Perjalanan Takdir Pedih Oedipus

386 dibaca

[mkdf_custom_font content_custom_font=”Lakon Antropodipus bercerita tentang perjalanan Oedipus setelah diasingkan dari negerinya. Dengan pendekatan antropologi, percampuran berbagai  budaya begitu kental dalam setiap irama musik, tarian dan gerak.” custom_font_tag=”h2″ font_family=”” font_size=”16px” line_height=”” font_style=”normal” text_align=”left” font_weight=”” color=”” text_decoration=”none” letter_spacing=””]

 

 

 

Krak…Krakk.., Krakkk…

Bunyi Burung Gagak mengiringi langkah gontai lelaki berbaju compang-camping di tengah hutan. Tangannya bergandeng pada lengan seorang gadis berhias caping yang menjadi mata untuk jalannya. Rambut kesat keabuan itu  acak-acakan. Kulitnya kisut dan semakin meringkuk saat di hadang prajurit Athena.

“ Siapa Kau? Katakanlah!”

“Sebutkan namamu, asal usul mu!”

Tubuh kurus mering berbalut kain lusuh itu gemetaran,  bersembunyi dibalik tubuh anak gadisnya yang paling setia, Antigone. Semua rakyat mempertanyakan asal-usulnya, Ia dan putrinya memasuki hutan keramat, di Kolonus, di dekat Athena. Lantunan Lagu perpaduan cina, jepang dan arab menambah suasana kebimbanganya. Sementara itu prajurit terus mendesak, begitupun Antigone yang terus mebujuk ayahnya mengungkap jati diri sebenarnya.

Dialah Oedipus, Raja Thebes yang dibuang negerinya. Sebelum dilahirkan, Ia dinujum akan menjadi petaka untuk negeri Thebes. Ia akan membunuh Raja Laius, ayahnya, dan akan menikahi Jocasta, ibunya, lalu Ia diasingkan dan petaka menghantui tanah Thebes. Raja Laius yang takut akhirnya membuang bayi Oedipus di hutan. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, nujum tetap menjadi kenyataan.

Oedipus dan Antigone menangis karena akan diusir dari hutan keramat di Kolonus. Tempat Ia mengasingkan diri dari negeri Thebes.

 

Oedipus yang diperankan Sugi Jayen memperlihatkan air muka yang menyedihkan sepanjang pertunjukan teater bertajuk Antropodipus karya Sutradara Iswadi Pratama. Pentas bergaya epic ini berlangsung di Gedung Teater Tertutup Taman Budaya Lampung, pada 28-29 Juni. Lakon ini diadaptasi dari naskah klasik karya Sophocles ‘Oedipus Di Colonus’. Seorang pujangga Yunani yang terkenal sekitar abad 450 SM dan ceritannya banyak diangkat dalam seni pertunjukan drama kelas dunia. Walaupun begitu,  Iswadi Pratama berusaha menyuguhkan lakon yang lebih segar dengan mengawinkan cerita ini dengan pedekatan antropologi. Ia mengemas lakon epic ini dengan khasanah budaya Indonesia dan bangsa lain di dunia

Kala itu Oedipus yang merasa bersalah dengan takdir, akhirnya menusukan jarum ke dua bola  matanya. Dan Ibunya, Jocasta menjatuhkan diri dari atas menara. Ia diusir dari negerinya, dipandang hina, kotor, dan sumber dari segala petaka. Oedipus memiliki empat orang anak hasil pernikahan dengan ibunya: Polynesis, Eteocles, Ismene, dan Antigone. Dari keempat anaknya, Antigone lah putrinya yang paling setia menemaninya saat diasingkan.

Memasuki pertengahan cerita, Iswadi Pratama sukses mencampurkan pencak silat dalam adegan perkelahian. Saat putrinya Ismene bertemu dan mengabarkan kepada Oedipus mengenai nujum yang terbaru. Oedipus diperebutkan dan pertumpahan darah pun dimulai. Rombongan prajurit dari Thebes mencari keberadaan Oedipus yang dipimpin oleh Creon, pamannya. Suara serdadu yang ramai semakin mendekati tanah Athena, berkostum layaknya jaman Yunani dengan perpaduan mediterania.

