Belasan Anggota Pansus Mundur Selama Pemira FKIP, Konflik Transparansi Kembali Terulang

FKIP Unila, Foto: Teknokra/Arif Sanjaya.
330 dibaca

Teknokra.co: Selama penyelenggaraan Pemilihan Raya (Pemira) Unila beberapa pekan lalu, permasalahan independensi dan transparansi Panitia Khusus (Pansus) penyelengara Pemira kembali terulang sejak Pemira 2020 lalu. Kali ini, sejumlah 16 anggota Pansus Pemira tingkat Fakultas di FKIP memilih untuk melakukan pengunduran diri dan menuduh sejumlah pihak di internal Pansus bersikap tidak independen dan transparan.

Hal tersebut mereka umumkan melalui sebuah video yang dirilis pada 18 Desember lalu. Dalam video tersebut, mereka menyatakan rasa kekecewaan dan merasa janggal terhadap penyeleksian berkas bakal calon maupun pelaksanaan tata tertib Pemira.

Salah seorang mantan anggota Pansus FKIP yang tak ingin disebutkan namanya mengungkapkan, bahwa di internal Pansus, data-data para bakal calon yang mendaftar disembunyikan oleh sejumlah pimpinan Pansus dari sesama anggota.

“Tidak ada transparansi data yang dilakukan sesama anggota Pemira, hanya orang-orang tertentu yang mengetahui data yang masuk,” ungkapnya.

Hal yang sama juga terjadi dalam verifikasi pemberkasan bakal calon. Ia menerangkan bahwa verifikasi dan pengumuman melalui media sosial dilakukan secara sepihak oleh beberapa orang tanpa sepengetahuan anggota Pansus lainnya.

“Verifikasi tidak dilakukan dengan rapat pleno terlebih dahulu, dan hanya dilakukan oleh beberapa orang saja, seperti koor dan sekoor acara,” terangnya.

Lebih lanjut lagi, ia juga menuturkan bahwa Pansus FKIP sempat mendapat teguran dari Badan Pengawas Pemira (Bawasra), namun surat peringatan tersebut juga ikut disembunyikan dari sesama anggota Pansus.

“Koor PHDD kami menerima surat (teguran) dari Bawasra, namun tidak disampaikan di forum, dari sini saja sudah terlihat tidak adanya transparansi di internal kami,” katanya.

Pada sore hari tanggal 16 Desember, sejumlah anggota Pansus yang kecewa akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri. Rapat pleno yang awalnya bertujuan membahas agenda Pansus, berubah menjadi acara pernyataan pengunduran diri dari belasan orang tersebut.

“Saya pikir pengunduran diri dari beberapa orang menjadi pertimbangan untuk dilakukannya transparansi, ternyata tidak,” ujarnya dengan rasa kecewa.

Ia juga sempat memerhatikan keadaan kantor Pansus yang kerap kali tutup. Padahal, jam kerja Pansus seharusnya mulai pukul 8 pagi hingga pukul 5 sore. Ia tak percaya dengan alasan Pansus yang sedang melaksanakan Ujian Akhir Semester pada jam-jam tersebut, menurutnya tak mungkin seluruh anggota melaksanakan UAS secara bersamaan.

ia menuding para anggota Pansus tertentu membuat group Whatsapp khusus secara diam-diam tanpa melibatkan anggota Pansus lainnya. Namun, ia tak berani menyatakan adanya pihak eksternal yang berkepentingan dalam Pemira FKIP.

“Saya rasa kami tidak berjalan dengan independen (seperti) yang seharusnya dilakukan sebagai panitia Pemira, namun saya juga tak berani melabeli bahwa kami di stir pihak luar karena saya tak punya bukti kuat,” tandasnya.

Menanggapi polemik ini, wakil dekan III bidang kemahasiswaan FKIP, Hermy Yanzi yang baru saja menjabat selama satu bulan kebelakangan, mengungkapkan bahwa Pansus Pemira FKIP dibentuk oleh Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas (DPM-F) FKIP, DPM-F lah yang membentuk dan mengumpulkan delegasi dari sejumlah UKM dan Hima di FKIP untuk menjadi anggota Pansus.

“Saat itu DPM lama menghadap saya dan (mengatakan) akan membentuk Panitia Pemira untuk tahun ini, dan saya bertanya kepada mereka, seperti apa bentuknya? dan mereka (DPM lama) mengatakan dalam bentuk delegasi (UKM & Hima),” katanya.

Campur tangan DPM-F dalam pembentukan Pansus sekilas merupakan penyelewengan dari Peraturan Rektor No. 18 tahun 2021 tentang organisasi kemahasiswaan. Dimana pada pasal 27 poin nomor 1 dijelaskan bahwa Pansus Pemira tingkat Fakultas seharusnya dibentuk dan disahkan oleh Dekan.

Jika ditilik kebelakang, peraturan ini dirancang oleh tim kemahasiswaan Rektorat Unila untuk meminimalisir adanya intervensi pihak eksternal dalam penyelenggaraan Pemira Unila, dimana DPM yang sebelumnya menjadi lembaga kemahasiswaan yang membentuk Pansus dinilai kerap tak netral dan mengintervensi kerja-kerja Pansus.

Rekrutmen Pansus juga dipersempit agar hanya menerima delegasi dari anggota Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) ataupun Himpunan Mahasiswa Jurusan pada Pansus tingkat Fakultas. Hal ini diberlakukan karena kedua lembaga kemahasiswaan tersebut dirasa lebih netral.

Menurut Hermy, ia tak bisa banyak ikut campur dalam masalah Pemira karena dianggap sebagai otonomi mahasiswa, namun ia menyediakan ruang untuk melakukan mediasi antara kedua belah pihak.

“Kita fasilitasi dialog, dua-duanya kita ketemukan. (kemudian) sepenuhnya diputuskan mahasiswa, kita tidak bisa terlalu jauh mengintervensi,” katanya.

Merespon masalah ini, wakil rektor III bidang kemahasiswaan Unila, Prof. Yulianto juga menyatakan tak bisa ikut campur dalam permasalahan yang terjadi di fakultas. Menurutnya, hal itu merupakan wewenang dekanat.

“Kalo kita ibaratkan di sana kabupaten, kita ini provinsi. Ya itu tanggung jawab Wakil Dekan III ataupun Dekan, kan udah ada pedoman kerja masing-masing,” katanya.

Menurutnya, akan membutuhkan lama agar tujuan Pertor Ormawa untuk menciptakan Pansus yang independen bisa terlaksana di Unila, hal ini dikarenakan adanya fragmentasi kelompok di dalam tubuh mahasiswa.

“Nggak semudah itu, kan mahasiswa kita ini punya kelompok-kelompok tertentu, harus menyadarkan dulu bahwa mahasiswa punya jati diri, bukan mahasiswa yang dikendalikan orang,” pungkasnya.

Teknokra telah berupaya untuk menghubungi ketua dan sekretaris Pansus Pemira FKIP untuk mengklarifikasi permasalahan ini, namun keduanya tak merespon permintaaan wawancara Teknokra.

Exit mobile version