Teknokra.co : Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Bandar Lampung bersama dengan Konsentris.id mengadakan diskusi publik untuk memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia yang bertajuk “Mengurai Benang Kusut Oligarki Agraria Provinsi Lampung: Kasus Anak Tuha” di D’jaya House Kedaton, Bandar Lampung pada Rabu, (10/12).
Dalam diskusi menghadirkan berbagai narasumber diantaranya: Hendry Sihaloho selaku Jurnalis Konsentris, Prabowo Pamungkas selaku direktur YLBHI Bandar Lampung, Senen Mustakim selaku kepala Kesbangpol Provinsi Lampung dan Ganjar Jationo selaku Kepala Dinas Kominfotik Provinsi Lampung. Diskusi berjalan intensif dengan di moderatori oleh Derry Nugraha selaku jurnalis konsentris.id.
Diskusi ini menyoroti permasalahan agraria yang ada di Provinsi Lampung yang sangat sulit sekali untuk menemui Solusi.
Hendry Sihaloho dalam pemaparannya mengungkapkan apresiasi terhadap pihak pemerintah yang turut hadir dalam diskusi untuk mencari solusi atas permasalahan agraria di Lampung.
“Forum ini adalah dialog, kita sama-sama mencari titik temu antara sengkarut sengketa tanah di Lampung,” ungkapnya.
Hendry kemudian bertanya kepada audiens mengenai program pemerintah atau program negara apa saja yang betul-betul memberikan keuntungan bagi masyarakat tanpa melahirkan konflik. Lebih lanjut ia memberikan contoh salah satu program food estate yang ada di Lampung.
“Di humbas misalnya, adik ipar saya pindah ke Lampung karena tanah nya beralih dari yang semula dia menanam kopi, begitu proyek food estate masuk dia berubah jadi buruh tani,” jelasnya.
Di sisi lain, Prabowo Pamungkas menjelaskan bahwa banyak sekali permasalah konflik agraria yang ada di Sumatra salah satunya yang terjadi di anak tuha dan kota baru.
“Gambarannya, nyata ini terjadi anak tuha dan di kota baru dan mungkin banyak sekali tempat tempat lain kalau kita mau cek misal nya di sumatra,” ujarnya
Prabowo juga menegaskan bagaimana situasi konflik agraria bermula pada awalnya dan semakin memburuknya permasalah konflik agraria terjadi.
“Ketika terjadi konflik agraria akan selalu ada kekerasan, akan selalu ada kriminalisasi. Terlebih konflik-konflik yang menghadapkan warga dengan korporasi atau warga dengan negara,” tegasnya.
Dari sisi pemerintah, Senen Mustakim menjelaskan sikap pemerintah provinsi yang tidak dapat mengakomodir konflik agraria yang disebutkan sebelumnya.
“Bahwa Pemprov saat ini secara hukum memang tidak bisa mengakomodir, ini adalah kasus di anak tuha. Bukan menyinggung atau berhimpitan dengan kabupaten kota lain,” tuturnya.
Ia juga mengungkapkan bahwa ada perusahaan yang disinyalir memiliki ratusan hektar di tanah berkonflik.
“Kalau kita baca bahwa PT. BSA itu mempunyai HGU seluas 807 hektar, nah ini kami juga konsultasi dengan BPN apakah ini memang bisa, kalau bisa tolong hadir dalam kesempatan ini,” ungkapnya.
Lebih lanjut Ganjar Jationo menegaskan bawah pemerintah harus hadir dalam pemenuhan hak asasi manusia.
“Sehingga peran pemerintah tanda kutip, kita sepakat menjalankan pemenuhan hak asasi manusia juga bersandingkan hukum apapun yang ada,” tutupnya.
