Kisah Bocah Pencari Koin

Foto: Arian Korizal
322 dibaca
Foto: Arian Korizal

teknokra.co : “Gung ayo naik, penumpang kapal udah penuh”, teriak salah seorang teman sambil melambaikan tangan memanggil Agung. Agung lari menghampirinya dan pergi menaiki kapal yang sudah dipenuhi penumpang itu.

Diatas sudah menunggu beberapa teman lain untuk melakukan atraksi lompat dan mengambil koin yang dilemparkan oleh para penumpang. Ia membuka baju you can see nya dan hanya mengenakan celana boxer.

Mereka menaiki lantai paling atas pada tubuh kapal, bak seorang perenang yang sudah mahir, ia rentangkan tangannya dengan kepala menengadah. Beberapa saat kemudian kakinya sudah tak menyentuh dinding kapal tempat awal ia berdiri. Biur….suara tubuh mereka yang jatuh kedalam laut. Lompatan yang indah diberikan Agung dan teman-temannya untuk menarik perhatian penumpang. Kapal yang tingginya sekitar 7 meter tak membuat mereka takut, atraksi seperti itu kerap dilakukan ketika kapal akan berangkat menghantar penumpangnya menuju pulau sebrang. Teriakan terdengar dari bawah, “ayo lempar” pinta mereka kepada penumpang kapal yang menyaksikan mereka dari atas kapal.

Penumpang yang kagum biasnya langsung melempar koin atau uang kertas untuk anak-anak itu, mereka saling berebut. Siapa cepat dia dapat, jargon itu mereka gunakan ketika menyelam berebut koin. Cukup aneh apabila kita tak biasa melihat kebiasaan mereka, biasanya orang menyelam untuk mencari ikan atau melihat keindahan alam bawah laut. yang satu ini sedikit berbeda, Jika mendengar kapal akan segera berangkat anak-anak itu pun menepi, berenang ala katak yang lincah lalu naik ke dermaga untuk menunggu kapal lain yang sudah berganti penumpang.

Seorang yang bocah duduk dipinggir dermaga ,mengenakan baju you can see yang berwarna hitam serta celana boxer hitam pula tak jauh berbeda dari kulitnya. Kendati udara pagi itu terasa segar namun ia terlihat kusam, layaknya orang yang baru bangun tidur. Seringnya terkena air laut membuat rambutnya hitam kekuningan dan mengeras. Begitu pula dengan sandal jepit yang ia kenakan, warna biru tua telah berubah menjadi hitam. Tanpa banyak berpikir aku dan teman ku menghampirinya, kami mengajaknya untuk sekedar mengobrol namun ia tampak malu, tak berani menghadap ku ketika berbicara, ia selalu memalingkan tubuhnya saat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kulontarkan, terkadang juga diam tak menjawab. Entah apa yang ia pikirkan tentang ku kala itu.

Pagi itu, sekitar pukul 06.00 beberapa kapal merapat ke dermaga, namun ada pula yang sudah siap berangkat menghantar penumpangnya menuju pelabuhan merak. Pemandangan seperti itu rutin, bongkar angkut muatan selalu dilakukan dikala kapal menepi. Terlihat KMP BSP III Jakarta tiba di dermaga II, sontak membuat beberapa bocah lari menghinggapi kapal tersebut.

Sembari menunggu, mereka menghitung uang hasil menyelam. pendapatan yang diperoleh cukup untuk sekedar membeli makan dan ongkos pulang. Terkadang bisa juga menyisihkan sedikit untuk ongkos berangkat esok harinya. Hal ini rutin dilakukan Agung Kurniawan, bocah berusia 14 tahun yang mengakhiri pendidikannya sejak ia duduk dikelas satu SMP.

Agung sudah tak punya keinginan untuk meneruskan pendidikannya, padahal ia tahu pendidikan itu penting, namun ia tak peduli apa kata orang mengenai dirinya yang setiap hari berangkat sedari subuh dan pulang subuh keesokan harinya. Prinsipnya yang penting tak mengganggu dan merepotkan orang lain. Setiap harinya Agung menghabiskan waktu bersama teman-temannya yang memang sudah tak berstatus sebagai siswa lagi. ia terlihat ceria meski harus berpanas-panasan dibawah terik matahari yang membuat kulitnya hitam dan kusam, atau hanya dengan mendapatkan uang dua puluh ribu saja sudah cukup menggembirakan.

