Dhanar Memotret Dengan Satu Tangan

Foto: Repro Internet
323 dibaca
Foto: Repro Internet
Foto: Repro Internet

teknokra.co : Terik matahari kian menyengat, namun tidak membuat pemuda berusia 23 tahun ini menyerah mendaki bukit yang tingginya mencapai 2151 meter. Bagi pemuda biasa mungkin hal yang mudah,

namun bagi Dhanar Aditya Nugraha ia harus mencapai puncak dengan menggunakan satu tangannya. Belum lagi ia harus menenteng kamera DSLR yang beratnya lumayan. Sebenarnya bukit itu dapat didaki dengan mudah jika ia mengendarai motor namun sayang jangankan mengendarai  motor untuk menulis pun sulit ia lakukan. Karena tangan kanannya patah.

Bukan tanpa tujuan ia mendaki bukit yang kian gundul itu, ia ingin mendapatkan foto yang bagus agar memenangkan perlombaan fotografi yang diadakan oleh salah satu organisasi di Unila. Awalnya ia ingin mengambil gambar di Tempat Pembuangan Sampah di Bakung, namun ia tak tahan dengan aroma sedap sampah yang menggunung di daerah teluk itu.

Hingga ia mempunyai ide mengambil gambar aktivitas tukang gali batu di Bukit Kunyit. Sesampai disana Dhanar memandang sekeliling mencari objek yang pas. Beberapa saat kemudian sebuah batu besar hendak menggelinding ke bawah, Dhanar pun tak menyianyiakan kesempatan emasnya mendapat foto yang bagus. Dikeluarkan kamera dari tas kecilnya, lalu ia genggam dengan tangan kirinya. Akhirnya ia berhasil mendapat foto yang sesuai ia inginkan dan tak tanggung-tanggung ia menjadi pemenang dalam lomba foto tersebut.

Dulu Aku Tak Begini

Sebelum tangannya patah Dhanar superaktif, segudang aktivitas ia tekuni. Breakdance, Band, hingga menjadi DJ, ia lakoni. Meski begitu ia tetap berprestasi dalam bidang akademik, ia menggapai prestasi peringkat ke dua ujian nasional di sekolah dasarnya. Belasan trophy pun berhasil ia kumpulkan.  Namun sayang kini mengikat tali sepatupun Dhanar tak mampu.

Berawal dari  kegilaannya pada futsal, jika sudah bermain futsal ia akan lupa diri. Hingga pada November 2004 sang kapten futsal ini terjatuh saat main. Dhanar pikir itu kecelakaan kecil, dan tangan yang patah bisa cepat sembuh. Ia pun tak langsung ke rumah sakit melainkan pengobatan alternative.

Namun kenyataan yang diterima berbeda dengan apa yang diharapkan. Tangan Kanan Dhanar malah tambah parah, ia pun lari ke rumah sakit. Namun hasil tetap nihil, bukan kesembuhan yang ia dapat justru Dhanar harus

Dokter  mengatakan tangan Dhanar mengalami pembekuan darah. Ia harus diopname selama tiga hari, namun dokter yang dari awal memeriksanya jarang berkonsultasi dengan pihak keluarga sehingga ia dan keluarganya merasa pelayanan yang ada  di RS tersebut tidak memuaskan.

Akhirnya ia kembali lagi pada pengobatan alternatif tetapi berbeda dari tempat sebelumnya, atas rekomendasi keluarganya kali ini ia dibawa pada pengobatan alternatif yang berada di Gedung Tataan.

Selama lima bulan ia menjalani pengobatan alternatif  itu. Saat itu adalah awal penderitaannya. Ia merasa sakit yang luar biasa ketika setiap pagi darah beku pada tangan yang patah harus dikuras. Darah yang mengucur saat itu  ibarat memotong seekor ayam.

Saat itu Dhanar merasa kehidupannya terbalik. Jangankan aktivitas segudang sekolah pun ia tak mampu. Sekolah udah nggak aku pikirin, yang terpenting sekarang  gimana bisa sembuh,” harap Dhanar kala itu. Si super aktif hanya bisa terbaring di tempat tidur dan membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya.Belum lagi perasaan sepi yang hinggap setiap waktu. Berada dipinggiran hutan dan jauh dari keramaian, ia hanya bisa menatap puluhan pohon kepala sembari berbaring melalui jendela kecil yang terbuat dari triplek.

Tak kunjung mendapat kesembuhan pada pengobatan alternatif yang kedua kalinya, Dhanar pun dibawa dan dirawat di rumah selama satu minggu. Ia merasa senang bisa berkumpul kembali dengan keluarganya.

Mal Praktek Menambah Kecacatanku

Harapan kecil itu masih ada. Keluarga Dhanar selalu menyemangatinya untuk sembuh. Mereka kembali membawa Dhanar ke rumah sakit DKT. Ia  menjalani operasi pemasangan pen, sebuah besi lancip seperti anak panah yang di bor ke tulang,dan berfungsi sebagai penjepit.

Rasa sakit akibat pemasangan pen pun ia tahan, lagi-lagi ini demi kesembuhan. Alhasil, dengan pemasangan pen tersebut ia dapat melakukan aktivitas kendati masih terbatas dan bisa pulang ke Rumah dengan harapan sembuh total.

