Teknokra.co : Dalam semangat memperingati Hari Sumpah Pemuda, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung mengadakan kegiatan Nobar dan Diskusi Film “Mantra Berbenah” di Kantor Eksekutif Daerah Walhi Lampung pada Selasa, (28/10).
Kegiatan ini mengusung tema “Merawat Api Sumpah Pemuda, Menjaga Demokrasi tanpa Dibungkam” acara ini menampilkan pemutaran film dan diisi dengan diskusi publik, panggung ekspresi, serta lapak baca yang melibatkan berbagai komunitas, di antaranya Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung, Aksi Kamisan Lampung, Forum Literatur, dan Gham Lampung.
Film Mantra Berbenah sendiri merupakan karya dokumenter garapan Watchdoc bersama Koalisi Masyarakat Sipil yang menyoroti persoalan reformasi kepolisian di Indonesia. Film ini menampilkan kisah nyata tentang kekerasan aparat, lemahnya pengawasan institusional, serta suara korban dan aktivis HAM yang mendesak adanya pembenahan sistemik di tubuh Polri. Melalui film ini, penonton diajak merefleksikan kembali bagaimana demokrasi dan kebebasan berekspresi seharusnya dijaga, bukan dibungkam oleh kekuasaan.
Dalam sesi diskusi, Wahyu Eka Saputra (Pendidikan Matematika ’22) perwakilan dari Forum Aksi Kamisan Lampung menyampaikan bahwa agenda ini menjadi upaya bersama untuk merawat ingatan dan melawan lupa. Ia menegaskan bahwa hingga kini, represivitas dan intimidasi masih terjadi di tubuh gerakan rakyat dan mahasiswa.
“Ketika kita membahas tentang merawat ingatan, agenda ini adalah bentuk refleksi bahwa rakyat sampai hari ini masih belum menang,” ujarnya.
Ia juga menambahkan, semangat Sumpah Pemuda yang lahir pada 28 Oktober 1948 seharusnya menjadi pengingat bahwa persatuan rakyat adalah kekuatan untuk melawan penindasan dan ketidakadilan.
“Kalau dulu Sumpah Pemuda lahir untuk melawan kolonialisme, hari ini semangat itu harus kita hidupkan lagi untuk melawan bentuk-bentuk penindasan baru yang muncul atas nama kekuasaan,” tambahnya.
Sementara itu, dalam diskusi lanjutan, Prabowo Pamungkas perwakilan dari LBH Bandar Lampung menyoroti sistem pendidikan kepolisian yang dinilai masih sangat militaristik dan berorientasi pada fisik, bukan pada penanaman nilai hukum dan HAM. Pola ini, menurutnya, membuat aparat cenderung represif saat menghadapi masyarakat di lapangan.
“Sistem pendidikan di tubuh kepolisian itu masih sangat militaristik, masih sangat mengandalkan otot daripada otak. Bayangkan calon polisi hanya dididik selama 3–6 bulan dengan orientasi fisik, bukan dengan pengetahuan hukum dan HAM,” ujarnya.
Sementara itu Putra Pratama dari Forum Literatur juga menyampaikan bahwa tindakan aparat yang melakukan penyitaan terhadap buku-buku di sejumlah komunitas literasi merupakan hal yang perlu mendapat perhatian serius. Menurutnya, hal ini tidak hanya soal fisik, tetapi juga mencerminkan bagaimana orientasi sistem pendidikan dan pengawasan terhadap ruang belajar masyarakat masih sangat terbatas.
“Tindakan dalam penyitaan buku adalah tindakan yang sebenarnya tidak mencerminkan bagaimana output atau orientasi daripada sistem pendidikan di Indonesia sendiri,” tuturnya
Menutup diskusi, Romzy Mahri (Ilmu Hukum ’22) perwakilan dari Gham Lampung menekankan bahwa kondisi saat ini menunjukkan bagaimana instrumen negara kini sering digunakan untuk memperkuat kepentingan elit dan pemodal, bukan untuk melindungi masyarakat.
“Makanya semakin lama pengayom masyarakat itu malah hilang, akhirnya malah membunuh masyarakat itu sendiri. Karena memang dari aturan-aturan buku yang diciptakan akhir-akhir ini, hanya dibentuk untuk menghubungkan masyarakat dan menguntungkan para pengusaha, para pemerintah, dan institusi-institusi lainnya,” pungkasnya






