaikan kekecewaan masyarakat Indonesia atas kualitas kehidupan yang menurun. Dengan cara yang sama, tagar #IndonesiaGelap muncul seiring dengan kritik dan demonstrasi publik terkait kebijakan yang diambil oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Sepanjang periode penelitian yang berlangsung dari 9 hingga 22 Februari 2025, jumlah percakapan terkait Indonesia Gelap yang muncul di media sosial X mencapai 3 juta cuitan yang melibatkan sekitar 104.000 akun media sosial, menurut penelitian dari Data & Democracy Research Hub Monash University di Indonesia.
Indonesia Gelap adalah ekspresi kemarahan dan sekaligus senjata perlawanan orang-orang lemah dan tak punya kuasa. Di tengah kuatnya hegemoni negara yang dipersenjatai dengan kekuatan tentara, polisi, birokrasi, universitas, dan juga ormas, mereka tidak pernah lelah menciptakan ruang untuk bergerak dan melawan berbagai praktik ketidakadilan dalam kebijakan publik yang mencekik hidup rakyat.
Ketidakadilan yang merobek-robek spirit republik menggerakkan energi perlawanan kaum muda untuk berjuang demi keadilan bagi seluruh rakyat, terutama bagi rakyat yang hidupnya dinistakan, martabat kemanusiaannya dihardik, dan bahkan harapannya di-matikan. Mereka memilih untuk melawan gelombang arogansi kekuasaan, yang bukan hanya kehilangan empati pada denyut nadi kehidupan rakyat, melainkan juga krisis keteladanan publik. Untuk hal mendasar tetapi sangat esensial dalam penyelenggaraan republik, pemimpin tidak memegang prinsip pada etika keutamaan publik dan akhirnya terjatuh pada perilaku moral yang buruk dan menjijikkan.
Perlawanan yang didominasi oleh kaum intelektual organik adalah cahaya terang bagi Indonesia gelap. Tentu saja, setiap perjuangan suci untuk menerangi kegelapan pasti di-halangi dan bahkan dilumpuhkan melalui tangan-tangan jahat kekuasaan. Orang-orang jahat menyukai kegelapan Indonesia melalui praktik kekuasaan yang tiranik dan korup, yang menjerumuskan kehidupan bangsa ke dalam kegelapan. Indonesia yang didirikan sebagai ”Negara Ketuhanan”, sesuai pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945,perjuangan politik untuk mengubah wajah Indonesia dari gelap ke terang memiliki legitimasi skriptural dalam tradisi agama-agama. Dalam tradisi Islam misalnya , orang-orang jahat hidup dalam kegelapan. Indonesia gelap di tangan orang-orang jahat yang telah kehilangan cahaya terang dalam jiwanya zulmani (kegelapan). Mereka itu tidak pernah membangun Indonesia, tetapi hanya merusaknya dengan praktik kebijakan yang tidak berorientasi pada kesejahteraan rakyat dan keselamatan negara. Sebaliknya,orang-orang baik yang memancarkan cahaya kesucian dalam hati nurani harus terpanggil untuk membangun hal-hal yang benar demi Indonesia terang.
Kemana Para Ilmuwan Universitas Lampung?
Pergantian atau reshuffle menteri di era Kabinet Merah Putih yang pertama sudah terjadi dalam empat bulan pertama jalannya pemerintahan baru. Keputusan mengganti menteri oleh Presiden Prabowo Subianto pada Rabu (19/2/2025) untuk pertama kalinya menyasar Menteri Pendidikan Tinggi, Sains,dan Teknologi Satryo Soemantri Brodjonegoro dengan melantik Guru Besar ITB Brian Yuliarto.
Publik pun menduga-duga pergantian pimpinan tertinggi Kementerian Tinggi, Sains,dan Teknologi (Kemendiktisaintek) itu terkait protes massa yang meluas, sampai ada tagar Indonesia Gelap hingga Darurat Pendidikan. Terkait isu efisiensi anggaran pendidikan, utamanya anggaran pendidikan tinggi tahun 2025, Satryo sempat mengemukakan bahwa dengan efisiensi yang dihitung Direktorat Jenderal Anggaran, Kementerian Keuangan, bisa berdampak putus kuliah mahasiswa penerima Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah dan beasiswa lainnya yang menyasar mahasiswa dan dosen.
