Teknokra.co : “Rusli!” jerit seorang perempuan memecah keheningan, diiringi letusan tembakan yang bersahut-sahutan dari berbagai arah. Layar hitam-putih memantulkan bayang-bayang masa silam sebuah fragmen perjuangan, cinta, dan pengorbanan yang nyaris terhapus waktu. Turang, film klasik yang sempat hilang sejak 1965, sore itu kembali hidup. Bukan di layar lebar kota besar, melainkan di ruang diskusi sederhana Gedung B Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Lampung (Unila) Pada Selasa (29/04).
Kegiatan ini digelar oleh Pojok FISIP Unila berkolaborasi dengan UKPM Teknokra, Forum Literatur, Konsentris, dan Taman Diskusi dalam rangka memperingati Konferensi Asia-Afrika (KAA). Di tengah arus film modern dan cerita-cerita digital, Turang hadir sebagai jeda. Ia seperti surat lama yang akhirnya dibuka kembali, menceritakan tentang perjuangan yang nyaris terlupakan.
Bachtiar Siagian, sang sutradara, tak sekadar menyusun adegan, ia menganyam memori bangsa dalam potongan gambar hitam-putih. Lewat kisah Rusli dan Tipi, film “Turang” menggambarkan bahwa cinta dan perjuangan bisa berjalan beriringan meski tak selalu menemukan akhir yang bahagia. Di balik sentuhan estetika dan narasi yang kuat,
Bachtiar Siagian juga terinspirasi oleh puisi Chairil Anwar, “Karawang-Bekasi”, yang dengan penuh semangat menggugah jiwa tentang pengorbanan dan perjuangan yang tak pernah usai. Seperti dalam puisi tersebut, “Turang” mengingatkan kita bahwa meski banyak yang telah gugur dalam perjuangan, kerja untuk meraih kemerdekaan dan keadilan belum selesai.
Dede Safara Wijaya, pemantik diskusi, menyampaikan bahwa film ini lebih dari sekadar cerita cinta di masa perang.
“Turang menggambarkan realitas perjuangan masyarakat setempat dalam mempertahankan daerahnya,” ujarnya.
Tak hanya mengandung nilai historis, Turang juga pernah berjaya dalam dunia perfilman. Film ini menyabet lima penghargaan pada Pekan Film Nasional tahun 1960, di antaranya film terbaik, sutradara terbaik, aktor terbaik, dekorasi terbaik (penata artistik), dan musik terbaik.
Putra Alam Apriliandi (Pendidikan Sejarah’22), yang hadir sebagai peserta diskusi, mengaku kagum pada kekuatan narasi film ini.
“Walaupun sinematiknya belum seperti sekarang, tapi penyampaian ceritanya jelas. Film ini bisa menguraikan peristiwa yang terjadi beberapa tahun sebelumnya, dan nuansa klasiknya sangat terasa,” ujarnya.
Diskusi juga dimoderatori oleh Fuad Abdul Ghani, dosen Sosiologi Unila. Ia menyampaikan harapannya agar generasi muda semakin tertarik untuk menggali sejarah bangsanya.
“Belajar sejarah itu penting. Maka akses belajar sejarah semestinya dibuka seluas-luasnya dan bisa diakses oleh siapa saja,” katanya.
Sempat terjadi kendala teknis sebelum pemutaran film berlangsung. Hanif Dinanda (Sosiologi’21) sekaligus volunteer dalam kegiatan ini, mengatakan bahwa ruang penayangan sempat berbenturan dengan agenda lain.
“Penayangan Turang sempat terkendala karena ruangan yang digunakan berbenturan dengan agenda kegiatan lain,” ungkapnya.
Di tengah senyapnya arsip film perjuangan, Turang kembali hadir membawa ingatan kolektif tentang perlawanan, cinta, dan semangat mempertahankan tanah air. Ia tak sekadar film, melainkan saksi sejarah yang bersuara kembali dalam layar sunyi.