Disiplin, Organisasi, dan Prestasi

Rudi Prawira
280 dibaca

teknokra.co: Kedisiplinan hal yang memang sulit bagi mahasiswa, tak jarang banyak mahasiswa mengeluh akan kedisiplinanya. “Bapaknya sangat disiplin,sampai-sampai ketika ia masuk kelas.

saya berada diposisi belakangnya, ketika kaki kanannya mulai bersentak malangkah untuk masuk pintu, saya pun masuk lalu dosenya bilang “sudah, lebih baik anda keluar belajar diluar dan anda tidak bisa mengikuti pelajaran saya” ujar Rifki Mahasiswa Hukum 2010 menggambarkan betapa disiplin dosenya itu.

Tak hanya Rifki yang merasakan hal itu, tak jarang rekanya juga merasakan hal yang sama. Rasa cemas pasti menyelimuti mahasiswa jika datang terlambat.

Walapun sulit menerapkan disiplin kepada mahasiswa, namun tak membuatnya patah arang. Itulah yang selalu diteerapkan dosen Fakultas Hukum berdana Rudi Prawira. Sejak menjadi dosen Hukum Perdata 2003 silam tak hanya disiplin yang ia ajarkan kepada mahasiswa, tetapi juga ayah satu anak ini senantiasa memotivasi mahasiswanya. Ia nampaknya paham ketika mahasiswa mulai jenuh, bosan dan mengantuk dalam pembelajaran yang ceramah. Saai itu Rudi mulai bercerita dan memberikan dorongan supaya bisa menjadi mahasiswa yang aktif juga bisa menjadi agent perubahan

Organisasi dan Prestasi

Memiliki ayah seorang jaksa dan Ibu berprofesi sebagai guru membuat Rudy harus disiplin sesuai yang diajarkan keuda orangtuanya. Setiap hari ia dan kelima saudaranya bangun pagi lalu menimba air dan menyemir sepatu. Tak hanya itu, sebelum berangkat sekolah harus membantu pekerjaan rumah terlebih dahulu. “Sejak kecil saya diajarkan disiplin, mulai dari hal kecil seperti bangun tidur. Karena kunci dari kesuksesan adalah disiplin,” ujarnya.

Memasuki bangku Sekolah Dasar, pria yang suka fotografer ini selalu menerapkan disiplin, tak terkecuali dalam belajar. Tak heran ia diterima di SMP Negeri 2 yang termasuk salah satu sekolah terbaik di Bandarlampung. Sejak saat itu kemampuan Rudi mulai terlihat, bukan hanya dibidang akademik saja. Terbukti ia mewakili Lampung di ajang lomba Pedoman Pendidikan dan Pengamalan Pancasila yang diadakan di Jakarta.

Ia juga aktif mengikuti berbagai organisasi di sekolah salah satunya Pramuka, pada tahun 1994 pria kelahiran Lampung ini menjadi utusan Lampung untuk mengikuti Lom-ba Cepat Tepat (LCT) dan memperoleh juara satu dengan rekor tak terkalahkan 10 kali menang di kompetisi yang sama.

Bebekal berbagai prestasi ia mencoba mendaftar SMA Negeri 2, ia pun diterima sesuai dengan yang ia inginkan. Ketika SMA ia terus meraih prestasi dan aktif diberbagai oraganisasi dan diamanahkan sebagai Ketua Karya Ilmiah Remaja (KIR) serta memperoleh Juara 1 dalam lomba karya ilmiah tingkat provinsi. Organisasi Rohani Islam juga ia ikuti hingga kelas 3.

Akhirnya ia pun mendapat beasiswa jalur undangan yang disediakan oleh Pemerintah bagi siswa yang berprestasi untuk biasa kuliah tanpa test di perguruan tinggi negeri. Ketika itu ada 1 pilihan saja, Rudi memilih Universitas Indonesia. “Walau kuliah luar Lampung, saya selalu ingat pesan orangtua selesai kuliah kembali ke Lampung untuk mengabdi, tanah Tampung tempat saya dilahirkan,” kata Rudi.