Bak burung yang terbang tanpa batas, itu menjadi keinginan bocah yang bercita – cita sebagai pilot ini. Menurutnya hidup bebas itu menyenangkan, bisa melakukan apa saja yang ia suka tanpa adanya tekanan dari orang lain.

Kedua orang tua Agung bekerja sebagai petani, dari pagi hingga sore menghabiskan waktu disawah, ia memiliki seorang adik yang masih duduk di kelas empat sekolah dasar. Kendati kehidupan Agung seperti itu namun ia tak ingin adiknya mengikuti jejaknya. Agung ingin adiknya berhasil dan dapat membanggakan kedua orang tuanya. Agung seorang anak yang pembangkang, tak pernah menuruti kata-kata orang tuanya. kerap kali kedua orangtuanya memintanya kembali bersekolah, namun ia tetap pada pendiriannya. Agung tak memiliki keinginan untuk membantu kedua orangtuanya disawah atau pun dirumah, pekerjaannya sebagai penyelam sangat menyita waktunya dirumah. Pulang jam 3 atau jam 4 subuh lalu mandi dan pergi lagi, bahkan ia hampir tidak pernah makan dirumah.

Desa Serniti tempat ia tinggal, letaknya cukup jauh dari pelabuhan. Agung harus merogoh kocek sekitar dua ribu untuk sampai ketempat itu. Lingkungan sekitar pelabuhan sudah bagai saudara bagi bocah-bocah ini, mereka sering membantu pekerja-pekerja kapal yang ada di pelabuhan. Biasanya Agung mengambil tambang setelah kapal bersandar. Dari hasil itu ia dapat memperoleh tambahan uang.

Kedua orang tua Agung tak pernah mengetahui pekerjaan yang sudah lebih dari tiga tahun ia lakoni itu, setiap hari Agung selalu meninggalkan rumah dengan alasan bermain. Uang yang ia dapat setiap hari juga tak pernah diserahkan kepada orang tuanya, selalu dihabiskan sendiri untuk makan dan jajan.

Awal mencoba ada perasaan takut yang menghampiri Agung, tanpa bantuan orang lain ia terus mencoba menyelam dilaut dengan kedalaman mencapai kurang lebih 15 meter itu. namun apabila mengambil koin mereka tidak pernah sampai menyentuh dasar laut, terkadang koin belum sampai dasar sudah bisa mereka tangkap.

Berawal dari hobby, sekarang menjadi salah satu mata pencaharian bagi mereka.Tidak hanya anak-anak saja yang menggandrungi pekerjaan ini, yang sudah berkeluarga pun ada, tuntutan hidup yang memaksa mereka menjalani pekerjaan ini. Sekitar 20 orang yang yang tersebar dilima dermaga, disetiap dermaga ada senior masing-masing yang sering mereka sebut dengan ketua.Terkadang ada petugas yang tidak suka dengan pekerjaan mereka, karena lompat dari kapal yang cukup tinggi itu sangat membahayakan, Taufik sebagai penjaga dermaga sering memperingatkan mereka untuk berhati-hati pasalnya pekerjaan yang mereka lakukan ini ilegal, karena rasa belas kasihan sehingga tetap diperbolehkan. Namun kata-kata itu sering dianggap seperti angin lalu, sedikit tak peduli dengan perkataan yang dilontarkan petugas kapal, bagi mereka asalkan tidak menggangu dan mematuhi peraturan tidak perlu ada yang ditakuti termasuk para petugas sekalipun.

Bagi bocah koin, laut sangat berperan dalam kehidupan.Tak dipungkiri sesuap nasi pun mereka dapatkan dari laut. Biasanya bila sehari saja mereka tidak menyelam, tubuh mereka terasa kering dan tidak fit. Ujar rendi dan zaenal sembari menikmati sebungkus nasi uduk.

Selain itu menghisap aibon seletah menyelam sudah menjadi kebiasaan bocah-bocah ini, “biar badannya anget mbak” jika ditanya mengenai alasan mereka melakukan itu, namun untuk yang satu ini mereka lakukan tidak secara terang-terangan, di sebuah warung kecil dipinggir pantai yang menyediakan kopi, rokok, serta makanan ringan menjadi tempat berkumpul sembari beristirahat dan menikmati uang hasil jerih payah mereka.

