Bersahabat Dengan Sampah

271 dibaca

teknokra.co- “Anak TPA!” “Anak TPA!!!” Ejekan itu terus terngiang dibenak Angga Reza (10), siswa kelas 4 Sekolah Dasar

di SDN 1 Bakung, Teluk Betung Barat. Angga tak pernah menggubrisnya, ia anggap sebagai angin lalu. Bila ejekan itu terlontar dari teman-teman sekolahnya, ia hanya diam. “Biarin aja orang mau ngomong apa, diemin aja,” bela Angga.

Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Bakung, Teluk Betung Barat menjadi singgahan Angga sepulang sekolah. Ia jarang bermain seperti teman-teman sebanyanya, ia lebih memilih mencari rongsokan agar mendapat uang ketimbang bermain. ”Dari pada main, mending cari duit,” ujar anak sulung dari tiga bersaudara itu.

Profesi sebagai pemulung ia lakoni dari empat tahun lalu, tanpa paksaan dari kedua orang tuanya. Angga mempunyai mimpi mendapatkan pendidikan tinggi dari penghasilannya sebagai pemulung. “Saya nggak takut dengan cemoohan orang, saya pengen sekolah tinggi dari penghasilan ini,” ujarnya mantap.
Rongsokan yang ia dapat tak bisa langsung di jual tiap hari. Ia harus menngumpuklannya selama dua hari, alasannya tak lain agar pendapatannya lebih banyak. Sering ia mengantongi 30 sampai 40 ribu, namun uang itu tak pernah masuk ke kantongnya sendiri. Setiap ia menjual rongsokan haslnya selalu ia bagi dua, sebagian untuk ditabung dan jajan sekolah dan sebagian sisanya ia berikan kepada ibunya untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga.

Meski tak seberapa, ia berharap dapat membantu kebutuhan keluarga. Ia menyadari perjalanannya masih panjang, masih ada dua adik yang butuh biaya untuk sekolah. ”Adik saya masih kelas 1 SD, yang bungsu belum sekolah,” ujar Angga sambil memecahkan botol-botol beling sebelum ia jual.
Berbeda dengan Reni Triani (12), seorang gadis belia yang putus sekolah sejak lima tahun lalu. Kini,  setiap hari ia membantu ayahnya, Imronsyah mencari rongsokan di TPA Sampah. Bersama ratusan orang lainnya, ia berebut mencari gelas plastik, kaleng, kertas dan barang bekas lainnya yang masih bisa dijual. Menjadi pemulung sudah ia lakoni sejak ia putus sekolah.  Reni kerap mengajak silviana (5) adik bungsunya. Tak ada yang menjaga Silvi  bila ditinggal di rumah. Silvi, hanya menunggu di gubuk pinggiran tempat pembuangan tersebut.

Reni tak hanya mengambil barang bekas, ia juga mengambil sayur-sayuran seperti sawi, daun singkong, pare, kecambah, tahu dan bumbu masak lainnya yang menurutnya masih layak. Sayuran tersebut ia bawa pulang atau terkadang ia berikan kepada Imronsyah untuk dimasak ketika Bapaknya ia menginap tempat pembuangan.

Sama dengan Angga, Reni tak pernah malu dengan profesi yang ia lakoni sekarang. Ia tak takut kotor dan bau. “Kalau kotor tinggal cuci tangan sama mandi, nantikan bersih lagi,” tukas Reni yang mempunyai lima saudara tiri.
Perekonomian yang semakin lemah membuat Reni harus membantu ke dua orang tuanya. Dulu sebelum emaknya sakit, emaknya sempat berjualan pecel di tempat pembuangan ini. Namun sayang, hanya bertahan satu tahun. “Berhenti karena bangkrut diutang-utangin terus, setelah itu jatuh sakit,” kenang Reni.
Awalnya ayah Reni, bekerja sebagai pemecah batu di Tanjung Karang. Setelah menikah dengan Emaknya, ia beralih profesi menjadi pemulung. Hasilnya pun tak banyak, perbulan keluarga ini hanya mendapat 100 sampai 200 ribu untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.

Reni hanya mengenyam bangku sekolah hingga kelas 2 SD, ia masih bermimpi bisa melanjutkan sekolah. Kerap kali ia merengek kepada emaknya “Mak, pengen sekolah.” Jawaban dari emaknya selalu sama, “Ya, nanti disekolahin”. Melihat kondisi emaknya yang sakit sejak setahun lalu, terbaring lemah di tempat tidur akibat penyakit maag kronis yang diderita, Reni telah mengubur impiannya menjadi seorang dokter.

