Teknokra.co: Asfinawati, Aktivis Hukum dan mantan ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengunjungi Bandar Lampung dalam Konferensi Nasional Solidaritas Perempuan Indonesia (2/8). Teknokra mewawancarai pengalaman dan pandangannya dalam pendampingan korban kejahatan kekerasan seksual berbasis digital yakni Revenge Porn.
Revenge Porn merupakan suatu kasus di mana konten seksual dalam bentuk foto maupun video dan audio milik korban secara sengaja disebarluaskan tanpa konsensus korban dengan tujuan untuk balas dendam. Umumnya dilakukan oleh mantan pasangan atau orang dekat korban.
Kekerasan seksual berbasis digital merupakan perkembangan kejahatan seksual yang dapat berdampak lebih fatal dibandingkan kekerasan seksual fisik, hal ini terjadi karena kehidupan sosial korban kejahatan seksual berbasis digital juga ikut terenggut ketika konten pornografi non-konsensual mereka menyebar secara masif di platform media sosial.
Perempuan, khususnya usia muda rentan menjadi korban Revenge porn. berikut merupakan wawancara dengan Asfinawati mengenai penegakan hukum dan perlindungan bagi korban Revenge Porn di indonesia;
Bagaimana pandangan dan pengalaman anda mendampingi korban dalam isu-isu seperti ini?
Ya, jadi sebetulnya Undang Tindak Pindana Pencegahan Kekerasan Seksual (TPKS) yang baru itu bisa digunakan untuk kasus-kasus seperti ini. Karena dia juga bisa meminta kontennya itu diturunkan supaya dia tidak menyebar.
Karena sebetulnya kalau dalam pemahaman saya, pengalaman dalam kasus-kasus seperti ini, yang paling ditakuti korban itu kan kontennya disebarluaskan. Dan banyak orang tidak berani mengangkat persoalan ini karena proses hukumnya lama, dan selama proses hukum itu si pelaku terus menyebar luaskannya.
Akhirnya apapun putusannya udah nggak ada gunanya lagi buat korban, kan dia sudah mengalami kerugian yang besar. Jadi sekarang ada undang-undang TPKS yang bisa digunakan untuk yang tindak-pindana kekerasan berbasis elektronik.
Kenapa kasus-kasus ini berulang?
Ya, kalau saya melihatnya ada dua ya. Satu, secara hukum memang waktu itu sempat ada kekosongan hukum dalam arti bukan kekosongan hukum tidak bisa dilaporkan. Tapi nggak ada pasalnya. Kan sebenarnya undang-undang ITE bisa juga, tapi dia terlalu umum. Dan kemudian dalam prosesnya itu nggak ada hukum acara yang membantu korban, misalnya penyebaran konten itu dihentikan.
Dan juga penegak hukumnya sendiri juga bias, sehingga dalam kasus-kasus seperti ini korban sering disalahkan, dan mengalami pelecehan berikutnya dari aparat penegak hukum. Akhirnya kan korban malas lapor. Tapi di sisi yang lain, dari sisi masyarakat, menurut saya kasus-kasus seperti ini kan menunjukkan sebetulnya tidak ada penghormatan kepada seseorang manusia.
Kalau yang melakukan ini misalnya mantan pasangannya atau pasangan yang kemudian berantem, balas dendam, itu kan artinya pendidikan kita, baik pendidikan di rumah maupun pendidikan di sekolah gagal membuat orang paham harus menghargai privasi orang.
Kita harus menghargai perempuan sebagai manusia, dan hak privasi itu sebenarnya hak yang serius. Tapi di Indonesia saya melihat memang privasi itu bukan hal yang dianggap serius dan nggak pernah juga ditekankan di dalam pendidikannya, baik pendidikan di rumah maupun di sekolah.
Misalnya contohnya sederhana, di masyarakat kita sering kepengen tau orang “ngapain ya?”, itu kan sebetulnya privasi ya. kan ketika itu sudah tersebar secara sosial korban ini udah dirugikan juga.
kalau pemulihan hak sosial korban itu sebaiknya dilakukan dengan cara apa?
Ya ini memang pertanyaan yang bagus, dalam artian sulit sekali kita bisa bayangkan korban mengalami pemulihan 100 persen ya. Karena itu sebetulnya ada hak korban untuk dilupakan oleh masyarakat. beberapa komunitas, organisasi sedang berupaya agar hak untuk dilupakan masyarakat ini bisa diterapkan.
Jadi artinya konten itu di take down terus menerus, kalau kita klik gitu, kita cari dia nggak akan pernah muncul lagi. Nah tapi yang lain adalah menurut saya, karena ini rumit sekali, nggak cukup dengan penegakan hukum, masyarakat juga harus punya kontribusi.
Misalnya kita jangan mau mengklik sesuatu konten yang kita tau ini disebarkan oleh pasangannya secara semena-mena, kita jangan klik gitu.
Di beberapa platform seakan ada pembiaran, apakah masalah ini bisa diregulasi oleh pemerintah?
Pemerintah selalu ingin mengatur platform. Mungkin pada kenyataannya kan sulit, kecuali dalam negara-negara yang otoriter gitu. Nah menurut saya yang bisa dilakukan adalah ada dialog baik dari pemerintah dengan komunitas atau masyarakat dan platformnya, supaya ada mekanisme pengaduan yang singkat untuk hal-hal seperti ini.
Tapi dia juga nggak mungkin diberlakukan seperti negara-negara yang otoriter yang langsung dihapus, tapi misalnya dilarang diakses, karena itu nanti bisa aja ada laporan palsu, ternyata bukan.
Jadi mungkin menurut saya ide menarik jika di platform itu ada jalur khusus untuk kasus seperti ini, misalnya kasus kekerasan seksual, agar penanganannya lebih cepat harus ada panel yang menguji juga dengan cepat.
Kalau ada korban-korban yang takut untuk berbicara, bagaimana cara menghadapinya?
Yang pertama sangat wajar kalau korban takut ya, karena tidak pernah ada jaminan di Indonesia mereka akan mendapatkan pemulihan atau nggak jadi lebih korban lagi dalam prosesnya, atau istilahnya viktimisasi. Nah, resep umumnya ya dia harus dikuatkan dulu, dikuatkan itu bisa secara psikologis dan juga bisa secara sosial. Ada ekosistem yang menguatkan dia ya, kalau tanpa itu dalam kasus-kasus yang seperti ini mustahil korbannya mau berbicara atau terus memperjuangkan kasusnya.