Satu Malam 27 an UKMBS Unila Bahas Kebudayaan Lampung Dalam Perspektif Akademisi

“Satu Malam 27an” oleh program rutin Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKMBS) Universitas Lampung (Unila) di Graha Kemahasiswaan Unila Lt. 1 pada Minggu (27/08). Foto : Teknokra/ Faridh Azka Alfathani
427 dibaca

Teknokra.co : Diskusi Kebudayaan Lampung Dalam Perspektif Akademisi menjadi topik pembahasan pada “Satu Malam 27an” oleh program rutin Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKMBS) Universitas Lampung (Unila) di Graha Kemahasiswaan Unila Lt. 1 pada Minggu (27/08).

Turut hadir sejumlah praktisi seni dan para akademisi Lampung. Salah satunya Dosen IIB Darmajaya Lampung, Faurani Santi Singagerda. Ia menuturkan, jika nilai-nilai yang terdapat dalam budaya Lampung dapat dijadikan sebagai acuan dan pedoman, untuk masyarakatnya bertahan dalam menghadapi masuknya budaya luar.

Dan menurutnya, peran akademisi diperlukan untuk memberikan wawasan yang tepat untuk para generasi lanjut.

Dirinya juga menyinggung soal Piil Pesenggiri yang dimiliki masyarakat Lampung yang banyak disalahartikan, seperti halnya diartikan sebagai “Gengsi”.

“Akhir-akhir ini, falsafah luhur itu telah banyak disalahartikan, banyak orang Lampung menyamakan ‘Piil’ dengan gengsi, nggak mau kalah unggul harta atau materi, inilah yang musti diluruskan kembali. Tugas kita sebagai orang tua, dan khususnya saya sebagai akademisi, memberikan pendidikan ini ke anak-anak,” tuturnya.

Ia juga membahas soal perspektif ekonomi yang pada saat ini telah mengalami perubahan.

“Bahwa melihat dari pandangan akademisi bahwa perspektif ekonomi sudah beda dengan perspektif ekonomi 30 tahun lalu. Model-model bisnis di indonesia khususnya di Lampung sistemnya sudah kolaborasi sehingga tidak ada lagi pengotak-kotakan keahlian” ungkapnya.

Faurani juga mempermasalahkan terkait emosional yang dimiliki generasi saat ini.

“Hampir seluruh Indonesia termasuk di Lampung mulai terkikis istilah-istilah mental health, healing, padahal di dunia sesungguhnya baik itu bisnis, di rumah tangga maupun di masyarakat pertarungan terhadap sesama manusia semakin lama semakin kompleks,” ungkapnya.

Sementara itu, Dosen Pendidikan dan Kewarganegaraan (PPKN) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unila, Edi Siswanto menerangkan bahwa seseorang yang memiliki Piil Pesenggiri dalam Lampung harus dapat memunculkan kehidupan sosial atau kelompoknya.

“Jika ada orang Lampung yang sukses, tapi tidak turut menyukseskankan kelompok atau komunitasnya maka bisa dikatakan orang itu tidak punya Piil,” katanya.

Sebagai pemerhati budaya Lampung, Neri Juliawan juga menjelaskan, bahwa bentuk kebudayaan itu lahir sebagai respon atau tindakan manusia bahkan kelompok dalam menyikapi sesuatu di luar kendali.

“Kebudayaan itu adalah cipta rasa dan karsa manusia dalam merespon sesuatu yang diluar dirinya mulai dari hal trensender sampai hubungan dengan alam kehendak-hendaknya termasuk di dalamnya dengan hubungan dengan manusia”. ungkapnya

Neri juga mempertanyakan terhadap pandangan perspektif ekonomi melalui kebudayaan Lampung. Karena menurutnya, kebudayaan juga memberikan nilai ekonomi di dalam kehidupan.

“Bagaimana manusia kekinian melihat kebudayaan secara keseluruhan utamanya kebudayaan Lampung dalam konteks ekonomi, kebudayaan  memberikan nilai atau memberikan makna bagi kehidupan ekonomi ke depan, dan kebudayaan memiliki ruang akademik yang lebih spesifik dalam dunia ilmu dan mengisi ruang-ruang dalam dunia akademik,” pungkasnya.

Penulis: Taufik HidayahEditor: Sepbrina Larasati
Exit mobile version