Subak, Menghidupkan Kembali Hutan Mangrove

Subak dan Mangrove
299 dibaca
Saat pertama kali menanam mangrove, Subak hanya ingin melindungi warga desanya dari ombak besar. Kemampuannya menggerakkan kepedulian warga pada lingkungan mampu menghidupkan kembali hutan mangrove yang sempat mati suri.
Saat pertama kali menanam mangrove, Subak hanya ingin melindungi warga desanya dari ombak besar. Kemampuannya menggerakkan kepedulian warga pada lingkungan mampu menghidupkan kembali hutan mangrove yang sempat mati suri.

teknokra.co: Siang itu Sabtu (15/06) matahari bertengger di atas kepala. Udara Lampung timur yang sedikit panas terasa di ubun-ubun kepala.

Perjalanan dari Desa Karya Tani menuju Desa Margasari, Kecamatan Labuhan Maringgai terasa lebih sulit saat melewati jalan berlubang. Sisa-sisa aspal yang menempel di tanah menyebabkan jalanan tidak rata. Debu yang berhamburan di sepanjang  jalan juga kian menambah suasana tak nyaman.

Namun, suasana berubah saat memasuki Desa Margasari. Deretan pohon mangrove berjajar rapi di sepanjang jalan yang berbatasan langsung dengan laut. Burung pantai berwarna putih hinggap di pucuk pohon yang menjulang tinggi.

Tepat di kanan jalan, sebuah rumah bercat hijau berdiri kokoh. Rumah ini milik salah seorang warga bernama Subak. Warga sekitar mengenal akrab sosok lelaki keturunan jawa ini. Bukan tanpa alasan, Subak diketahui sebagai sosok yang peduli lingkungan.

Siang itu, Subak tak melaut lantaran ombak yang cukup besar. Di ruang tamu yang sederhana itu, sebuah almari kaca tembus pandang berdiri di sudut ruangan. Beberapa piagam penghargaan dan piala yang ia peroleh terpajang rapi sebagai hasil kerja kerasnya.

Kepeduliannya terhadap tanaman mangrove dimulai sejak tahun 1993. Saat itu, kawasan hutan mangrove di Desa Margasari lumpuh total. Suara deburan ombak terdengar jelas dari rumah warga. Tidak adanya pengahalang ombak laut ke rumah warga menyebabkan bahaya bisa datang kapan pun. Keadaan itulah yang membuat hatinya miris. Bersama Almarhum Sukimin yang saat itu menjabat sebagai Kepala Desa, Subak mulai menanam mangrove. Ia mengajak warga lain untuk ikut bergotong royong. “Saya hanya ingin melindungi masyarakat,” ujarnya mengenang.

Sekitar empat puluh warga ikut membantunya menanam bibit api-apian setiap hari Jum’at. Bibit tersebut dibeli dari iuran warga. Sosoknya yang mampu merangkul warga membuat Subak dipercaya sebagai pamong desa. Kegiatan menanam mangrove itu rutin dilakukan hingga satu tahun. Kesungguhan warga melestarikan lingkungan mendapat jawaban alam. Bibit api-apian yang ditanam warga menjelma menjadi pohon mangrove yang tumbuh subur. Subak dan warga desa lainnya kian semangat menanam mangrove. Bantuan bibit yang diberikan oleh pemerintah Provinsi Lampung tahun 1997 hingga tahun 2000 juga sangat membantu warga. Pemerintah kabupaten juga ikut membantu pemberian bibit mangrove.

Meningkatkan Potensi Daerah

Awalnya, Subak hanya ingin melindungi masyarakat desanya. Tak disangka, aktivitas rutin menanam mangrove ini membuat tanaman-tanaman ini meluas menjadi hutan yang luasnya berhektar-hektar. Hutan mangrove di Desa Margasari tak hanya melindungi masyarakat, kini hutan tersebut juga memberikan dampak ekonomi yang baik. Hutan mangrove membuat banyak kepiting dapat hidup dan berkembang biak dengan baik. Berbagai jenis ikan seperti ikan sidat yang mahal harganya juga dapat hidup di perairan sekitar hutan.

Selain mengundang banyak kepiting dan ikan, hutan ini juga membuat banyak mahasiswa dan peneliti sering berkunjung ke desanya. Pimpinan Universitas Lampung bahkan pernah sengaja ke rumahnya untuk berbincang mengenai kondisi dan perkembangan hutan mangrove. Peneliti lokal dan luar negeri juga kerap melakukan penelitian. Setiap peneliti yang hendak datang ke hutan mangrove diminta mengisi daftar buku tamu yang ada di rumah Subak. Dari daftar buku tamu itu, beberapa peneliti dari Universitas Saga  pernah singgah di desanya.

