teknokra.co: Cerita kelam pelanggaran hak asasi manusia di negeri ini tak hanya dialami oleh korban pelanggaran HAM berat Talangsari, namun juga korban pelanggaran HAM lainnya, seperti kasus Tri Sakti, Tragedi 28 September 1999 Lampung dan pelanggaran HAM lainnya
di seluruh Indonesia.
Fakta kelam ini adalah adalah bukti nyata minimnya kepedulian pemerintah atau pun Komite Nasional Hak Asasi Manusia (Komnasham) di masa lalu pun kini terhadap perlindungan HAM.
Diskusi “Menyoal RUU Intelejen dan Kasus Pelanggaran HAM” yang dimotori Aliansi Jurnalis Independen Bandarlampung digelar untukmenyikapi berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi di seantero negeri khususnya Lampung. Diskusi ramai dihadiri keluarga korban Talangsari, jurnalis, LSM Mintra Bentala, Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi. Hadir sebagai pembicara, Koordinator Kontras, Haris Azhar.
Sepanjang tiga belas tahun terakhir, draf Rancangan Undang–Undang Intelijen Negara masih menyisakan banyak persoalan. RUU Intelijen yang tengah digodok pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat itu dinilai bertentangan dengan perlindungan HAM.
RUU Intelijen mulai dibahas setelah terjadi berbagai bentrokan antar kelompok, kekerasan yang dituduhkan berlatar agama, teror bom paket, dan terakhir isu kudeta. Usai kejadian tersebut, opini masyarakat mencuat seputar kelemahan intelijen dalam mengantisipasi pecahnya berbagai konflik nasional. Hingga muncul anggapan, perangkat intelijen harus diperkuat.
Namun pada kenyataannya, RUU intelijen juga tak lepas dari protes dan kecaman berbagai pihak yang menginginkan agar pengesahan menjadi undang-undang dibatalkan. RUU intelijen ditafsir bisa menjadi celah untuk menancapkan taring otoriter pemerintah, karena wewenang intelijen yang luas semisal wewenang melakukan penyadapan dan penangkapan. “Bisa jadi ini memang trik pemerintah untuk otoriter di tengah–tengahsistem demokrasi,” ujar Haris.
Adanya kewenangan penyadapan (intersepsi komunikasi) yang diberikan kepada Lembaga Koordinasi Intelijen Negara—pengganti Badan Intelijen Negara (BIN), seperti diatur dalam pasal 31 ayat 1 dikhawatirkan bertentangan dengan prinsip penegakan dan perlindungan HAM. Apalagi kewenangan yang diberikan ini sifatnya hampir absolut.
Hal ini juga berbahaya bagi kalangan jurnalis, karena memungkinkan intelijen bisa mengintrogasi wartawan dan menganggap informasi tak layakdisampaikan ke publik. Hal ini bertentangan dengan UU No 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Ditakutkan kinerja wartawanterancam karena rasa takut diintimidasi dan ditangkap.
Supriyanto perwakilan dari Mitra Bentala mengatakan, RUU intelijen berpotensi membawa Indonesia ke masa lalu yang sarat dengan kasus pelanggaran HAM. Sebelum disahkan, pemerintah dan DPR menurutnya harus melibatkan masyarakat untuk melakukan uji publik terhadap kelayakan undang-undang. ”Saat ini negara kita dianggap tidak aman. Adanya draf RUU ini berpotensi kembali ke masa lalu.”
Dengan begitu seharusnya beberapa poin dalam RUU intelijen dikaji ulang seperti poin penyadapan dan penangkapan. Wewenang penyadapan tak hanya berpotensi mengancam hak-hak asasi warga negara tetapi juga rentan disalahgunakan untuk kepentingan ekonomi maupun politik kekuasaan. Pemberian kewenangan menangkap dianggap melegalkan tindakan penculikan, mengingat kerja intelijen yang tertutup dan rahasia.
Intelijen memang memerlukan kewenangan untuk melakukan penyadapan atau intersepsi, namun harus dilakukan melalui mekanisme yang baku dan jelas. Selain itu harus disertai persyaratan yang jelas, semisal pentingnya mendapatkan persetujuan pengadilan dalam penyadapan.
Mahkamah Konstitusi menghendaki tata cara penyadapan harus diatur dengan undang-undang tersendiri, yang mengatur seluruh mekanisme penyadapan bagi semua lembaga yang memiliki kewenangan itu. Artinya, RUU intelijen hanya dibolehkan mengatur tentang pemberian kewenangan penyadapan, tetapi tidak mengatur tata cara, pra syarat, serta pembatasannya. Sebaiknya juga disediakan mekanisme pengaduan bagi individu yang hak privasinya dilanggar kerja-kerja lembaga intelijen.
Kebijakan dan aktivitas intelijen bahkan kerap bersinggungan dengan motivasi–motivasi kekuasaan, bukan sebagai alat negara demokratik.Intelijen dalam perannya haruslah selaras dengan prinsip negara demokrasi dan HAM. RUU intelijen negara yang saat ini tengah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2011, juga harus memiliki corak jaminan perlindungan HAM, dengan belajar dari pengalaman buruk intelijen di masa lalu, khususnya pada kasus–kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Bahkan sampai pada kasus pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib, Badan Intelejen Negara diduga terlibat dalam konspirasi penghilangan nyawanya.
Dewan Perwakilan Rakyat harus membuka konsultasi publik yang lebih luas, guna menyerap aspirasi yang lebih beragam. RUU intelijen dinilai masih sangat prematur. Diperlukan pengaturan secara mendetail mengenai tata cara penyadapan. Apabila RUU intelijen itu disahkan tanpa adanya diskusi atau transparansi yang baik terhadap pihak yang dilibatkan atau pun korban, maka bisa jadi kepentingan intelijen hanya sebagai kepentingan penguasa saja.
Laporan: Desfi Dian Mustika