Sikapi Kekerasan Seksual di Kampus : Kampus Harus Transparan

Diskusi yang digelar Pojok Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Lampung (Unila), pada Rabu (13/9). Foto : Teknokra/ Taufik Hidayah
552 dibaca

Teknokra.co : Kekerasan seksual telah lama menjadi isu yang menghawatirkan terutama di lingkungan kampus. Beberapa tahun kebelakang, kampus di Lampung menjadi sorotan atas kasus kekerasan seksual. Dalam hal ini, kampus juga harus transparan dalam menyikapi kasus tersebut.

Hal itu dikatakakan oleh Staf Penanganan Kasus dan Database Perkumpulan Damar, Kiki Ayu Septiani. Menurutnya, penanganan kekerasan seksual di kampus saat ini tak lepas dari tantangan, lantaran kampus cenderung menutupi.

“Dalam menangani kasus kekerasan di kampus memang tantangannya luar biasa. Karena, yang kita hadapi lagi ini bukan perorangan tetapi instansi pendidikan itu. Selama ini ketika ada kasus kekerasan seksual di kampus, kampus itu sendiri lebih cenderung minayor, menganggapnya aib dan menutupi,” katanya.

Menurutnya, kampus harus transparansi dalam menangani kasus kekerasan seksual.

“Padahal kampus yang baik adalah kampus yang mau terbuka dan transparan dalam melakukan sesuatu seperti terjadinya kasus kekerasan seksual yang terjadi di kampus mereka,” tuturnya.

Lebih lanjut ia menambahkan, kasus tersebut tak bisa berjalan sendiri, harus menyertakan pendampingan terutama dukungan dari organisasi atau komunitas.

“Dalam mendampingi kasus kekerasan seksual di kampus kita tidak bisa melakukan ini sendirian. Perlu adanya dukungan dan dorongan dari teman-teman seperti LBH dan komunitas,” lanjutnya.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung, Sumaindra Jarwadi menyampaikan, bahwa kekerasan seksual merupakan masalah yang yang tak boleh dianggap remeh. Setiap kasus kekerasan seksual harus melibatkan relasi yang tidak seimbang antara korban dan pelaku.

“Misal melihat dari beberapa kasus terbaru, dosen memiliki posisi yang lebih superior, sementara mahasiswa berada dalam posisi yang lebih lemah dalam relasi sosial tersebut,” jelasnya.

Ia menyinggung sejumlah data survei dari Komnas Perempuan, bahwa penyumbang terbesar kasus tersebut ialah Perguruan Tinggi, dengan persentase mencapai 27 persen. Dalam hal ini, Kemendikbud Ristek telah mengeluarkan peraturan yang mewajibkan Perguruan Tinggi membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS).

Menurutnya dalam penanganan korban kekerasan seksual, tak hanya berfokus pada penegakan hukum, namun perlindungan serta pemenuhan hak para korban. Korban kekerasan seksual membutuhkan upaya komprehensif untuk memastikan perlindungan dan hak-hak mereka terpenuhi.

“Peran pendidikan, terutama di Perguruan Tinggi, harus memastikan adanya hubungan yang baik antara mahasiswa dan dosen, serta mahasiswa dengan staf pendidik lainnya, dengan menciptakan ruang yang aman dan memastikan perlindungan serta transparansi dari pihak kampus,” pungkasnya.

Penulis: Nyoman Trilia RahmasariEditor: Sepbrina Larasati
Exit mobile version