25 Tahun Tragedi Semanggi II : Kekerasan Aparat Terus Berulang

Foto : KontraS
264 dibaca

Teknokra.co : 25 tahun sudah tragedi Semanggi II berlalu, koalisi masyarakat sipil kembali menyoroti negara yang tidak menyelesaikan tragedi tersebut secara berkeadilan, substantif, dan menghargai martabat korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat tersebut.

Tragedi ini bermula dari aksi demonstrasi pada 23-24 September 1999 di Jakarta, yang menentang pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB), karena regulasi tersebut berpeluang untuk mengancam keberlangsungan agenda reformasi utamanya tentang poin penghapusan agenda dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Alih-alih memitigasi keadaan bahaya, militer justru akan masuk ke ranah publik dan dapat melumpuhkan komponen gerakan sipil termasuk melegitimasi tindakan militer dalam melakukan operasinya.

Aksi dilakukan yang seharusnya untuk memajukkan demokrasi Indonesia dan memperjuangkan hak-hak rakyat, justru berubah menjadi pertumpahan darah yang memakan banyak korban karena adanya respon represif dari ABRI. Sebanyak 11 warga sipil meregang nyawa dan terdapat setidaknya 217 korban luka-luka. Para korban dari tragedi ini meninggal dunia akibat tembakan yang membabi-buta dari para aparat. Dua korban jiwa atas nama M. Yusuf Rizal dan Saidatul Fitria juga meninggal dunia akibat tertembak dan mengalami kekerasan aparat dalam aksi long march di Bandar Lampung dengan tujuan Markas Korem 043 Garuda Hitam pada 28 September 1999. Sementara itu, satu orang tewas akibat kekerasan aparat dalam aksi demonstrasi yang digelar di Markas Kodam Il/Sriwijaya, Palembang pada 5 Oktober 1999.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan, terjadinya sejumlah bentuk pelanggaran HAM dalam tragedi Semanggi II, yaitu pembunuhan, penyiksaan, dan perampasan kemerdekaan. Berdasarkan laporan penyelidikan pro-yustisia, Komnas HAM pun menetapkan peristiwa ini sebagai pelanggaran HAM berat, berupa kejahatan terhadap kemanusiaan. Namun, hingga saat ini, Kejaksaan Agung belum juga menindaklanjuti tragedi Semanggi II ke tingkat penyidikan, karena sejumlah alasan yang tidak berdasar, salah satunya  karena aparat dan komandan di lapangan yang terlibat, sudah disidangkan pada Pengadilan Militer. Padahal, proses hukum tersebut dilakukan dengan memperlakukan peristiwa Semanggi sebagai pidana biasa, yang bukan bagian kejahatan kemanusiaan, sebagaimana diatur dalam Undang-undang (UU) No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Kendala dalam Proses Penyelesaian Hukum

Proses hukum sesuai mekanisme UU Pengadilan HAM yang menjadi syarat terpenuhinya rasa keadilan bagi para keluarga korban juga terus menghadapi hambatan. Bolak-balik berkas antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung dan membuat proses penyelesaian terus terkatung-katung. Negara yang diwakili oleh Kejaksaan Agung tak kunjung menuntut pelaku ke pengadilan. Bahkan, dalam kesempatan rapat kerja bersama Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) di 16 Januari 2020, Jaksa Agung mengeluarkan pernyataan kontroversial seputar Tragedi Semanggi I dan II. Pernyataan keliru ini sempat digugat oleh perwakilan keluarga korban dan organisasi masyarakat sipil yang terhimpun dalam Koalisi Keadilan Untuk Semanggi, dan 11 lewat mekanisme peradilan tata usaha negara. Meski sempat dimenangkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, keluarga korban justru diberikan kekecewaan, sebab proses banding dan kasasi yang berlangsung hingga September 2021 justru memenangkan pihak Jaksa Agung.

Presiden Joko Widodo sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan sejatinya, memiliki tanggung jawab dalam mendorong penyelesaian peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM berat, yang terjadi di masa lalu. Dengan demikian, Presiden seharusnya secara aktif mengambil langkah nyata untuk menyelesaikan tragedu Semanggi II melalui pengungkapan kebenaran, penuntutan,  pertanggungjawaban hukum, pemulihan korban, dan penjaminan ketidakberulangan. Akan tetapi, Presiden malah mencederai harkat dan martabat korban dengan mengambil langkah penyelesaian non-yudisial melalui Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM Non Yudisial (Tim PPHAM). Pemulihan yang diberikan melalui skema Tim PPHAM juga tidak dilakukan dengan melibatkan korban dan mengedepankan aspek-aspek keadilan yang seutuhnya. Tim PPHAM justru hanya berfokus kepada kerugian material dari korban, padahal dari peristiwa ini, bukan hanya dampak material yang dirasakan oleh keluarga korban, tetapi juga dampak-dampak lainnya dari berbagai aspek, seperti aspek psikologis, sosial dan budaya.

Repetisi Brutalitas Aparat

Di lain sisi, aparat keamanan sebagai bagian dari negara yang seharusnya memiliki kewajiban dalam menjamin perlindungan setiap warga-nya, justru memperlakukan masyarakat seakan musuh yang harus diserang, alih-alih didengar aspirasinya. Adapun terdapat kewajiban negara, sebagai pemangku HAM yang harus dipenuhi diantaranya adalah menghormati, memenuhi, serta melindungi hak warga negara-nya. Tindakan aparat keamanan semacam ini pun masih banyak dilakukan saat ini, yaitu respon menggunakan kekuatan berlebihan dalam menghadapi massa kerumunan, seperti dalam aksi Reformasi Dikorupsi 2019, aksi Tolak Omnibus Law 2020, penggunaan gas air mata di Stadion Kanjuruhan 2023, dan aksi Peringatan Darurat 2024. Berdasarkan hasil pemantauan,Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) telah mencatat, terdapat 641 peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh TNI dan Polri terhadap massa demonstrasi dalam kurun waktu 2019-2024.

Atas refleksi tersebut, koalisi masyarakat sipil mendesak Kejaksaan Agung untuk menindaklanjuti kasus Semanggi II ke tahap penyidikan, sebagaimana tanggung jawab tersebut ditetapkan dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, alih-alih menegasikan kasus tersebut sebagai pelanggaran HAM yang berat. Kemudian, Komnas HAM dan Kejaksaan Agung meningkatkan koordinasinya demi menyelesaikan tragedi tersebut secara substantif dan berkeadilan dengan merujuk pada prinsip pertanggungjawaban komando yang diatur dalam Pasal 42 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dan Presiden Joko Widodo untuk memenuhi hak pemulihan korban tragedi Semanggi II dan mengambil langkah nyata demi menyelesaikan kasus Semanggi II secara menyeluruh, alih-alih mengambil kebijakan jalan pintas seperti kebijakan PPHAM sebagai upaya cuci tangan.

[RILIS]

Exit mobile version