Keinginanya kuliah telah tercapai, ia mulai beradaptasi dengan rekan-rekanya dari berbagai provinsi, walau sibuk kuliah organisasi tak bisa hilang dari benaknya, sering kali ia mendengar perkataan dosen yang mengajarnya bahwa kuliah adalah hal utama.”Tugas utama mahasiswa itu hanya kuliah cepat dari S1 lanjut S2. Karena target orang tua kamu itu belajar dan kuliah bukan organisai,” ujar Rudi menirukan ucapan dosenya.

Tetapi hal tersebut tak membuatnya berhenti untuk aktif berorganisasi, menurutnya organisasi.

Sejak awal kuliah Rudy mulai membagi waktu antara akademik dan organisasi. Ia aktif dalam Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan menjabat ketua kajian hukum. Asean Law Student Association .

Organisasi tak menjadi penghalangnya untuk meraih akademik, terbukti dalam kurun waktu tiga tahun enam bulan ia bisa wisuda. Tak hanya itu, ia juga menjadi lulusan terbaik meraih comloude. “Alangkah bangga ketika ia dipanggil menjadi lulusan terbaik. Inilah jerih payah selama saya kuliah,” terangnya.

Setelah bergelar sarjana ia menjadi asisten dosen di UI dan sempat menjadi seorang lawyer, tetapi tak bertahan lama karena Rudi mengundurkan diri karena menganggap lawyer hanya bisa bicara dan menang karena uang. “Saat itu saya pernah membela klien saya, lalu saya diminta menyiapkan uang sebesar 100 juta oleh kejaksaan supaya hukumanya ringan. Jadi saya memutuskan mengundurkan diri menjadi lawyer,” terang Rudi mengingat pengalaman buruknya itu.

2 tahun ayah satu anak ini mencoba bekerja di Jakarta, di tahun 2003 keinginanya untuk mengabdi di Lampung tercapai. Ia diterima menjadi dosen Hukum Tata Negara Unila.

Du tahun berselang ia mendapat beasiswa S3 dari Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti), saat itu ia merasa tidak percaya bisa mendapatkan beasiswa ke Jepang terlebih lagi hanya ada empat orang saja perwakilan dari Indonesia yang mendapatkan beasiswa tersebut. ”Saat ada pengumuman saya mendapatkan beasiswa di Jepang saya sempat kaget dan terharu, dahulu untuk mencapai S1 saja Alhamdulillah. Ini mendapat beasiswa S2 ke jepang lagi,” tuturnya tak percaya

Mengambil gelar magister bukan hal yang mudah seperti membalikkan telapak tangan, Rudy harus berusaha bersaing dengan rekan-rekanya yang ada di Jepang. Ia juga aktif di organisasi Persatuan Pelajar Indonesia (PPI).

2007 ia lulus, selama dua tahun lamanya ia menempuh gelar magister.Tidak lama dari kelulusannya dari master of law. Tahun 2008 ia pun mendapat beasiswa kembali untuk bisa mengambil gelar doktor. Pria berusia 32 tahun ini langsung mengambil kesempatan untuk kembali pendidikan di Negeri Sakura. “Saat kuliah S3 saya sempat cuti untuk pulang ke Indonesia karena ayah saya meninggal, saat itu saya ingin melihat jasadnya. Saya pun memutuskan untuk cuti,” ujar Rudi.

Kejadian tersebut membuatnya semakin termotivasi untuk terus belajar, dua tahun di Jepang ia sudah meraih gelar doktor di usia kurang dari 30 tahun. “Terus lah menuntut ilmu selagi kesempatan itu ada,” tuturnya.

Menurut sang istri Martina Anggi Silova, Rudi adalah sosok yang bisa membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga. “Pak Rudy itu perhatian, ia juga biasa mengurus anak. Ketik mengerjakan desertasi, anak kami Haruka rewel dan nangis, ia pun mengajaknya mengerjakan desertasi,” ujar Anggi.

Laporan: Adi Nursalim

Exit mobile version