“Dung..tak..dung..tak..tak..tak”
teknokra.co: Begitulah Maria Destirita menirukan suara gendang ditabuh, tujuh orang yang berdiri rapih di depannya pun mulai bergerak mengikuti tiap ketukan irama yang Maria buat, sembari mencontohkan gerakan tari Saman yang sedang mereka pelajari.
Tapi ada yang berbeda dari murid-muridnya itu, mereka bukan memerhatikan gerakan yang dicontohkan Maria, melainkan fokus pada aba-aba yang diberikannya. Saat Ia bilang dung maka murid-muridnya melakukan satu gerakan tari, dan satu gerakan tari lainnya ketika ia bilang tak. Katanya itu semua merupakan aba-aba yang dipakai agar murid-muridnya tersebut bisa mengikuti dan menghapal tiap gerakannya, karena Enam orang dari Tujuh muridnya tersebut adalah tuna netra.
Melatih tari Saman bagi para tuna netra di Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Dinas Sosial, Kemiling, kini menjadi rutinitas mingguan mahasiswi Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) angkatan 2012 Universitas Lampung ini. Semua itu bermula dari Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) yang ia gagas bersama dua rekannya yang juga berasal dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidika (FKIP) Unila.
“Awalnya saya dengan teman-teman mikir kayak gini, enak kali ya kalo liat mereka yang tuna netra yang bernyanyi di TV-TV itu gak cuman gerak kekanan kekiri tapi juga dapat berlenggak lenggok mengikuti para dancer yang mengiringinya,” ujarnya.
Di lingkungan tempat tinggal Maria di daerah Kemiling, banyak penyandang tuna netra. Kerap kali mereka bekerja tak kenal waktu. Siang hari mereka menjadi tukang pijat, sedang malam harinya mereka menjadi pengamen di tempat-tempat umum, seperti di Museum Lampung. Ia pun mulai memerhatikan kehidupan para tuna netra tersebut, dan muncullah kepeduliannya untuk memberikan harapan baru.
Hingga satu siang, Maria melintasi UPTD Dinas Sosial, ada hal lain yang menarik pandangan Maria. “Tukang pijat tuna netra, penjahit tuna netra dan rental tuna netra” tertulis di papan kayu yang dipasang tepat di gerbang dinas sosial itu. Dari situ Maria tahu bahwa dinas sosial itu menampung sekitar 40 penyandang difabel yang sebagian besar tuna netra, hal tersebut semakin membuatnya mantap untuk membuat PKM Pengabdian masyarakat.
Tak mencoba banting stir dari latar belakangnya sebagai anggota Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKMBS), keahliannya dalam menari ia gunakan untuk mengajari para tuna netra menari. Proposal PKM yang ia susun bersama dua orang rekannya itu pun disetujui dan didanai sebesar 6,5 juta rupiah.
Mereka mengajar menari setiap Jumat dan Minggu. Mahasiswi dengan Indek Prestasi Kumulatif (IPK) 3,20 ini pun sering menjadi tempat curhat bagi para muridnya, mulai dari masalah sekolah, pacaran, dan masalah pribadi lainnya. Kedekatan emosional yang sudah terjalin tersebut membuat Maria tak pernah putus asa walaupun sempat ditinggal pergi kedua rekannya. Ia pun langsung mencari dua temannya yang lain untuk bergabung bersamanya mengajar.
Tantangan yang harus dihadapinya tak hanya disitu, ia pun harus dihadapkan banyak muridnya yang berhenti menari bukan karena mereka tidak suka menari, tapi mereka merasa tak sanggup dengan keterbatasan yang mereka miliki. Untuk mengatasinya ia pun mengajak temannya, Agung untuk memotivasi para muridnya. Hal itu pun berhasil.
Sayangnya, Maria masih harus menghadapi anak didiknya yang merupakan Slow Learner. sehingga perlu waktu berulang kali dan kesabaran yang tinggi untuk mengajari mereka. Salah satunya Tia (24). Ia sering kali pusing jika mendapatkan materi tari yang rumit. Padahal, tari tradisional Aceh itu sengaja dipilih agar tidak terlalu banyak gerakan pindah tempat yang justru menyulitkan mereka. Tetap saja ia kesulitan belajar, bahkan di Sekolah ia kerap kali menyerah dan tidak mau melanjutkannya lagi.
Tapi bukan tanpa hasil, Dua bulan berjalan, kerja keras dan waktu yang dihabiskan Maria mulai terlihat. Setidaknya dari 20 peserta yang ikut di awal, kini ada 14 peserta yang aktif datang dan menunjukkan progresnya. Satu persatu gerakan tari Saman mereka dikuasai, meski masih terbata-bata. Sejak Februari 2015 lalu, program Maria mulai berjalan, namun ada banyak kekhawatiran muncul dalam benaknya. Karena bulan Mei, program PKM-nya harus berakhir. Di lain sisi, pihak Dinas Sosial meminta Maria untuk melanjutkan pelatihannya dan membuat mereka tampil di bulan Desember nanti, dalam acara peringatan hari cacat se-dunia. Hal tersebut benar-benar membuatnya gamang, karena ia juga harus mulai menyusun skripsinya.
Maria tetap berharap agar pemerintah dan pihak Dinas Sosial dapat meneruskan programnya, memberikan fasilitas dan tentunya secara konsisten memberikan keterampilan bagi para penyandang difabilitas. Bahkan jika memungkinkan, ia berharap ada sanggar tuna netra. Ia ingin menunjukkan bahwa penyandang tuna netra juga mampu bersaing dan berkemampuan layaknya orang lain.
Laporan: Wawan Taryanto