Ditengah suasana kegelapan masa depan bangsa Indonesia penulis menilai bungkamnya para Ilmuwan Universitas Lampung atas situasi bangsa merupakan akumulasi dari hubungan mesra antara para ilmuwan dengan kekuasaan. Padahal Noam Chomsky seorang profesor linguistik dari Institut Teknologi Massachusetts pernah mengungkapkan hal yang sebetulnya menjadi tanggung jawab kaum intelektual. Ia berkata: “Intellectuals are in a position to expose the lies of governments, to analyze actions according to their causes and motives and often hidden intentions” (Noam Chomsky, The Responsibility of Intellectuals, 1967). Ungkapan Chomsky ini dapat dimaknai setidaknya dalam tiga hal:
Pertama, peran dan fungsi kelompok intelektual bukanlah untuk bermesra-mesraan dengan kekuasaan. Kelompok intelektual harus mampu menjaga jarak dengan kekuasaan. Haram hukumnya bagi kelompok intelektual untuk bermanja-manja dengan penguasa.
Kedua, kaum intelektual tidak boleh didikte dan dikendalikan kekuasaan. Sebaliknya, kelompok intelektual-lah yang harus mendikte kekuasaan. Kaum intelektual harus mampu membongkar kebohongan pemerintah, menganalisis intensi atau niat tersembunyi dibaliknya, serta memaksanya kembali ke jalan yang benar.
Ketiga, kerja-kerja kaum intelektual harus diletakkan pada kerangka kerja advokasi problem pokok rakyat banyak. Kaum intelektual harus bersenyawa dengan mereka yang ditindas oleh sistem. Bukan justru bersekutu dengan para penindasnya. Problemnya, kaum intelektual kita seolah-olah buta dan tuli terhadap situasi yang berkembang. Bahkan tidak sedikit yang pura-pura tidak tahu masalah yang sedang terjadi demi mendapatkan “posisi aman”. Mereka dengan sengaja membunuh insting kemanusiaannya, melumpuhkan komitmen serta tanggung jawab sosialnya.
Intelektual kelas kambing, meminjam istilah Romo Mangun, adalah akademisi yang terlalu dekat dengan kekuasaan hingga tidak bisa berpikir objektif. Kedekatan kampus dengan kekuasaan menjadikan kampus bergerak menuju lembaga yang otoritatif.
Kekhawatiran Kenaikan Uang Kuliah Tunggal
Hanya berselang beberapa minggu pasca RDP Kementrian Pendidikan Tinggi Sains dan Teknologi dengan DPR RI kini dampak dari efisiensi di wilayah pendidikan perguruan tinggi sudah mulai terasa. Universitas Lampung bak warung remang-remang ditengah hiruk- pikuk Kota Bandar Lampung, lampu-lampu gedung yang mati, Pendingin ruangan yang Cuma sesekali hidup hingga air mancur yang tak lagi menyala tampak menjadi persoalan yang tampak real ditengah kehidupan perguruan tinggi. Tak hanya hati, efiensi anggaran tampak seperti menggerogoti Tri Dharma Perguruan Tinggi, aktivitas akademik para ilmuwan berupa penelitian dan pengabdian yang berkurang tamapak dikeluhkan para dosen.
Hal mengejutkan lainnya,adalah pemotongan bantuan operasional perguruan tinggi negeri (BOPTN) ataupun bantuan untuk PTN badan hukum yang bisa saja memicu PTN menaikkan uang kuliah tunggal (UKT) mahasiswa. Belum lagi, soal kesejahteraan dosen aparatur sipil negara (ASN) di lingkungan Kemendiktisaintek dan dosen di perguruan tinggi swasta (PTS) yang turut terdampak.