Kebanyakan dari bocah koin ini adalah anak-anak yang kurang mampu dan putus sekolah, hidup mereka bebas. Bagi yang belum berumah tangga tak perlu memikirkan apapun kecuali mencari uang untuk makan.

Pekerjaan serupa juga sering dilakukan oleh Husni, lelaki yang tergolong bertubuh pendek dan berkulit hitam ini pun mengabdikan dirinya pada laut, bedanya Husni sudah sudah memiliki tanggungan, Ia harus menafkahi istri dan anak-anaknya. Layaknya seorang ayah yang bertanggung jawab, Husni pun rela melakukan pekerjaan apa saja demi mendapatkan uang untuk makan sehari-hari. Menyelam untuk mencari koin bukan hal baru bagi pria berumur 27 tahun itu.ia melakoni profesi ini sejak 15 tahum silam, keadaan ekonomi pula lah yang membuat bapak dari empat orang anak ini rela meninggalkan indahnya masa kecil demi menyambung hidup. Husni berasal dari pulau sebrang, sulitnya hidup memaksanya harus banting tulang, namun itu semua menjadikan pria kelahiran merak ini tegar dan mandiri.

Pekerjaan sebagai pencari koin sudah ada sejak tahun 80-an, baik Agung maupun Husni mewarisi bakat menyelam dari orang –orang yang sudah lebih dahulu melakoni pekerjaan ini. Selain akrab dengan laut mereka juga akrab dengan pihak pelabuhan, seringnya mendapat kepercayaan dari pihak pelabuhan membuat Husni akan selalu mengabdi kepada pihak pelabuhan kendati tidak dibayar sekalipun. Niat ikhlas yang ditorehkan Husni membuat kita patut mengacungi jempol, uang memang penting tapi menurut pria lulusa SD ini membantu orang lain lebih mulia, meski sekedar mengawasi kapal yang bersandar atau membantu apabila terjadi kecelakaan kapal.

Dulu , sebelum menjadi penyelam Husni sempat melakoni beberapa pekerjaan. Mulai dari menyemir, menyapu hingga akhirnya belajar menyelam. Karena menurutnya itu pekerjaan yang menyenangkan disamping mendapatkan uang. Anak – anaknya yang sudah mulai besar membuat Husni semakin giat bekerja, anak pertamanya sudah duduk di kelas dua Sekolah Dasar. Sudah tentu Husni harus menambah penghasilannya untuk membayar sekolah anaknya tersebut. Bukan hal mudah berkeluarga disaat belum memiliki pekerjaan yang mapan serta penghidupan yang layak, karena seorang pria berkewajiban penuh atas keluarganya. Tapi bukan berarti tidak mungkin mendapatkan semua itu, berusaha dan berdoa menjadi salah satu acuan Husni menjalani hidup serta menopang kehidupan keluarga kecilnya.

Istri Husni bekerja sebagai pemulung, terkadang datang kepelabuhan untuk sekedar menemani sang suami bekerja. Apabila hanya mengandalkan hasil dari menyelam sudah barang tentu tak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, apalagi semuanya harus membeli. Beras, sayuran serta bahan pokok lainnya tak ada yang mereka dapatkan secara cuma-cuma. Belum lagi tempat tinggal yang tanahnya masih menumpang, kendati sudah berdiri sebuah gubuk milik sendiri namun ia harus tetap waspada bila suatu saat diusir oleh si pemilik tanah tersebut.

Dari kecil Husni hidup sendiri, ia tak pernah ikut orang tua. Ayahnya meninggal ketika usianya sekitar 8 tahun, dan ia tak mungkin mengandalkan seorang ibu untuk menjadi tulang punggung keluarga. Husni memilih merantau ke pulau sebrang, disinilah ia bertemu seorang gadis yang saat ini menjadi ibu dari anak-anaknya. keduanya menikah tahun 1998 dan dikaruniai 4 orang anak, satu dari mereka meninggal dunia.

Sembari duduk di pinggir pelabuhan dengan membelakangi laut yang luas Husni banyak menceritakan kisah hidupnya. Dengan gamblang ia menuturkan satu persatu pengalaman dari ia kecil hingga sekarang telah menjadi seorang ayah. Berangkat pukul 06.00 Wib untuk menyelam, pulang pukul 10.00 dan berangkat lagi pukul 13.00 untuk memulung,kemudian pulang pukul 21.00 . begitu seterusnya setiap hari.

Laporan : Arian K., Desfi D.M

Exit mobile version