Teknokra.co : Tak sedikit seorang anak yang lahir dan dibesarkan dalam jeruji penjara. Tak ada banyak yang tahu, bahkan negara pun patut mengingatkan, bahwa setiap anak berhak untuk dilindungi terlepas dari latar belakang yang dimilikinya.
Seorang perempuan narapidana yang hamil, terpaksa harus menjalani masa kehamilannya, sampai melahirkan di dalam tahanan. Sejumlah penderitaan telah banyak dialaminya. Diantaranya kondisi sel tahanan yang tak layak, kurangnya asupan gizi, serta akses kesehatan yang terbatas menambah penderitaan seorang narapidana.
Selama menjalani proses dan masa hukuman, sebagian besar narapidana tak juga mendapat dukungan materi, bahkan moril dari keluarganya. Kebanyakan dari mereka harus berjuang seorang diri dalam jeruji besi.
Berangkat dari kisah nyata, kisah ini sukses difilmkan, melalui film dokumenter bertajuk “Invisible Hopes,” yang ditayangkan di Bioskop CGV Transmart, Bandar Lampung pada Selasa, (12/9).
Film yang disutradarai oleh Lamtiar Simorangkir ini, telah berhasil memenangkan sejumlah penghargaan, diantaranya dalam nominasi Film Dokumenter Panjang Terbaik dan Penyutradaraan Film Panjang Perdana, dalam Festival Film Indonesia dan Piala Maya.
Dengan sejumlah penghargaan yang diraih ini, film garapan wanita yang kerap disapa Tiar itu, terbukti patut untuk ditonton.
Pada pemutaran film ini, diawali dengan memperlihatkan bagaimana kehidupan seorang perempuan narapidana di dalam tahanan penjara. Banyaknya kekurangan yang dirasakan para narapidana, termasuk ditempatkan dalam bui yang berukuran kecil, para Napi harus hidup layaknya pemukiman penduduk biasa, yang saling bersosialisasi.
Dalam film ini, berfokus pada perjuangan seorang perempuan narapidana yang hamil di dalam tahanan penjara. Sebagai calon ibu, tentu tak siap dengan kondisi yang sedang dialami.
Berbagai faktor, salah satunya faktor lingkungan yang tak mendukung menjadi faktor utama para napi menjadi memburuk. Bahkan pihak lapas pun, tak pernah beri asupan gizi, serta perhatian yang lebih kepada mereka.
Beberapa akses kesehatan, juga harus mengocek dana pribadi dari pihak keluarga napi. Tentu masih banyak lagi hal pilu lainnya yang terjadi.
Dalam hal komunikasi dengan keluarga napi juga tak dalam kondisi yang baik, lantaran dengan dicap sebagai penjahat, menjadi faktor utama keluarga para Napi enggan peduli.
Dalam fase akhir kehamilannya, dirinya dihadapkan dengan kelahiran sang buah hati. Buah hati yang dilahirkan perempuan Napi itu, menjadi perhatian dan daya tarik bagi penonton.
Seharusnya saat masa anak-anak, mereka diberikan hak bermain bebas di luar, belajar, serta mendengarkan berbagai hal positif. Saat masa pertumbuhan dan perkembangan seorang anak, peran sebagai orang tua pasti diperlukan. Namun, tidak bagi seorang Napi, ketika masa kecil, anak mereka hanya merasakan tekanan dari jeruji besi. Lantas, hal tersebut membuat perasaan miris dibenak para Napi.
Tindakan buruk di dalam tahanan ditakutkan akan ditiru oleh anak, serta berdampak buruk bagi psikologisnya. Sebagian besar perempuan narapidana juga tak bisa mendidik anak secara maksimal.
Lamtiar Simorangkir, sang Sutradara mengaku, bahwa film garapannya ini membutuhkan waktu produksi yang cukup lama. Tak hanya itu, perizinan yang ditempuh juga lumayan rumit.
Baginya tak mudah dalam mendekati petugas lapas dan narasumber. Pendanaan produksi film pun harus melewati berbagai rintangan.
“Kami berusaha mendorong melalui film ini. Di Jakarata sendiri kami tidak berhenti untuk advokasinya dan terhitung Lampung ini adalah provinsi ke tujuh belas yang kami lakukan dengan mengundang stakeholder lokal,” ucapnya.
Ia berharap dengan pemutaran film ini, banyak masyarakat dan pihak mulai tersadar untuk memperhatikan narapidana terutama perempuan untuk mendapat hak secara utuh.
“Kami berharap minimal dari teman-teman, ada perhatian dan solusinya. Dan ini tidak mudah, hukum harus tetap berjalan tapi kan ada anak yang harus kita penuhi haknya, ” harapnya.
Tiar juga menyinggung peran negara dalam pertanggungjawaban anak para narapidana, lantaran anak seorang Napi tersebut tak memiliki pilihan hidup, selain ikut orang tuanya dalam masa tahanan.
“Jika tidak diambil keluarga, maka pilihan kedua kan harus di dalam dengan ibunya. Nah, ketika ibunya nggak sanggup, kan tempat di dalam bukan tempat ideal dalam merawat anak, bahkan ibunya masih narkoba, nah itu gimana tidak ada opsi ketiga kan. Negara dimana, harusnya kan negara yang ambil alih, itu yang harus kita dorong, “ tandasnya.