Namun sayang harapan pun sirna, tangan kanan Dhanar tak kunjung sembuh. Ia pun berganti rumah sakit. Ia merontgen tangannya di rumah sakit Advent. Sang dokter menyatakan Dhanar korban mal praktek, karena susunan tulangnya menjadi berantakan.

Malam harinya ia dibawa ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, saat itu usianya baru 16 tahun. Ketika sampai disana dokter mengajaknya untuk berbicara empat mata, lalu memberinya dua pilihan yakni operasi lagi diganti tangan palsu atau disembuhkan dengan resiko jari-jarinya tak dapat digerakan lagi.

Dua pilihan yang menurutnya berat, Dhanar mengaku lelah menjalani semuanya, keinginannya adalah berhenti berobat dan menunggu keajaiban datang.Ia memilih melakukan operasi ke dua yaitu penggatian pen  dan pencangkokan tulang pinggang. Itu artinya tulang pinggang diambil sedikit untuk dipindahkan ketangan. Seminggu setelahnya ia dianjurkan dokter untuk melakukan operasi yang ketiga yakni penggeseran pen.

Biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan tidaklah sedikit, belum lagi obat yang harus diminum setiap harinya, 21 butir pil harus ia telan setiap hari. Mengkonsumsi obat selama kurang lebih 1,5 tahun membuatnya hampir overdosis, sehingga  pendengaran pada telinga kirinya berkurang.

Akibat pendengaran yang kurang berfungsi Dhanar kesulitan dalam mengikuti perkuliahan. Apalagi mata kuliah listening karena itu berhubungan dengan pendengaran. bila ada mata kuliah yang tidak dipahami ia meminta bantuan kepada teman jurusannya, terkadang ia juga menggunakan internet untuk mencari materi–materi yang belum dimengerti. “Saya merasa kesulitan dalam menangkap pelajaran yang tidak saya sukai. Tetapi sejauh ini saya bisa menyelesaikan berbagai tugas kuliah saya secara mandiri,” tutur Dhanar.

Disisi lain Dhanar harus menerima kenyataan bahwa sakitnya belum sembuh. Dan terkadang hati kecilnya berkecamuk ini semua tak adil dan kenyataan pahit itu harus ia telan. Namun hanya kepada sang pencipta ia dapat tenang bila malam tiba ia sempatkan untuk salat tahajud memohon kesembuhan

Aku Tak Boleh Minder

Siapa bilang cacat tak bisa berprestasi hal itulah yang dibuktikan oleh lulusan SMA Negeri 1 Bandar Lampung ini. Meski kesulitan mendengar dan menulis Dhanar mampu lulus program diploma satu di perguruan tinggi swasta dan kini ia mengenyam pendidikan di program studi Bahasa dan Sastra Indonesia di Unila.

Kekurangan yang ada pada dirinya mengharuskan ia belajar keras untuk memahami pelajaran. Namun ia juga memiliki teknik belajar sendiri yang menurutnya efektif, yakni dengan sering  membaca buku. ”Saya membaca judul dan subjudul yang sedang dibahas dan mengambil kesimpulan dari bacaan tersebut dan alhamdulillah itu cukup efektif untuk memahami pelajaran-pelajaran tersebut,”tuturnya.

Kecintaannya pada sastra pun membuahkan hasil yang positif, banyak karya-karya yang telah ia hasilkan. Mulai dari menulis cerpen, puisi, novel hingga fotografer dan perfilman. Karya-karya tersebut sudah banyak dimuat dalam surat kabar harian seperti Radar Lampung , Tribun, hingga Kompas.

Tidak hanya itu, Dhanar juga mengajar les privat untuk semua mata pelajaran SD, serta membimbing model-model yang berjumlah hampir 250 orang untuk disalurkan pada beberapa surat kabar yang membutuhkan model.

Tidak puas menjadi penulis dan fotografer, Dhanar pun mencoba hal baru, ia terjun pada dunia perfilman sebagai sutradara.Ke tiga film yang ia sutradarai ini pun telah berhasil dirintis dan ditayangkan oleh Tegar TV.

Film yang pertama berjudul Setengah Hari Saja dan Seandainya Kau Tahu yang ia produksi bersama teman-temanya di Metamorphosis Creative Community. Film yang terakhir berjudul Khayalan Pojok Kelas bekerja sama dengan Dinas Pekerjaan Umum dan SMA Negeri 1 Gadingrejo. Sekarang ia tengah menyiapkan dua film lagi untuk diikutsertakan dalam Festival Film Indie 2012.

Kesibukan Dhanar saat ini membuat ia harus bekerja ekstra, Dhanar mengaku saat ini ia cukup kesulitan dalam membagi waktu, apalagi jadwal bekerja kebanyakan diluar kampus, tidak banyak waktu luang  yang ia gunakan untuk beristirahat, bahkan bila ada jam kosong pada mata kuliah tertentu ia gunakan untuk menyelesaikan pekerjaannya, misalnya saja editing foto dan video.

Dari hasil kerja keras tersebut Dhanar memperoleh keuntungan sekitar satu juta perminggu. Uang itu ia gunakan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari sehingga ia tidak perlu meminta lagi kepada orang tuanya. Dhanar mengaku bangga dengan keadaannya saat ini. Ia tidak pernah minder meskipun ia berbeda dari orang lain. Keadaan yang demikian justru membuatnya lebih sabar.

Laporan: Desfi Dian Mustika

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

two × two =