Aku Melihat karena Aku Papua dan Aku Bangg

312 dibaca

teknokra.co : Cinta itu indah, tapi kehilangan yang menyakitkan,” mama Mazmur. Bocah-bocah Timur berlarian menyusuri padang, memasuki bangunan sederhana yang mereka jadikan sebagai ruang kelas.

Tak berapa lama, senandung‘Hymne Guru’ mengalun dinyanyikan oleh mereka, bocah-bocah berseragam merah-putih lusuh dan kedodoran.

“Terpujilah wahai engkau, Ibu Bapak guru.. Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku..”

Film ‘Di Timur Matahari’ menampilkan kesederhanaan persahabatan antara Mazmur, Yokim, Agnes, dan Suryani. Sayang, keceriaan mereka terusik oleh konflik antar suku yang terjadi diantara keluarga mereka. Berawal dari uang palsu yang diterima Blasius, ayah Mazmur dari warga kampung sebelah. Blasius meradang, ia memukul warga kampung sebelah sampai berdarah.

Di tengah jalan pulang bersama Mazmur, Blasius dihadang oleh dua orang berbekal busur siap di tangan mereka. Tragisnya, di depan mata Mazmur, mereka memanah Blasius sampai meninggal.

Konflik pun terjadi. Alex, salah satu adik Blasius, berniat membalas dendam dengan sebuah peperangan. Michael, adik lain Blasius yang kembali ke tanah Papua bersama istrinya, Vina mencoba melarang Alex. Baginya, tidak setiap perang harus dilawan dengan perang. Pertikaian semakin memanas, pembakaran rumah warga antar dua kampung tak terelakan.

Begitu mahalnya harga yang harus dibayar dari sebuah peperangan itu. Anak-anak kehilangan ayahnya dan istri-istri yang kehilangan suami. Termasuk mama Mazmur yang rela memotong jarinya sebagai adat bila suami mereka meninggal.

Tak tahan melihat konflik yang tak berujung, Mazmur berlari ke tengah pertikaian. Menyanyi dengan tulus, yang diikuti teman lannya. Nyanyian mereka mampu meluluhkan hati orang-orang dewasa yang saling melawan. Mereka pun mau bergandengan tangan.

Meski didominasi oleh pemain lokal, namun sang Sutradara Ari Sihasale mampu membuat mereka berakting natural. Mengalir dengan mulus. Keindahan lanskap Papua, digambarkan amat menawan, membawa penonton ingin masuk ke alam itu.

Tak melulu soal pemandangan yang asri, banyak isu yang diangkat di film berdurasi 110 ini. Masalah pendidikan, adat istiadat, konflik antar warga, konflik perusahaan, membuat cerita mengambang. Penonton dibuat bingung, karena fokus cerita yang kurang jelas.

Begitu banyak pula karakter yang ditampilkan tanpa fokus yang seimbang. Karakter anak-anaknya hanya difokuskan penuh ke karakter Mazmur Kebingungan film ini sudah terasa sejak awal, ketika sampai hampir 30 menit alur berjalan, penonton masih belum menemukan, mau di bawa ke mana film ini.

Pesan pendidikan memang terasa kuat di awal-awal, namun semakin memasuki cerita, justru kehilangan sasaran cerita. Endingnya pun kelewat dipaksakan untuk bisa menyentuh penonton.

Beralih dari masalah itu, yang menarik adalah lagu-lagunya termasuk theme song ‘Aku Papua’ begitu menyentuh hati.

Hitam kulit keriting rambut

Aku Papua

Biar nanti langit terbelah

Aku Papua….

Oleh: Lutfi Yulisa

Exit mobile version