Bivitri Susanti: Kebebasan Akademik Kampus Dibungkam Akibat Rektor Jilat Pemerintah

Bivitri Susanti saat meresmikan pembentukan Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) Chapter Lampung di Gedung Gerha Kemahasiswaan Unila, (29/5) foto: Teknokra/M. Rifqi Mundayin.
1,057 dibaca

Teknokra.co: Pakar hukum sekaligus aktivis kebebasan akademik, Bivitri Susanti, mengkritik sikap pimpinan rektorat di sejumlah Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang dewasa ini dirasa cenderung tunduk dan menjilat pemerintah dan kementerian demi mendapatkan jabatan.

Menurutnya, aturan mengenai hak suara sebesar 35% dari Kemendikbudristek dalam proses pemilihan Rektor di PTN, membuat para calon Rektor yang ingin menang harus berpolitik untuk mengambil hati kementerian dan pemerintah.

“Mereka menjilat kementerian karna ingin aman jadi Rektor atau kadang-kadang pengen jadi Komisaris,” kritiknya.

Sebagai Akibatnya, Rektor yang terpilih kemudian bersikap submisif terhadap pemerintah, misalnya dengan membungkam mahasiswa ataupun dosen yang berani bersuara mengkritik kebijakan negara. Hal ini kemudian mengekang kebebasan akademik yang ada di kampus.

“Kementeriannya sendiri tidak langsung melarang, tapi karena sistem kita kental feodalisme, membuat Rektor membungkam kampusnya sendiri, mereka buat kampusnya seakan baik-baik saja, sangat memuja pemerintah,” lanjutnya.

Selama aktif menjadi dewan pengarah di Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), ia pernah terlibat dalam sejumlah advokasi untuk membantu civitas akademika yang mengalami represi di sejumlah perguruan tinggi negeri.

Di Universitas Syah Kuala kota Banda Aceh misalnya, ia bersama KIKA sempat memperjuangkan amnesti seorang dosen bernama Syaiful Mahdi yang dipenjara karena mengkritik praktik korupsi di kampus dalam sebuah percakapan grup Whatsapp.

Syaiful kemudian terjerat UU ITE dan mengalami kriminalisasi secara tidak adil. Presiden Jokowi yang merespon advokasi sejumlah akademisi kemudian memberikan bantuan hukum untuk membebaskan Syaiful.

Bivitri juga pernah mengadvokasi sejumlah mahasiswa dan dosen di Universitas Pakuan, Bogor yang dituntut oleh seorang Dekan karena mengkritik UU KUHP. Diketahui, sang Dekan tersebut ternyata merupakan anggota tim perancang UU KUHP.

“Bayangkan, mahasiswa dilaporkan oleh dosennya sendiri ke polisi,” tuturnya.

Gejala tersebut menurutnya buruk bagi independensi akademisi, adanya kecenderungan para akademisi untuk menjadi kaki tangan pemerintah dalam perancangan undang-undang kontroversial seperti UU KUHP atau UU Cipta Kerja yang merugikan rakyat, merupakan suatu praktik yang dilakukan akademisi untuk mendapatkan jabatan ataupun keuntungan lainnya.

Bivitri mengingat saat ia kuliah di era orde baru, banyak pimpinan kampus yang lebih berani bersikap kritis terhadap pemerintah. Menurutnya, keberanian tersebut muncul karena saat itu intervensi pemerintah yang lebih sedikit dibandingkan saat ini.

“Dulu andil pemerintah nggak terlalu besar, meskipun ada kebijakan BKK/NKK,” terangnya.

Selain adanya pembungkaman melalui “bagi-bagi jabatan” kepada akademisi, Bivitri menganggap banyaknya status Perguruan Tinggi Negeri yang memaksa PTN untuk mencari profit membuat komersialisasi PTN tak terhindarkan, hal ini kemudian membuat PTN semakin tumpul akibat kepentingan bisnis.

Tak Cuma itu, beban administrasif yang berbelit-belit membuat ruang gerak dosen menjadi terbatas, misalnya kebijakan soal aturan jabatan fungsional dosen yang dikeluarkan oleh Kementerian PANRB beberapa waktu lalu.

“Di luar negeri itu nggak kaya gini, dosen di sana bisa fokus mengajar dan meneliti,” kata Bivitri.

Bivitri hadir langsung dalam peresmian KIKA Chapter Lampung yang digelar di Graha Kemahasiswaan Universitas Lampung, pada Senin (29/5). Ia mengaku senang atas inisiatif sejumlah dosen di Unila yang akan mengembangkan wadah bagi dosen dan mahasiswa di Lampung untuk memperjuangkan demokrasi dan kebebasan akademik.

Dalam diskusi tersebut, ia juga mendengar langsung deretan peristiwa represi kepada mahasiswa yang pernah terjadi di Lampung. Misalnya peretasan dan intimidasi kepada penyelenggara diskusi isu papua yang digelar Teknokra Unila pada tahun 2020, kasus skorsing dan DO sepihak mahasiswa di Universitas Teknokrat Indonesia pada tahun 2021, atau kasus represi pada para mahasiswa yang terlibat aksi demonstrasi menentang UU Cipta Kerja di DPRD Lampung beberapa waktu lalu.

Dengan kehadiran KIKA di Lampung, ia berharap para dosen dan mahasiswa dapat berjerjaring untuk melindungi hak-hak dan kebebasan akademik yang harus diperjuangkan.

“Mereka (KIKA Chapter Lampung) akan banyak menangani isu-isu lokal,” katanya.

Di Unila, yang sempat terdampak isu kasus suap Karomani, mantan Rektor Unila, Bivitri berpesan agar adanya keberanian dari civitas akademika untuk berani mengkritisi penyelewengan yang terjadi di dalam kampus, sehingga dapat terjadi perubahan secara menyeluruh.

“Penting memang untuk membangun solidaritas antara mahasiswa dan dosen, kita jadi bisa mendorong orang untuk kritis ada hal yang nggak bener,” pungkasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

five × two =