Hak Politik Yang Berbelit

Foto: Dian Wahyu Kusuma
266 dibaca
Foto: Dian Wahyu Kusuma

teknokra.co: Malam itu puluhan warga Moro-moro berembuk. Tiap warga yang tergabung dalam pengurus Persatuan Petani Moro-moro Way Serdang (PPMWS) membawa kertas daftar pemilih. Syahrul Sidin, koordinator PPMWS, memimpin pertemuan.

Di sekretariat PPMWS itu, warga membicarakan nasib hak pilih mereka dalam Pemilu Kepala Daerah Mesuji akhir September mendatang. Secara inisiatif mereka mendata sendiri warga yang secara usia berhak memilih. Hasilnya, ada 2173 daftar mata pilih masyarakat Moro-moro.

Data itu selanjutnya diserahkan ke Komisi Pemilihan Umum Provinsi Lampung dan Kementerian Dalam Negeri untuk ditindaklanjuti. Semua itu mereka lakukan, karena tak kunjung didata oleh KPU Kabupaten Mesuji untuk diberikan hak pilih.

Warga Moro-moro, jelas tak bisa memilih lantaran tak memenuhi syarat administrasi seperti mampu menunjukkan kartu tanda penduduk. Masyarakat Moro-moro yang mendiami kawasan hutan register 45 masih dianggap ilegal oleh pemerintah setempat. Sehingga status kependudukan mereka juga tidak jelas.

Hal ini pula yang menyebabkan warga Moro-moro tak pernah didata oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil setempat. “Bila saat pemilu, warga Moro-moro tetap tidak dapat memilih, kami akan melaporkannya ke Mahkamah Konstitusi,” ujar Syahrul.

Oki Hajiansyah, aktivis LSM AGRA (Aliansi Gerakan Reforma Agraria) Bidang Pendidikan mengatakan, warga Moro-moro sudah pernah mendaftarkan diri ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Mesuji. Namun mendapat penolakan. “Di daerah asal, mayarakat Moro-moro tidak diakui atau tidak terdaftar lagi. Padahal kebanyakan mereka berasal dari Lampung,” ujar Oki.

Harapan masyarakat Moro-moro semakin jauh setelah diterbitkannya surat Gubernur Lampung tanggal 31 Maret 2011, tentang tindak lanjut penanganan hak politik masyarakat di kawasan register 45. Surat tersebut menyatakan, masyarakat yang bermukim di area register 45 merupakan perambah hutan yang berasal dari luar Kabupaten Mesuji bahkan luar Provinsi Lampung.

Dengan begitu, masyarakat Moro-moro yang menuntut hak politik tidak memenuhi klasifikasi persyaratan sebagai pemilih berdasarkan ketentuan perundang-undangan, peraturan pemerintah nomor 37 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 11 tahun 2010 tentang Pedoman Pendataan dan Penertiban Dokumen Kependudukan yang mensyaratkan adanya legalitas status kependudukan.

Ketua KPU Mesuji, Mulyadin mengatakan, KPU sebagai penyelenggara mengambil data pemilih dari pemerintah daerah untuk dijadikan daftar pemilih sementara. Semua itu disesuaikan dengan Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4). “Kita sesuasikan dengan undang-undang,”ujarnya.

Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unila, Yusdianto menuturkan, 2.193 pemilih di Moro-moro (berdasarkan sensus penduduk 2010) tidak diberikan hak konstitusi oleh pemerintah. Sebaliknya, tindakan anti konstitusi menjadi hal yang biasa diterima. Pemerintah belum memberikan solusi tepat untuk menyelesaikan hak politik warga Moro-moro. “Pemerintah seharusnya mengakui mereka sebagai warga negara. Kasih akses, kesehatan, kependudukan, dan administrasi.”

Yusdianto juga menuturkan, pemberian suara (right to vote) kepada masyarakat merupakan hak dasar setiap warga negara yang telah diamanatkan UUD 1945. Perumusan pada pasal-pasal sangat jelas bahwa tidak dibenarkan adanya diskriminasi mengenai ras, kekayaan, agama dan keturunan. Setiap warga negara mempunyai hak yang sama.

Masyarakat yang tidak terdaftar dalam daftar pemilih sementara, menurut Yusdianto bisa mendaftarkan diri ke KPU dengan stelsel aktif yakni melakukan tindakan-tindakan hukum tertentu secara aktif. Seperti aktif mengajukan permohonan hak memilih kepada pemerintah maupun KPU. Hal ini telah dilakukan oleh warga Moro-moro yang pada pemilu Presiden 2004 lalu juga ikut menyumbangkan suaranya.

Yusdianto yang juga aktif pada Pusat Kajian Konstitusi dan Peraturan Perundang-undangan FH Unila mengatakan, siapa pun yang terpilih pada pemilukada Mesuji bisa menjadi preseden buruk apabila warga Moro-moro tak juga diberi hak pilih. Dimungkinkan akan adanya tuntutan berupa peninjauan ulang suara masyarakat Moro-moro yang diabaikan. “Semuanya (hasil pemilukada) akan diragukan, ketika Mahkamah Konstitusi mengetahui ada pengabaian hak pilih. Suatu saat nanti akan ada gugatan dari pasangan yang kalah,” ujar Yusdianto.

Ketua Komisi I DPRD Provinsi Lampung, Ismet Roni menuturkan, hak politik warga Moro-moro kini sudah ditangani langsung oleh DPR RI. Pertemuan 14 Maret 2011 di Jakarta yang dihadiri oleh DPR RI, Komnas HAM, Pemda Mesuji, PT Silva Inhutani, DPRD Provinsi, Bupati, dan wakil masyarakat belum menghasilkan solusi konkrit mengenai hak politik warga Moro-moro.

Pertemuan itu hanya menghasilkan kesepakatan antara lain, penyelesaian konflik harus menyangkut kepentingan warga, dan pemerintah daerah harus menjamin hak-hak warga negaranya secara adil sesuai dengan undang-undang berlaku. Aparat keamanan, dan tindakan kepolisian semestinya tidak ditujukan terhadap suatu kasus yang belum pasti (hak publik atau privat).

Pemerhati hukum, FX Sumarja yang juga dosen Hukum Agraria Fakultas Hukum Unila, mengatakan, meskipun tanah yang ditempati warga Moro-moro ilegal, pemerintah daerah harus tetap melayani pemenuhan hak-hak masyarakatnya. Hal ini selaras dengan amanat UU No. 23 tahun 2006 yang menyebutkan, bagi penduduk rentan administrasi kependudukan, negara wajib menerbitkan dokumen kependudukannya. Saat dikonfirmasi Kamis (28/7) Syahrul mengatakan, belum ada tanggapan dari KPU Provinsi maupun Kementerian Dalam Negeri tentang hak pilih warga Moro-moro.

Laporan : Dian Wahyu Kusuma

Exit mobile version