Reni acap kali sedih melihat teman-teman sebayanya mengenakan seragam, siap berangkat sekolah. Sedangkan Ia pagi-pagi harus menyiapkan gancu dan kerancang bambu. Ia sadar, orang tuanya tidak memiliki cukup uang untuk membeli seragam sekolah dan buku-buku pelajaran, meski sebenarnya masuk sekolah itu gratis. Meski begitu Reni selalu memiliki harapan di setiap bulan puasa dan hari Raya, hari itu menjadi hari yang menyenangkan baginya, karena ia bisa mengantongi hingga 40 ribu hasil sumbangan orang-orang yang datang.

Panas terik siang itu, Selasa, (28/2) tak membuat seorang pemulung seperti Yani (45) menyerah. Meski keringat membanjiri wajahnya, ia terus mengayuh gancu untuk memilah-milah sampah. Sesekali ia memasukkan plastik, kertas, kardus, beling dan logam ke dalam keranjang bambu yang ia pikul.
Truk sampah hilir mudik memasuki kawasan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bakung, Teluk Betung Barat. Sebuah kendaraan berwarna kuning dipenuhi sampah

sayuran yang berasal dari pasar. Saat sampah ditumpahkan, Yani berlari, berebut dengan ratusan pemulung lainnya mengambil sayur-sayuran, bumbu atau apapun yang masih layak di makan bagi mereka. Saat Yani memilah-milah, ia menemukan jeroan ayam mentah yang dibungkus plastik bening, bergegas ia mengambilnya.
Takut jeroan ayamnya busuk bila dibiarkan sampai sore, ia bergegas menepi dari tumpukan sampah seluas 14 hektar itu dan meletakkan keranjangnya di dekat gubuk yang biasanya ia gunakan untuk berteduh dan beristirahat. Sesaat ia rebahkan badan, lalu mulai membersihkan jeroan ayam yang di dapat tadi dengan air derigen yang sudah dibawanya. Setelah dirasa bersih ia masukkan jeroan ayam tersebut ke dalam kaleng, merebusnya dengan sedikit tambahan garam. “Biar  pas sore sampai rumah masih segar, nggak busuk,” ungkap Ibu lima anak itu.

Selain jeroan ayam, biasanya Yani mengambil sayur-sayuran seperti kangkung, sawi,  kol, bumbu masak dan tak ketinggalan cabai, bawang, serta rampai. Buah-buahan pun tak jarang ia temukan seperti jeruk, rambutan dan apel.
Memakan makanan dari hasil mengambil di tempat pembuangan sampah tak pernah membuat Yani dan keluarganya sakit. Profesi sebagai pemulung sudah ia lakoni sejak 16 tahun lalu, ia tak pernah mengeluh sakit. “Ngambilinnya yang masih bagus, kalau sudah busuk jangan dimakan,” ujar Yani sambil sibuk memilah rongsokan.
Hampir semua pemulung di Bakung mendapat makanan untuk kebutuhan pokok seperti sayur-sayuran dan buah-buahan dari tempat pembuangan ini. Mereka jarang membeli kebutuhan pokok di pasar, karena truk pengakut sampah selalu membawa makanan untuk mereka.

Hal serupa juga diungkapkan Maryam (40), ia tak pernah mengeluh sakit meski ia sering mengambil makanan di tempat pembuangan. Maryam sengaja datang ke Bakung dari kampung halamannya Way Kanan untuk bekerja sebagai pemulung, ia diajak saudaranya sejak 7 tahun lalu. Hampir setiap hari ia mendapat makanan dari tumpukan sampah, siang itu (28/2) ia dapatkan setumpuk labu siam dan bawang merah. Bahkan ia sering mendapatkan sayuran seperti kangkung, sawi, kacang panjang dan kol.

“Nggak pernah sakit perut, kalau sakit atau teler sudah lama kita berhenti nggak ngambil makanan ini lagi,” tegas ibu delapan anak itu.
Maryam menambahkan, jika ingin mengambil makanan harus  dilihat terlebih dahulu, seperti roti dari supermarket apakah sudah kadaluarsa.  “Pinter-pinter kita saja, cari yang masih bagus jangan milih yang busuk,” ujar Maryam menimpali.