Efisiensi anggaran mestinya tidak merusak marwah pendidikan tinggi dengan segala aktivitas akademiknya. Penulis menduga bahwa rangkaian kejadian di atas berimbas pada aktivitas kemahasiswaan dan meningkatnya Uang Kuliah Tunggal. Memandang pendidikan tinggi sebagai investasi strategis untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045 yang sudah di depan mata senantiasa diingatkan publik. Pada era Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Sains, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim, investasi pada pendidikan tinggi di-pandang sebagai cara cepat untuk menyiapkan generasi muda yang masuk pasar kerja sebagai profesional dan wirausaha.
Kebijakan anggaran pendidikan saat ini mengindikasikan lemahnya komitmen pemerintah terhadap pendidikan. Pemotongan anggaran, inkonsistensi pernyataan antar kementerian, serta berkurangnya jumlah penerima bantuan pendidikan dinilai sebagai bentuk ketidakseriusan pemerintah dalam memastikan akses pendidikan bagi seluruh warga negara. Pemotongan anggaran pendidikan jangan sampai mengabaikan hak-hak aktor utama penggerak sektor pendidikan, yaitu guru, dosen, dan tenaga kependidikan. Sebab, mereka memiliki peran penting dalam pendidikan.”Mengapa tidak efisiensi dengan perampingan struktur pemerintahan? Negara lain memiliki kabinet yang lebih ramping, tetapi kondisi pemerintah saat ini dengan posisi yang gemuk justru pesan efisiensi ini jadi tidak muncul.”
Konsolidasi Ulang Civitas Akademik Universitas Lampung
Dengan rangkaian situasi dan kondisi di atas menjadi relevan untuk mengkonsolidasikan ulang Civitas Akademik Universitas Lampung untuk menghadirkan perlawanan dan alternatif kebijakan terhadap efisiensi anggaran. Konsolidasi perlawanan kaum intelektual bukan belum pernah terjadi, pada masa pemilu 2024 yang lalu pernah terjadi sehingga menghasilkan deklarasi para intelektual di Student Lounge Fakultas Hukum Universitas Lampung. Apabila para ilmuwan Universitas Lampung mampu menghadirkan perlawanan atas kebijakan yang menindas masa depan bangsa ini tentu penulis dapat meyakini bahwa Universitas Lampung bukan seperti apa yang dimaksud oleh Anwar Hasan (Dosen Komunikasi UNHAS) yang ditulis di makassar.tribunnews.com/2023/02/27/ yaitu “Ketika Perguruan Tinggi Menjadi Kandang Intelektual Kelas Kambing.” yaitu mestinya seorang intelektual juga seseorang yang mengenali kebenaran dan juga berani memperjuangkan kebenaran itu, meskipun menghadapi tekanan dan ancaman, terutama kebenaran demi kemajuan, dan kebebasan untuk rakyat.
Indonesia terang, hanya mungkin dikerjakan bukan oleh orang-orang yang mempraktikkan banalitas kejahatan,menikmati dosa dan imoralitas, melainkan oleh orang-orang yang selalu membangun, mengusahakan,dan mendasarkan diri pada apa yang benar. Pergerakan kaum Intelektual adalah bagian penting dari gerakan bersama untuk menerangi kegelapan Indonesia meskipun perjuangannya diremehkan karena jumlahnya kecil dan jauh dari representasi suara mayoritas.Tetapi, ketahuilah bahwa ”perubahan dalam peradaban dunia dimulai oleh kekuatan minoritas kreatif (creative minority)”, demikian petuah bijak Uskup Agung Jakarta Ignatius Kardinal Suharyo, yang mengingatkan kembali tesis sejarawan dunia, Arnold Toynbee, dalam studinya yang sudah menjadi klasik, A Study of History (1934).
Republik ini didirikan oleh kaum intelektual yang kreatif dan inovatif. Kita pun mesti terpanggil dalam meneladan kepeloporan pendiri republik dengan perjuangan bersama untuk menggapai kemenangan kebaikan atas kejahatan dan cahaya terang atas kegelapan. Kemenangan Indonesia terang hanya mungkin diperoleh melalui perjuangan orang-orang baik yang mau terlibat aktif dan berjuang kolektif untuk melawan perilaku orang-orang jahat yang merusak Indonesia.
Opini ditulis oleh Ghraito Arip H, (Mahasiswa Hukum Administrasi Negara FH Unila Angkatan Tahun 2020)