Teknokra.co : Pengamat pendidikan dari Universitas Lampung (Unila), M. Thoha B Sampurna Jaya, berharap agar kebijakan penghapusan kewajiban skripsi sebagai syarat kelulusan mahasiswa, nantinya tak mengurangi kualitas dan kompetensi sarjana yang lulus dari kampus.
Ia menilai peraturan akademik turunan yang sedang dirancang dengan acuan Permendikbud No. 53 tahun 2023, tak boleh hanya terfokus untuk mempermudah kelulusan mahasiswa, namun juga harus tetap mempertimbangkan kualitas output atau keluaran dari mahasiswa.
Thoha juga mengatakan jika efektifitas kebijakan baru tersebut, nantinya akan bergantung pada pelaksanaan teknis oleh kampus dan mahasiswa.
“Efektif atau tidak, tergantung bagaimana peraturan yang dibuat oleh perguruan tinggi dan juga bagaimana mahasiswa menyikapinya, kalau dikatakan bahwa skripsi itu menghambat, nggak juga, kan banyak yang selesai S1 itu selama 4 tahun,” jelasnya.
Sebagai contoh, mahasiswa yang menjuarai karya ilmiah tingkat Nasional di Pimnas atau dalam program MBKM, dapat dijadikan suatu pilihan sebagai tugas akhir pengganti skripsi, karena kegiatan tersebut dapat diuji oleh dosen di program studi.
Menurut mantan pembantu Rektor Unila tersebut, kebijakan untuk menghapus kewajiban membuat skripsi bukanlah sesuatu yang baru di dunia pendidikan, selama beberapa dasawarsa kebelakangan, sejumlah perguruan tinggi nasional telah lebih dulu menerapkan kebijakan yang sama.
“Tahun 90an juga sudah banyak perguruan tinggi bahkan seperti Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Islam Indonesia (UII), itu sudah lama tidak menggunakan skripsi lagi untuk beberapa program studi, dalam bentuk keterampilan unjuk kerja seperti umpamanya Sineas bidang perfilman itu tidak diwajibkan buat skripsi diganti dengan bikin film, filmnya diuji, dites, dinilai dan itu sudah selesai. Itu bukan hal yang baru gitu bagi sebagian universitas,” pungkasnya.