“Dapat yang gratis kan lumayan, ya walaupun keliatannya jorok kalau orang yang gak biasa,” tambahnya.
Berbeda dengan Siti (33) yang baru bekerja dua bulan sebagai pemulung, ia tidak diperbolehkan suaminya mengambil makanan dari tempat pembuangan. Tak ada alasan ataupun komentar dari suaminya, setiap Siti pulang dan memasak makanan dari hasil memulung, suaminya tak pernah menyentuh makanan tersebut. Berulang kali  hal tersebut terjadi membuat Siti malas mengambil makanan dari tumpukan sampah tersebut.
Namun, disaat kepepet Siti mau tak mau ia tetap mengambil makanan dari tempat ini. Tak jarang ia memasak dua jenis masakan yang berbeda. Sama dengan teman-teman pemulung lainnya, Siti tak merasa jijik.

Para pemulung tak hanya mengambil makanan dari tempat sampah, mereka sudah akrab dengan lalat-lalat yang tak mau kalah mengerumuni setiap makanan yang terbuka di tempat tersebut. Ratusan lalat menyerbu di mana ada makanan yang terlihat. Sering ketika mereka menyantap makan siang, ke dua tangan mereka ikut bekerja. Tangan kanan untuk makan dan tangan kiri mereka gunakan untuk menggibas-gibas lalat yang mengganggu.
Para pemulung membuka bekalnya masing-masing yang sengaja mereka bawa dari. Mereka makan bergerombol di gubuk-gubuk yang berjejer di sepanjang tepi pembuangan. Rasa lapar membuat mereka tak peduli bila harus berbagi dengan lalat-lalat hijau itu.

Menurut Dewi Sri Sumardilah, Ketua Jurusan Gizi Poltekes , bila dilihat dari nilai gizinya, sudah tentu makanan yang dikonsumsi para pemulung belum memenuhi kandungan gizi yang baik. Makanan yang memenuhi nilai gizi yang baik bila makanan tersebut mencukupi makanan gizi seimbang, seperti terpenuhinya karbohidrat yang berasal dari padi, jagung ataupun gandum, protein  hewani berasal dari telur dan susu, protein nabati berasal dari kacang-kacangan, dan mineral berasal sayur-sayuran dan buah-buahan.

Dewi menambahkan, makanan yang ada di tempat pembuangan bisa dikatakan sudah tidak layak dikonsumsi. Ditinjau dari teori makanan, bila makanan tidak sesuai dengan kondisinya maka sudah tidak layak dikonsumsi. Contohnya bisa dilihat dari fisik makanan yang sudah berubah warna, bau dan rasanya maka nilai gizinya sudah menurun dan seharusnya jangan dikonsumsi.   “Misal tekstur awalnya kenyal jadi lembek, warnanya berubah dari yang awalnya kuning jadi kemerah-merahan, baunya juga sudah tidak sedap,” tegas wanita 49 tahun ini.

Selain itu, mengambil buah-buahan di tempat pembuangan adalah pola makan  yang salah. Buah-buahan biasanya disuntik formalin, meskipun kadarnya sedikit. Contohnya saja jeruk paling lama bertahan seminggu, lima hari pun sudah jelek, tapi kalau di supermarket bisa sampai 2 minggu. Nah jeruk dari supermarket ini lari ke tempat pembuangan dan dikonsumsi para pemulung. Akan sangat berbahaya bila terus menerus dilakukan.

Lebih berbahaya lagi bila mengambil makanan yang mengandung kadar air tinggi, seperti ikan ataupun jeroan ayam. Seharusnya makanan yang kadar airnya tinggi disimpan pada suhu di bawah 10oC, bila dalam waktu lebih dari 5 jam di biarkan dalam suhu kamar atau tempat terbuka sudah pasti ada bakteri atau mikroba yang dapat menyebabkan penyakit. “Memang secara kasat mata bersih, tapi itu sudah terkontaminasi,” tegas Dewi.
Setiap orang memiliki daya tahan tubuh yang berbeda-beda, namun bila terus mengonsumsi makanan-makanan yang sudah tidak layak biasanya daya tahan tubuh akan menurun. Efek sampingnya baru terlihat 10 sampai  20 tahun yang akan datang, seperti terkena kanker, jantung dan hipertensi. Efek samping yang langsung biasanya muntah ataupun diare.
Menurut Dwi, bila alasan para pemulung adalah kebutuhan ekonomi, tidak bisa dicegah. Ia hanya menyarankan untuk lebih teliti memilih makanan seperti jangan memakan makanan kadaluarsa.

Laporan: Rukuan Sujuda

Exit mobile version