Teknokra.co : Aksi Kamisan Lampung menggelar aksi bertajuk “Tolak Pengesahan R-KUHAP” di Tugu Adipura, Bandar Lampung, pada Kamis (31/7). Aksi ini dihadiri sekitar 20 peserta dari kalangan mahasiswa dan menghadirkan Refi Meidiantama, akademisi Fakultas Hukum (FH) Universitas Lampung (Unila).
Dalam aksi ini pada sesi kuliah jalanan, Refi menyoroti lemahnya prinsip check and balance dalam draf Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang sedang dibahas oleh Komisi III DPR RI. Ia menilai draf tersebut memberi kewenangan berlebihan kepada aparat penegak hukum.
“KUHAP ini menyangkut hajat hidup orang banyak. Jangan sampai kewenangan yang berlebih malah menjadi bumerang bagi para pembuatnya di kemudian hari,” ujarnya.
Refi juga mengungkapkan kekhawatiran atas bertambahnya jenis upaya paksa dalam RKUHAP dari lima menjadi sembilan, termasuk penyadapan, pemblokiran, dan pencekalan ke luar negeri. Menurutnya, hal ini memperluas ruang tindakan aparat tanpa pengawasan yang memadai.
“Semakin besar kewenangan, seharusnya semakin besar pula pengawasan. Tapi yang terjadi dalam RKUHAP ini justru sebaliknya,” tambahnya.
Selain itu, ia menyoroti adanya pasal yang memungkinkan tersangka menandatangani pernyataan untuk tidak didampingi advokat selama penyidikan. Hal ini, kata Refi, membuka peluang terjadinya intimidasi, penyiksaan, dan pemaksaan tanda tangan oleh aparat yang tidak bertanggung jawab.
“Kalau tersangka dipaksa menandatangani pernyataan tanpa pendampingan advokat, lalu siapa yang mengawasi? RKUHAP tidak mengatur ini,” ungkapnya.
Refi juga mengkritisi konsep restorative justice yang diterapkan pada tahap penyelidikan. Menurutnya, secara logika hukum, tahap penyelidikan belum memiliki kepastian mengenai tindak pidana, pelaku, dan kerugian.
“Kalau mau restorative justice, ya di tahap penyidikan. Harus jelas dulu tindak pidananya, siapa pelakunya, dan kerugiannya,” tegasnya.
Ia juga menyoroti tidak adanya perwakilan advokat maupun organisasi masyarakat sipil dalam Tim Perumus RKUHAP. Tim tersebut didominasi oleh institusi penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan Mahkamah Agung.
“Tiga dari kepolisian, tiga kejaksaan, tiga Mahkamah Agung, dan tiga dari masyarakat. Tapi dari advokat atau masyarakat sipil yang kritis terhadap kebijakan negara, tidak ada,” katanya.
Refi menegaskan bahwa revisi KUHAP yang tidak partisipatif dan minim pengawasan hanya akan melanggengkan praktik ketidakadilan.
“Kalau tetap dipaksakan, ini bukan pembaruan hukum, tapi kemunduran demokrasi. Kita bukan hanya bicara soal norma hukum, tapi soal nasib ribuan orang yang bisa dikriminalisasi tanpa perlindungan,” ujarnya.
Sementara itu, Raden Leo, mahasiswa Ilmu Pemerintahan Unila angkatan 2023, mengatakan keikutsertaannya dalam aksi dilandasi oleh keresahan atas banyaknya kasus pelanggaran HAM yang belum diselesaikan.
“Karena korban hilang tanpa keadilan. Di situ hati saya tergerak untuk ikut memperjuangkan hak-hak mereka,” ujarnya.
Ia juga mengkritik isi RKUHAP yang dinilai lebih buruk dari KUHAP sebelumnya karena membuka ruang penyalahgunaan wewenang.
“Isi RKUHAP banyak yang tidak menguntungkan masyarakat,” tambahnya.
Raden berharap pemerintah menghentikan revisi jika tidak ada koreksi substansial, karena menurutnya hal itu mencerminkan keberpihakan negara kepada pelaku pelanggaran.
“Kalau revisi ini dilanjutkan tanpa koreksi, artinya negara tidak berpihak pada korban,” tegasnya.
Ia juga mengajak masyarakat Lampung untuk lebih peduli terhadap isu HAM dan keadilan serta mengikuti aksi Kamisan secara lebih masif.