Ragam  

Bodyshaming, Ganggu Psikologi

235 dibaca

teknokra.co: Setiap bertemu teman lama, Debora Putri Sion Purba (Pend. Bahasa Prancis ’16) menerima perundungan tentang bentuk tubuhnya yang semakin gempal. Segala usaha ia lakukan untuk mendapatkan bentuk tubuh yang ideal, seperti melakukan diet ketat, pergi gym, minum teh hijau hingga membeli lotion pembakar lemak yang digadang-gadang dapat menurunkan berat badan.

Alasan mahasiswi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) ini, untuk mengembalikan rasa percaya diri. Sebab, ia kerap sakit hati jika bentuk fisiknya menjadi bahan pembicaraan.

“Saya pernah alami bodyshaming, saya kerap kali mendapatkan ungkapan bahwa saya gendutan oleh beberapa teman saya yang sudah lama tidak saya temui.Saya juga tidak mau memiliki bentuk fisik  yang seperti ini, saya sendiri juga kesusahan untuk mencari pakaian,” ucapnya dengan mata berkaca-kaca.

Berbagai sapaan bertanya kabar yang membahas bentuk fisik, kurus, gemuk, cantik, jelek dan standar sosial lainnya dianggap lazim. Hal ini menjadikan seseorang sebagai kambing hitam dalam percakapan yang dianggap biasa. Sedangkan, kondisi psikologis korban bodyshaming kurang menjadi perhatian.

“Saat saya mengalami bodyshaming saya kepikiran dan merasa bersalah memiliki bentuk tubuh yang seperti ini. Apalagi yang mengatakan itu memiliki bentuk tubuh yang baik. Saya pernah memaksakan diri untuk diet hanya minum teh hijau bersamaan menggunakan lotion pembakar lemak, dampaknya saya diare selama 4 hari dan berat badan saya turun 4 kg,” ujarnya.

Sama halnya, Fatimah Azzahra (Kehutanan ‘16) mengaku keberatan jika ada yang membicarakan kondisi wajahnya yang break out. Ia juga sudah berusaha mengobati jerawatnya. Akan, tapi untuk berobat ke dokter bukan hal yang murah.

“Sejak SMA saya menerima bodyshaming. Saya kesal ketika orang sudah melihat saya tidak suka. Misalnya saat pembagian kelompok, banyak yang menolak saya untuk gabung dalam kelompoknya. Saya pernah merasa tidak diinginkan oleh sekitar, apalagi ketika lelaki yang berbicara saya merasa itu hal yang sensitif,” tuturnya.

Evaluasi orang lain terhadap diri seseorang termasuk tubuh, dapat mempengarungi kondisi psikologi seseorang. Terciptanya standar di masyarakat sejak dahulu mengenai cara pandang kecantikan dilihat dari segi fisik. Misalnya kulit putih, postur ideal, wajah cantik atau tampan, dan standar lainnya. Standar ini yang menjadikan sumber munculnya kritik pada orang-orang yang tidak memenuhi standar.

Melihat sudah banyak korban yang mengalami bodyshaming, Shinta Mayasari (Psikolog) mengatakan korban yang menerima bodyshaming dapat menurunkan rasa percaya diri dan penerimaan terhadap diri sendiri. Korban bodyshaming dapat mengembangkan rasa malu dan bersalah pada dirinya. Hal ini dapat membuatnya menjauh dari lingkungan sekitar sehingga mengalami masalah interaksi dengan orang lain.

“Kalau para korban ini kurang mendapatkan dukungan dalam bentuk perhatian, kasih sayang, dan cinta dari keluarga maupun temannya, ini bisa membuat mereka menarik diri dan mencari solusi yang tidak realistis.  Seperti diet berlebihan, gangguan pola makan seperti anoreksia, bulimia, murung dan mengurung diri karena stres dengan kondisi fisik yang tidak ideal, depresi, dan gangguan psikologi lainnya,” jelasnya.

Dosen Program Studi Bimbingan Konseling ini mengajak korban untuk belajar menerima diri sendiri. Dengan merubah pola pikir bahwa penampilan fisik bukan kualitas tunggal, masih banyak potensi dan bakat yang bisa dikembangkan menjadi ciri positif sebagai individu.

“Pahamilah bahwa orang yang melakukan bodyshaming adalah orang yang tidak bahagia dalam hidupnya. Sehingga ia tidak dapat menghargai orang lain. Korban juga perlu selektif dalam memilih lingkungan sosial. Bergaullah dengan orang yang dapat memberikan dampak positif bagi diri,” tambahnya.

Penulis Tabloid : Mitha Setiani Asih

Ilustrasi : Tuti Nurkhomariyah

Mari baca selengkapnya: https://issuu.com/teknokra/docs/tabloid_157