TPPHAM Bentukan Mahfud MD Dinilai Tak Selesaikan Kasus HAM Talangsari

Ketua TPPHAM Makarim Wibisono berdiskusi dengan sejumlah pihak soal Peristiwa Talangsari Lampung (15/11). Foto: Teknokra/Arif Sanjaya.
606 dibaca

Teknokra.co: Pengusutan pelanggaran Hak Asasi Manusia pada Peristiwa Talangsari di Lampung Timur tahun 1989 memasuki babak baru dengan dibentuknya Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (TPPHAM) oleh Menkopolhukam, Mahfud MD pada bulan Agustus lalu.

Ketua TPPHAM, Makarim Wibisono bersama Zainal Arifin Muchtar yang juga menjadi anggota TPPHAM, mengunjungi Lampung untuk kembali mengumpulkan data-data mengenai peristiwa Talangsari yang nantinya akan digunakan untuk menghasilkan rekomendasi kebijakan kepada Presiden Joko Widodo.

Pada Selasa, (15/11) TPPHAM mengundang akademisi, aktivis hukum, Pemkab Lampung Timur dan pihak-pihak lainnya di Lampung untuk berdiskusi mengenai peristiwa kelam yang terjadi 33 tahun lalu tersebut.

“Kami mendapat tugas dari presiden pada tanggal 31 Desember 2022 harus melaporkan kepada beliau apa yang harus dilakukan oleh pemerintah,” ujar Makarim.

Peristiwa Talangsari merupakan pelanggaran HAM terberat yang pernah terjadi di Lampung pada masa Orde Baru. berdasarkan catatan KontraS, setidaknya terdapat 130 korban meninggal, 77 orang diusir, 53 orang disiksa dan puluhan lainnya dirampas hak-haknya.

Peristiwa tersebut terjadi setelah kelompok islam di desa Talangsari mendapat label “radikal” oleh pemerintah dan militer pada masa itu. Konflik kemudian meruncing dan kemudian berakhir dengan pembantaian warga yang dilakukan oleh militer.

Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 2022 merupakan landasan hukum bagi pembentukan TPPHAM. Menurut Makarim, terdapat beberapa tugas yang diemban oleh timnya.

“Satu mengungkapkan pelanggaran HAM dan bagaimana analisis mengenai hal ini, kedua kita diminta untuk membuat rekomendasi bagaimana dalam bentuk memulihkan korban-korban dan yang ketiga kita diminta membuat rekomendasi agar jangan sampai pelanggaran HAM terjadi lagi,” jelasnya.

Zainal Arifin Muchtar, salah satu anggota TPPHAM yang juga merupakan pakar hukum Universitas Gajah Mada ikut hadir dalam diskusi tersebut. Ia menjelaskan bahwa pihaknya menangani 13 kasus pelanggaran HAM berat yang ada di indonesia, salah satunya peristiwa Talangsari.

“Ini hak konstitusional, jadi dia (korban) harus mendapatkan sesuatu dari negara. Salah satu dorongan kita adalah negara mengakui melakukan pelanggaran HAM dimasa lalu,” kata Zainal.

Namun, tak semua pihak merasa puas dengan kerja TPPHAM. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung dan Komisi Smalam pesimis terhadap hasil kerja tim tersebut nantinya. Pasalnya, TPPHM dinilai hanya menghasilkan penyelesaian secara Non-Yudisial dan tidak memberikan keadilan hukum bagi korban.

Wakil Direktur LBH Bandar Lampung, Cik Ali menekankan bahwa negara harus hadir dengan meminta maaf kepada korban serta mengadili pelaku pelanggar HAM, hal ini dinilai lebih penting daripada sekedar pendekatan sosial ekonomi belaka.

“Pada prinsipnya kami sebagai lembaga pendamping masyarakat sampai hari ini menolak dengan tegas terhadap penyelesaian Non-Yudisial yang dilakukan melalui Keppres ini,” tegas Cik Ali.

Sikap serupa juga ditunjukan oleh Fikri Yasin yang merupakan Koordinator Komisi Smalam. Dengan nada yang tegas, ia menolak solusi Non-Yudisial dari Pemerintah. Ia bahkan menyebut para pakar hukum yang terlibat dalam tim tersebut telah mendapatkan “jebakan Batman” dari Istana yang setengah hati dalam mengusut pelanggaran HAM.

“Kalau kemudian tim ini mau bener, cabut dulu Keppres nomor 17 itu, kita duduk bareng bersama, masing-masing kita menjelaskan versi korban, baru kita cari bagaimana cara jalan keluar penyelesaian ini,” tegasnya.

Kedua Aktivis hukum yang hadir dalam diskusi tersebut juga menilai TPPHAM yang hanya menghasilkan rekomendasi kebijakan merupakan lip service belaka dari pemerintah dalam mengusut pelanggaran HAM.

Menanggapi hal tersebut, TPPHAM tak mau disamakan dengan tim-tim pengusutan kasus HAM terdahulu yang telah gagal dalam menghadirkan keadilan bagi korban pelanggaran HAM.

Makarim menegaskan bahwa aspirasi aktivis untuk penyelesaian Yudisial dan non-Yudisial secara beriringan juga merupakan suatu opsi yang mungkin akan diambil pemerintah.

“Jadi udah jelas ya bahwa Keppres 17 ini tidak menutup mengenai mekanisme Yudisal, juga tidak menutup mengenai usaha untuk melahirkan Undang-undang KKR,” pungkasnya.

Exit mobile version