Mendapat Penghargaan Kalpataru

Saat itu tahun 2011, ketika seorang petugas dari kabupaten mendatangi rumahnya. Subak diminta memberikan biodata diri. Ia tak tahu kalau dirinya hendak didaftarkan sebagai nominasi Kalpataru. Tak lama berselang, sang kepala desa mendatanginya. Ia diajak ke Bandar Lampung karena terpilih sebagai peraih Kalpataru tahun 2011. Bersama sang kepala desa dan dua kawannya, Subak berangkat menggunakan sepeda motor.

Perasaan canggung sempat ia rasakan saat menghadiri malam penghargaan di Hotel Sheraton, Bandar Lampung. Sosoknya yang pendiam dan terkesan pemalu ini tak mengira akan mendapat piala Kalapataru. “Saya enggak nyangka mbak, wong orang- orang sekitar itu isinya para pejabat, sedangkan saya kan hanya orang desa,” ujar Subak dengan logat jawanya.

Sebuah piala Kalpataru, piagam penghargaan, dan uang pembinaan sebesar 1 juta rupiah ia terima dari Gubernur Lampung saat itu, Scharuddin Z.P. Uang tersebut tak ia nikmati sendiri, Subak juga membaginya kepada kepala desa dan dua rekan yang menemaninya.

Tak hanya mendapat penghargaan Kalpataru, ia juga terpilih sebagai kader lingkungan oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Pencapaian ini ia peroleh karena kecintaannya terhadap lingkungan. “Saya akan terus menanam bakau, biar jadi hutan yang luas,” ujar Subak.

Dipercaya Sebagai Penjaga Hutan

Sebagai nelayan yang hanya lulusan SD, Subak juga memiki kemampuan bertani. Kemampuan itu ia peroleh ketika dirinya masih di Cilacap dari berbagai pelatihan dan pengalaman. Ia kemudian ikut bertransmigrasi bersama orang tuanya ke Lampung timur. Di sinilah ia menemukan jodohnya, Poniyem. Istrinya memilih Sobak karena sosoknya yang pekerja keras dan bertanggung jawab.

Subak selalu berangkat pagi dengan membawa beberapa bibit pohon mangrove untuk ditanam. Ia sudah mahir menyemai bibit sendiri. Pekerjaan itu ia lakukan disela-sela pekerjannya mencari ikan. Nafkah untuk keluarganya ia peroleh dari hasil menangkap ikan yang kemudian ia jual. Setiap hari, Subak biasanya dapat mengumpulkan uang Rp 30-40 ribu. Penghasilan itu cukup memenuhi kebutuhan keluarganya sehari-hari.

Kini, Subak dipercaya sebagai Pam Suakarsa atau penjaga hutan lindung mangrove. Sebagai Pam Suakarsa, Subak memiliki kewajiban untuk menjaga tanaman mangrove dari oknum yang tidak bertanggungjawab. Pernah suatu kali, ada seorang warga mengambil kayu mangrove yang jatuh. Demi memunculkan efek jera, warga tersebut sempat dilaporkan ke kantor polisi, namun pihak kepolisian menyerahkannya untuk dimusyawarhkan pada tingkat Desa. Sejak saat itu, tak ada lagi warga yang berani mengambil pohon mangrove.

Subak juga sering dikirim untuk mengikuti pelatihan dari tingkat kabupaten hingga propivinsi. Ilmu yang ia peroleh kemudian ia ajarkan ke masyarakat yang sekitar saat ada perkumpulan atau pembinaan desa. Saat ini, Indonesia memiliki tiga titik hutan mangrove yang sering digunakan untuk penelitian dan pengembangan, yakni di daerah Surabaya, Aceh, dan Lampung. Dari ketiga daerah tersebut, hanya Lampung yang daerah mangrovenya mendapat perawatan paling baik dari masyarakat. Bukti ini menjadi cermin ketekunan Subak dan warga Desa Margasari.

Profil

  • Nama                : Subak
  • Istri                   : Poniyem
  • TTL                   : Cilacap, 4 Mei 1960
  • Pekerjaan          : Nelayan dan Petani
  • Alamat              : Desa Margasari Kec. Labuhan Maringgai Kab. Lampung Timur
  • Prestasi             :
  1. Teladan III tingkat Kabupaten sebagai kelompoik Tani penghijauan teladan 2010
  2. Kader Lingkungan dari Kementrian Negara Lingkungan Hidup 2011
  3. Kalpataru 2011 Tingkat Provinsi

Laporan : Khorik Istiana

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

13 + five =