“ Cih…, “ ejek Creon memandang  Oedipus. “Kau lah sumber dari segala petaka!”

“Orang hina, kotor, yang menikah dengan Ibunya sendiri!”

“Diam!,” Oedipus berteriak hingga urat dan kerutanya terlihat jelas.

Creon menginginkan Oedipus untuk kembali ke Thebes dengan maksud merebutkan tahta kerajaan. Dalam kabar yang dibawa Ismene, ada nujum baru bahwa Oedipus akan diperebutkan dan tubuhnya akan dipajang di depan Istana  sebagai penolak balak. Untunglah, Raja Athena, Theseus bersedia melindunginya atas nama keadilan. Bala tentara Athena berhasil mengusir Creon dan sekutunya.

Perang serdadu Thebes yang dipimpin Creon dengan Athena. Kala Creon berusaha membawa pulang paksa Oedipus ke Thebes untuk mendapatkan tahta kerajaan.

 

Dalam pementasan berdurasi sekitar dua jam itu, karakter Antigone yang setia dan tangguh cukup kuat dimainkan oleh Vita Oktaviana. Potongan rambut  pengelana, rambut kepala bagian kirinya dibotak dan sebelah kanan terurai berantakan. Di telinganya tergantung anting  bulat seperti penangkal mimpi buruk bergaya hippie. Berbeda dengan Ismene yang berpenampilan layaknya putri Yunani, baju peraknya gemerlap, rambutnya tertutup bandana dan Ia terawat.

Lantunan lagu masa kecil  disenandungkan Ismene dalam gelapnya hutan keramat. Panggung itu disulap seperti hutan, dengan pohon di depannya. Daun-daun kering memenuhi lantai, lengkap dengan batu, lukisan pepohonan, dan jala-jala yang dibentangkan secara horizontal bertempelkan daun semi. Suasana hutan yang sepi, membuat lantunan lagu itu menyayat hati Antigone. Terkenang masa kecil ketiga saudaranya. Yang sedih dan menanti Polynesis mengahadap ayah.

Oedipus tak ingin disentuh anak sulungnya. Yang tak menolehnya saat ia keluar dari istana. Polynesis yang menikah dengan putri Argos harus bertempur dengan negerinya sendiri, Thebes melawan adik kandungnya, Eteocles yang naik tahta. Ia meminta restu dengan bersujud di kaki ayahnya. Oedipus melempar jubah hitam yang akan dikenakan Polynesis kepadanya. Drama melankolis keluarga pun terjadi saat Antigone tak rela melepaskan kakak sulungnya. Wajahnya sendu, air matanya mengalir. Antigone tak ingin ada pertempuran darah antar saudaranya.

Di penghujung pentas, emosi penonton kembali tidak keruan saat kematian menjemput Oedipus. Guntur menggelegar bersahut-sahutan, angin begitu kencang, dan hujan turun begitu derasnya. Oedipus kembali menghadap dewa Zeus. Dilepaskan baju rombengnya, dengan bertelanjang dada Oedipus berpulang. Lantunan lagu duka menggetarkan Antigone dan Ismene, wajahnya sendu menanggung pilu. Sorot lampu tembak mengikuti kepergian Oedipus, Laki-laki malang yang hanya berusaha menjalani takdirnya yang pedih.

Pertumpahan darah Eteocles dan Polynesis terjadi seperti pada nujum yang dibawa oleh Ismene. Tak ada yang berani menguburkannya, karena Creon berjanji akan megubur hidup-hidup siapapun yang berani menguburkan nyawa mereka.

 

Sebelum pentas Antropodipus ini, Iswadi Pratama juga pernah menyutradarai pementasan “Oedipus Di Kolonus” di Teater Salihara, Jakarta Selatan pada Maret 2017. Sama-sama menceritakan kehidupan Oedipus setelah diasingkan, namun pementasan kali ini lebih serius dengan pendekatan antropologinya. Pada adegan terakhir, Antigone menarik busur panah ke langit bersama Theseus, mengisyaratkan perang ini belum berakhir. Sama halnya pentas ini, direncanakan Iswadi berniat melanjutkan lakon ini dengan mengangkat tokoh putri Odiepus yang paling setia, Antigone.

 

Laporan: Retnoningayu Janji Utami

 

 

Exit mobile version